Senin, 18 Maret 2013

PEMBAHARUAN ISLAM DI MINANGKABAU (TESIS/SEJARAH)




ABSTRAK

Dasar falsafah Minangkabau adalah “alam kekembang jadikan guru atau ketentuan-ketentuan dalam yang nyata, sedangkan sendi datangnya adalah, disebut dengan pulukan “Tuanku Tigo Sajarangan, yaitu pertama pulukan alur jo patut”, (meletakkan sesuatu pada tempatnya) kedua pilukan anggo jo tango” (sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) sedangkan “rato jo parago” (sebagai peri kemanusiaan dan kebenaran). Jadi sendi Minangkabau adalah kewajaran atau meletakkan sesuatu pada tempatnya keadilan, prikemanusiaan dan kebenaran, dengan demikian berdirilah adat Minangkabau yang kokoh kuat yang dilahirkan dengan kato-kato adat yang kesemuanya merupakan “Lembago nan sapuluh”. Dengan berpegang dengan ketentuan-ketentuan diatas, maka apabila ada gejala-gejala baik yang kurang tepat maka abstrak perlu diadakan persembahan dan pembaharuan. Proses pembaharuan pertama, terutama didasarkan kepada menggunakan cara-cara kekerasan, tugasnya merupakan suatu pertikaian fisik, yang mulai meletusnya oleh para pendukung mazhab Hambali dengan penganut aliran Syi’ah, sedangkan pemangku-pemangku adat berada pada kedua belah pihak. Pertikaian fisik bersumber pada agama sebagai ideologi dan kekuatan (politik) sebagainya telah membakar alam menyebabkan selam lebih kurang seperempat abad berakhir dengan kemenangan pihak ketiga, yaitu bangsa Belanda. Proses pembaharuan, gelombang pertama bertitik tolak pada kemurnian agama Islam masih terbengkalan dan akan digerakan kembali dalam gelombang kedua yang dimulai semenjak permulaan abad ke XX. Pada gelombang kedua diselesaikan pada masalah kelalaian pendidikan Islam yaitu system surau menjadi system madrasah yang berkelas-kelas dan ilmu falak, hisab serta ilmu pengetahuan dimasukkan kedalam madrasah tersebut seperti, sunah thawalib, Diniyah, muslimin kuliyatul muballign, sanawiyah “Islamic college”, dengan demikian keluarlah syariat Islam yang menuju hal ini sangatlah penting, mengingat rakyat Indonesia, sebagian besar beragama Islam pada khususnya kemajuan nusa bangsa umumnya seperti diketahui untuk merabah satu bangsa, mulai merubah cara berpikir dengan tidak meninggalkan nilai-nilai rohaniah.









BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Agama Islam sudah menjadi agama orang-orang Minangkabau dengan terjalinya adat dan agama maka kebudayaan menjadi dominan dalam kehidupan orang Minangkabau, sehingga masyarakat Minangkabau berbentengkan adat yang bersendikan kepada agama Islalam.
Aliran agama Islam yang masuk ke daerah ini adalah mula-mula mazhab syafi`I, kemudian masuk pula aliran baru, ialah syiah yang mungkin berasal dari Aceh sejalan dengan ekspansi Aceh ke daerah-daerah pesisir Sumatera Barat dengan bukti masih terdapat upacara-upacara Tabut pada perayaan 10 Muharam (hari Asejera) dengan semuanya keluarga Ali.
Dengan kembalinya Haji Piabang, Haji Sumanik, dan Haji Muskin dari tanah Mekkah pada permulaan Abad ke XIX, yang melihat dari dekat kemajuan yang dicapai oleh kaum Wahabi  dibawa dalam usaha memurnikan agama Islam, maka berkembang di Minagkabau mazhab Hambali atau aliran Wahabi.
Di Minakabau perkembangan mazhab Hambali dikenal dengan “gerakan Islam kaum putih atau orang-orang Padri” negara Islam (Darull Islam) yang hendak didirikan oleh aliran Islam kaum putih di Minangkabau, dengan memusatkan kekuatan dalam satu tangan mendapat tantangan hebat dari ulama-ulama syiah pemangku-pemangku adat, pada satu pihak yang memuncak menjadi perang saudara (1804-1830).
Selama ini perang Padri yang diajarkan hingga sekarang ini, merupakan bagian terakhir dari pada perang saudara, yaitu berlangsung antara tahun 1822-1837.
Perang saudara itu melemahkan kedudukan politik ekonomis orang-orang Minagkabau sendiri sehingga memberi peluang kepada kolonial Belanda untuk menanamkan pengaruh politik ekonominya didaerah tersebut.
Hal-hal yang telah diuangkap diatas merupakan usaha untuk pembaharuan Islam sebagai pembaharuan pertama dan selanjutnya diteruskan pembaharuan Islam melalui pelaksanaan pendidikan di Minangkabau.

B.  Perumusan Masalah
  1. Bagaimanakah proses pembaharuan Islam di Minangkabau
  2. Bagaimana peranan pendidikan dalam pembaharuan Islam di Minangkabau
C.  Tujuan Penelitian
  1. Untuk mendeskipsikan proses pembaharuan Islam di Minagkabau
  2. Untuk mendeskripsikan peranan pendidikan dalam proses pembaharuan Islam di Minangkabau.
D.  Metode Peneltian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pemecahan masalah (Problem Solving Methode) dan langkah-langkahnya sebagai berikut :
  1. Menetapkan serta merumuskan permasalahan sesuai dengan yang akan diteliti
  2. mencari serta mengumpulkan pembuktian pembuktian dalam bentuk fakta dan data dengan menggunakan metode penelitian perpustakaan
  3. melakukan analisa terhadap fakta dan data tersebut dengan menggunakan metode sejarah (historical methode)
  4. Mempertegas kesimpulan serta saran-saran






BAB II
PEMBAHASAN
1.        Proses pembaharuan Islam di Minangkabau
Sejarah Minangkabau mengungkapkan, bahwa pada tahun 1782 telah dibuat antara golongan adat, golongan agama dan cerdik pandai alam Minangkabau sesuatu piagam yang menjadi dasar kerjasama serta pengaman keluar dan kedalam, yakni “Piagam Bukit Marapalam”, yaitu pada suatu kota dalam Kecamatan Rambatan Tigo Kota (Batusangkar). Puncak dari piagam itu berbunyi  : ………….. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah……”.
Dari jiwa Piagam ini Nampak, bahwa masyarakat Minangkabau akan tetap hidup beradat dan karena adat tersebut bermacam-macam dasarnya sebagai akibat proses sejarah perkembangan Minangkabau selama ini, maka dicarilah yang berdasarkan syarak. Walaupun dalam Piagam itu hanya perkataan syarak yang disebut, namun sudah pasti yang dimaksud adalah “Syariah Islamiah”. Syariah Islamiah disini tentu bermacam-macam pula, andai kata ada macam-macamnya, jelas yang semata-mata yang didasarkan kepada Kitabullah adalah “Al-Qur’an”.
Rakyat Minangkabau pasti tidak dapat membuang semua adat lama pusaka usang, karena malu sekiranya disebut bangsa yang tak beradat. Sebaliknya agama Islam tidak akan begitu saja membuang hal-hal yang baik dari masa-masa sebelumnya. Selagi tidak bertentangan dengan isi Al-Aur’an dan Sunnah Rasul, hanya melarang hal-hal yang jahil yang akan merusak Tauhid dan pergaulan hidup, karena untuk itulah agama Islam diturunkan pada manusia.
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dijadikan norma Hukum atau cupak standard, agar tidak menimbulkan kesimpang-siuran yang terlalu banyak dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menimbulkan kegoncangan. Akhirnya sebagaimana lazimnya pada setiap gerakan sosial, maka setiap ada aksi pasti aka nada pula reaksi, pasti ada yang pro dan ada pula yang kontra, hal ini lumrah terjadi, bagaimanapun, kapanpun dan dimanapun di dunia ini.
Mulailah golongan-golongan tertentu menyelewengkan maksud suci yang di atas, baik dari kalangan kaum adat yang kurang tinggi serta kurang kuat moralnya, maupun dari kalangan kaum agama yang lemah iman serta sudah “vested interes”: demikian pula dari kalangan kaum cerdik pandai yang mempunyai maksud kurang baik, karena kalah pengaruh.
Pada hal selama ini pepatah “Adat jo Syarak, bak aur jo tabing (aur=bamboo bersatu dengan tebing), telah terbina dengan cukup memuaskan hokum Syarak telah menjiwai hokum adat di Minangkabau. Walaupun demikian Hukum Faraid tidak seluruhnya berlaku di Minangkabau, karena pusaka tidak turun kepada anak (laki-laki), tetapi kepada kemanakan, anak-anak saudara wanita dari fihak ayah. Keluarga dalam pengertian Minangkabau adalah anggota-anggota yang seperti (saparuik), berasal dari satu kandungan secara turun-menurun.
Dalam bidang pemerintahan, para alim ulama duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan pemangku-pemangku adat dan kaum cerdik pandai, sebagai anggota dari “tungku tigo sejarang (orang-orang yang berpengaruh masyarakat). Raja alam di Pagaruyung secra teoritis memegang kekuasaan tertinggi dibidang pemerintahan, Raja Ibadat di Sumpur Kudus penguasa tertinggi di bidang agama dan Raja Adat di Buo dibidang adat.
Sebagai lambang kekuasaan di bidang politik agama dan adat, ketiga pejabat tersebut tidak memiliki kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan eksekutif ini berada dalam tangan “Basa nan  Ampek Balai” yang dapat disebut sebagai dewan menteri, yang terdiri dari :
1.      Tuan Kedhi di Padang Canting (Tanah Datar).
2.      Tuanku Makhdum di Sumanik (Tanah Datar) sebagai Menteri Kehakiman.
3.       Tuanku Titah di Sungai Tarab (Tanah Datar) sebagai Perdana Menteri.
4.      Tuanku Indomo di Suruaso (Tanah Datar) sebagai Menteri Pertahanan-Keamanan (Hankam).
Juru bicara Laras Budi Caniago ialah Datuk Nedaro Nan Kuning, yaitu sebagai Menteri dalam Negeri dan tunduk kepada Tuanku Indomo. Sedangkan juru bicara Laras Koto Piliang ialah Datuk Bandaro Nan Hitam, yaitu sebagai Menteri Luar Negeri dan tunduk kepada Tuanku Titah Sungai Tarap.
            Pertentangan-pertentangan yang terjadi, melemahkan kehidupan bermasyarakat orang-orang Minangkabau, yaitu Piagam Bukit Marapalam atau tegasnya puncak Piagam tersebut, yakni adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; dengan kata lain yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Oleh karena itu justru timbul gerakan pembaharuan didalam Islam itu sendiri di Minangkabau; Gerakan Padri dipermulaan abad ke-XIX. Gerakan pembaharuan yang pertama dimulai dengan timbulnya Gerakan Padri pada permulaan abad ke-XIX. Dengan kedudukan tiga orang ulama dari Mekah, yaitu Haji Miskin Pandai Sikat (Luhak Agama), Haji Abduraahman Piobang (Luhak Lima puluh Koto) dan haji Arif Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar). Setelah Belanda dapat mengalahkan kaum Padri, karena Bonjol telah dapat diserbu dan Tuanku Imam ditawan lalu diasingkan (1837), boleh dikatakan, bahwa golongan pertama dari gerakan pembaharuan di Minangkabau telah terhenti.
Gerakan pembaharuan yang kedua dimulai dengan pulangnya murid-murid Syeich Ahmad Chatib dari Mekah. Mereka adalah Syeich Muhammad Jamil Djambek dari Bukit tinggi (Luhak Agama), Syeich Muhammad Thaib Umar dari Sungai yang (Luhak Tanah Datar) dan Syeich Abdullah Ahmad asal mula Padang Panjang. Kemudian pindah ke Padang, setelah itu ke Padang Panjang dan setelah itu ke Jakarta. Akhirnya meninggal di Jakarta.
Proses pembaharuan yang pertama terutama didasarkan kepada menggunakan cara-cara kekerasan, tegasnya merupakan suatu pertikaian fisik, yang mulai meletus diantara para pendukung Mazhab Hambali dengan penganut aliran Syi’ah.
Pertikaian fisik bersumber agama sebagai ideology dan kekuasaan (politik) sebagai tujuan, telah membakar alam Minangkabau selama lebih kurang seperempat abad dan berakhir dengan kemenangan pihak ketiga yang diundang sebagai penengah, yaitu bangsa Belanda. Perang Padri ini bukan semata-mata ditimbulkan oleh suatu bentrokan antara golongan adat dengan golongan agama, karena bentrokan itu terjadi juga dikalangan golongan agama sendiri; terutama antara pengikut-pengikut mazhab Hambali dengan pangikut aliran Syi’ah, dan pemangku-pemangku adat disatu pihak.
Perang Padri pada hakekatnya merupakan suatu fenomena (gejala) sosial, yaitu sejenis konflik antara kelompok-kelompok dalam masyarakat Minangkabau yang berlawanan kepentingan-kepentingannya dimasa itu.
Bahwa terjadi konflik antara adat dan ajaran Islam adalah hal yang wajar, bahkan kalau tidak ada konflik justru tidak wajar sama sekali, adat adalah produk manusia sedangkan ajaran Islam diturunkan oleh Tuhan yang Maha Esa melalui Nabi Muhammad s.a.w. Kebenaran manusia adalah nisbi sifatnya, sehingga terikat pada ruang dan waktu; sebaliknya memang ada unsur-unsur adat yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan hal ini tidak pula dapat diingkari.
Proses pembaharuan yang pertama sekaligus merupakan pertikaian fisik antara dua golongan yang ingin memperatahakan pandangan dan kepentingan hidup masing-masing, sama mengalami kekalahan, justru pihak ketiga yang diundang sebagai penengah, yaitu bangsa Belanda, yang memperoleh kemenangan dalam konflik ini. Oleh karena itu proses pembaharuan gelombang pertama mengenai ajaran-ajaran Islam di Minangkabau masih terbengkalai dan akan digerakkan kembali dalam golongan kedua yang dimulai semenjak permulaan abad ke-XX.
Apabila gerakan dan Perang Padri (1803-1838) dinyatakan sebagai gelombang pertama usaha pembaharuan ajaran-ajaran Islam di Minangkabau, maka perombakan sistim pendidikan dan pemurnian pelaksanaan Hukum Islam (Fiqih) semenjak permulaan abad ke XX dinyatakan sebagai gelombang kedua dari pada usaha tersebut.
Timbulnya kekosongan kepimpinan dalam masyarakat Minangkabau munculnya ulama-ulama muda berpendidikan Islam di Tanah Arab dan kaum cerdik pandai (intelektual) muda berpendidikan Barat di Jawa dan Eropa. Seperti halnya dengan Gerakan pembaharuan gelombang pertama, maka gerakan pembaharuan gelombang kedua ini juga para pemimpin agama Islam yang memegang peranan yang sangat menetukan. Hal ini adalah wajar karena masyarakat Minangkabau didasarkan kepada “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Golongan tradisi, yaitu kalangan bukan pembaharuan, seperti halnya dizaman pra-Padri, lebih memperhatikan masalah agama dan adat dalam arti yang sempit, yaitu masalah agama dan adat dalam arti yang sempit, yaitu soal ibadah dan praktek-praktek adat sehari-hari. Pertama ulama-ulama Islam membatasi dirinya dengan faham mistik atau terikat, bahkan mereka hanya mengakui taqlid dan menolak ijtihad.





BAB III
PERANAN PENDIDIKAN DALAM PROSES PEMBAHARUAN
MASYARAKAT DI MINANGKABAU

1.                  Gerakan pembaharuan di Minangkabau.
Gerakan pembaharuan di dalam Islam itu sendiri di Minangkabau berlaku dalam dua gelombang, yaitu yang pertama semasa timbulnya gerakan Padri, yang kedua dimulai dengan pulangnya para murid Syeich Ahmad Chatib dari Mekah, tegasnya sesudah tahun 1900. Apabila Gerakan Padri dalam melaksanakan itu terutama menggerakkan senjata, maka pembaharuan golongan kedua terutama ditekankan kepada bidang pendidikan dan hukum fiqih.
            Golongan pembaharuan sesudah tahun 1900 berusaha mencari hakekat dari Islam itu pada umumnya, bagi mereka terkandung kayakinan, bahwa ajaran Islam itu selalu berlaku sepanjang zaman, kondisi serta situasi. Dengan demikian mereka melihat bahwa ajaran Islam mengandung ajaran tentang kepercayaan yang tidak mungkin menghambat usaha-usaha pengembangan demi kemajuan bidang pengetahuan dan teknologi.
            Golongan pembaharuan juga melihat, bahwa ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara kaum pria dengan kaum wanita.
            Islam merupakan agam universal, yang dasar-dasar ajarannya telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul kepada semua bangsa. Nabi dan Rasul terakhir ialah Nabi besar Muhammad s.a.w. penyampai ajaran Ilahi untuk segenap umat manusia.
            Menurut golongan pembaharuan paham seperti yang tersebut di atas, terbentuk dalam Syari’ah (Syaral), yaitu Hukum Islam dalam pengertian yang luas. Syari’ah mencakup persoalan agama dalam arti yang sempit dan dalam arti duniawi. Dalam arti yang sempit mencakup segala sesuatu yang dilarang, kecuali yang disuruh, dengan demikian pula sembahyang telah ditetapkan dan adalah bid’ah bila di dalam dijumpai cara-cara yang tidak di contohkan Nabi.
            Gerakan tersebut dinamakan juga Gerakan Salafiyyah atau dalam bahasa Inggeris disebut “Reformation” sedangkan di Minangkabau disebut “Aliran Muda”, aliran Wahabi. Tujuan Gerakan Pembaharuan ini berarti kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yaitu dengan meninggalkan pertentangan antara mazhab-mazhab dan segala syirik dan bid’ah, serta dinamakan juga “At-Tajdid” (Pembaharuan dalam Islam). Gerakan Reformasi ini dalam bahasa Arab disebut “Muhyi Atsaris Salaf”.
            Timbulnya Gerakan Reformasi ini didasari oleh suatu keyakinan, bahwa kelemahan dan kemunduran Islam berpangkal pada kebiasaan umat Islam sendiri, yang sudah jauh dari dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
            Kebiasaan tersebut banyak yang sudah merupakan perbuatan-perbuatan Syirik dan bid’ah, sehingga tidak sesuai lagi dengan ajaran Tauhid. Oleh karena itu perjuangan gerakan Salafiyyah ini, diantaranya kaum Wahabi di Mekah, terutama ditujukan kepada pembinaan suatu ajaran Tauhid guna mengembalikan keyakinan umat Islam yang bulat kepada Allah semata, sehingga mereka dapat menumbuhkan kembali kekuatan raksasa yang pernah dimiliki oleh umat Islam pada zaman dahulu. Mereka megadakan jihad yang sungguh-sungguh untuk membasmi  segala perbuatan lahir dan bathin yang dapat membawa kepada mempersekutukan Tuhan, yang dapat menarik mereka kepada penyembahan patung-patung serta berhala dan manusia serta alam sekitarnya, atau sesuatu penyembahan secara tak langsung kepada Allah s.w.t. Kaum Wahabi berpendapat, bahwa umat Islam pada abad-abad sesudah Nabi Muhammad s.a.w. dan para chulafaur-Rashidin berada dalam keadaan yang sama dengan suku-suku Arab Jahiliah, mereka telah kehilangan kekuatan dan zaman keemasan yang pernah dimilikinya.
            Pengikut-pengikut imam Muhammad Ibnu Abdul Wahab sendiri menanamkan dirinya golongan “Muwahidin”, artinya pendukung Tauhid Allah dan kitab mereka dinamakan “Al-Tauhid”. Pada bagian “Mukaddimah” dari kitab tersebut, imam ini menggambarkan tentang bagaimana sebenarnya apa yang disebut sebagai “Aqidah Ahlu Sunnah” itu, oleh karena itu mereka termasuk juga dalam golongan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah.
Dalam arti duniawi ada bagian-bagian Syariah yang jelas-jelas berpangkal pada perintah-perintah Tuhan, tetapi ia tetap ma’qul, yaitu maksud ini pun dijelaskan, akan tetapi penyelenggaraan dan pelaksanaannya terserah pada manusia menurut waktu, kondisi serta situasi, asalkan maksud ajaran itu tercapai, termasuk dalam ajaran ini misalnya membela anak yatim dan membantu fakir miskin. Ada pula bagian-bagian Syariah dalam arti duniawi ini, yang timbul lepas dari soal, apakah ada agama atau tidak, dalam hal ini segala sesuatu boleh, kecuali yang tegas dilarang dan batas-batas ini disebut “had”. Contoh yang sederhana adalah makan dan minum, yang pada dasarnya boleh (apakah ada agama atau tidak, apa saja dan cara bagaimanapun), kecuali yang disebut “had”nya dalam Al-Qur’an, seperti daging babi, minuman keras dan darah, atau “had”, bahwa seseorang itu tidak boleh berkelebihan.
Menurut golongan pembaharuan hal-hal yang tersebut diatas tidak diperhatikan pembagiannya dalam Syariah, akibatnya bid’ah dalam beribadah dibiarkan, bahkan seringkali bid’ah tersebut seakan-akan merupakan ajaran agama, sebaliknya, dalam hal-hal duniawi kebebasan dan pikiran umat Islam dibelenggu sedemikian rupa, sehingga penyesuaian sistim pendidikan Islam dengan sistim pendidikan Barat dianggap haram. Sikap inilah yang jamud. Mereka seakan-akan tenggelam dengan kebiasaan-kebiasaan yang lama, sehingga menjadi buta dan tidak mau tahu terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa lain.
Persoalan kebebasan akal dan pikiran berhubungan dengan masalah “ijtihad taqlid”, menurut mereka Islam menghormati kebebasan akal dan pikiran, tetapi mereka juga mengakui pembatasan-pembatasan, agar jangan terjerumus kedalam yang mereka anggap sesat. Agama diperlukan untuk memberikan jawaban kepada persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan serta sebagai landasan ukuran mengenai yang buruk dan baik.
            Tegasnya golongan pembaharu di Minangkabau hanya mengakui Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber-sumber pokok pemikiran mereka. Mereka mengakui, bahwa pintu ijtihad masih terbuka akan menolak taqlid. Ini tidak berarti, bahwa mereka begitu saja menyalahi atau mengikuti pendirian mazhab-mazhab dan imam-imam sudah tua, tetapi mereka berpendapat, bahwa fatwa dan pendapat para imam tersebut dapat diteliti dan diperiksa kembali. Hal ini pun terhadap pendapat dan pemikiran siapapun, berlaku tidaknya suatu fatwa, pendapat serta praktek pada dasarnya harus diakui atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Pembicaraan tentang Islam tidaklah terbatas dengan melalui urusan atas mesjid-mesjid saja, tetapi dengan melalui jalan tablig diluar surau-surau dan mesjid-mesjid, persoalan-persoalan tersebut sampai kepada masyarakat umum. Islampun mendapat tempat disekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, walaupun diluar, guru-guru agama di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda itu adalah dari golongan pembaharuan. Ibadahpun merupakan bagian dari latihan-latihan kepaduan dan di masukkan kedalam lembaga-lembaga sosial seperti rumah-rumah sakit dan lain-lain sebagainya.
Beberapa perguruan Islam mempunyai kesediaan untuk mengadopsi cara-cara berorganisasi serta cara-cara pendidikan serta pemikiran-pemikiran lain dari Barat, termasuk cara-cara misi-misi Kristen sejauh yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Perguruan adabiah, Thawalib dan Diniyah mempergunakan system berkelas. Bahkan Adabiah benar-benar mengadopsi system permerintah Hindia Belanda. Setelah bahasa Arab juga diajarkan bahasa-bahasa asing lainnya, seperti baha Inggris dan bahasa Belanda, lambat laun kitab-kitab yang ditulis pun berangsur-angsur diterbitkan dalam bahasa Indonesia, waktu itu bahasa Melayu. Dalam system pendidikan pengertian yang lebih penting dari hafalan.
Tetapi untuk pendidikan menengah dan tinggi orang-orang Minangkabau masih merasa perlu untuk mengirimkan putra-putrinya keluar daerah, terutama ke Jawa, bahkan ada juga keluar negeri, termasuk Mesir dan Eropah.
Sebagian besar ulama-ulama dalam gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah bekas murid-murid Syeich Ahmad Chatib, masih saudara sepupu ayahanda Haji “Agus Salim”, The Grand Old Man of Indonesia, yang pernah menjadi wakil Menteri Luar Negeri Indonesia semasa perang kemerdekaan (1945-1949). Misalnya Syeickh Muhammad Jamil Djambek, ayahanda dari Haji Sa`adoeddin Djambek, bekas Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta, mulai menggoyangkan sendi-sendi pegangan lama, karena dia yang mula-mula memasukan ilmu falak dan Hisab dengan tangkas memberikan penerangan-penerangan ke kampung-kampung. Yang lain adalah Syeickh Muhammad Thayib Umar yang membuka sekolah agama di tanjung Sungayang (batusangkar) dan mulai memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan cara sebelumnya.
Syeich Abdullah Achmad yang menerbitkan majalah Al Munir di Padang (1911) dan mendirikan sekolah umum Aliyah (1912) dengan dengan Syarikat Usaha. Selanjutnya syeich Abdul Karim yaitu ayahanda Prof. Dr. Hamka, yang turut membantu penerbitan majalah Al Munir tersebut.
Pertentangan yang semula tegang sekali antara ulama-ulama dengan ulama-ulama modern dan antara kaum adan dan agama mendekat pecahnya Perang Dunia Kedua menjadi reda, karena sikap kedewasaan masing-masing pihak, semua pihak telah sadar bahwa yang mereka pertentangankan itu adalah masalah furu` dan bukan masalah usul atau pokok agama.
Berbicara mengenai peranan pendidikan dalam pembaharuan masyarakat di Minangkabau, maka kita akan berbicara mengenai surau-surau dan madrasah-madrasah. Hal itu tidak berarti bahwa pendidikan umum tidak berperan di dalam proses pembaharuan pendidikan.
Surau-surau didirikan oleh guru agama karena menurut ajaran Islam, bahwa anak-anak yang telah berusia 7 tahun wajib di suruh mengerjakan sholat, maka untuk itu perlu diadakan tempat-tempat pendidikan buat mempelajari shalat tersebut, yaitu surau-surau. Selain itu guru agama mengetahui dari sejarah pendidikan Islam.
Tiap-tiap kampong selalu ada “kuttab”, yaitu tempat pendidikan Islam terutama bagi anak-anak yang telah berumur 7 tahun. Sebaliknya para guru agama di Minagkabau tidak menamakan Kuttab dalam bahasa Arab, melainkan disebut surau atau langgar menurut bahasa Melayu (Indonesia), tegasnya surau itulah tempat memperoleh dasar-dasar pendidikan Islam. Surau berkembang menjadi madrasah, yaitu tempat pendidikan lanjutan pelajaran agama Islam.
Pada masa-masa Islam berpengaruh besar dan luas di Minangkabau, maka pendidikan surau itu tegak dengan kuatnya pula, serta mengembangkan metode mengajar yang disebut halaqoh (diskusi), yaitu duduk berkeliling, bersama-sama menghadapi syeich dan murid-muridnya adalah merupakan guru-guru bantu Syeich.
Sesudah tahun 1900 tingkat pendidikan Islam terus berlangsung seperti diatas, hanya saja adanya pembabakan dalam mata-mata pelajaran bahasa Arab. Dalam periode ini lahir system surau, yaitu murid-murid tinggal di surau atau perkampungan surau-surau, di pulau jawa disebut Pesantren, bersama-sama dengan guru-guru yang memimpin mereka. Dengan ini, maka lahirlah madrasah-madrasah yang mempunyai system berkelas-kelas, yaitu berkembang terutama antara tahun 1915-1930.
Umunya madrasah-madrasah Diniah, Thawalib dan Tarbiah Islamiyah mempunyai 7 kelas, kalau di kampong-kampung masih 4 atau 5 kelas.
Pemimpin-pemimpin, guru-guru serta murid-murid madrasah ini lah yang kemudian memegang peranan dalam pembaharuan masyarakat Islam di Minangkabau selanjutnya, seperti Syeich Muhammad Jamil Djambek, H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amrullah dan lain-lain.
Berbagai majalah dan buku tentang agama Islam diterbitkan dalam bahasa Indonesia, seperti Majalah Al Munir di Padang, Al Bayan di Parabek dan lain sebagainya.
Selama tahun 1931-1945 terjadi kembali proses modernisasi pada madrasah-madrasah tersbut, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, yang melahirkan antara lain “Islamic College, Normal Islam, Training College”, diprakarsai oleh persatuan guru-guru agama Islam (PGAI) di Padang, yaitu kemudian ditutup oleh Jepang (Maret 1942).
Peranan madrasah-madrasah terhadap pembaharuan masyarakat Islam di Minagkabau besar sekali, karena para lulusan :
1.      Mempelajari ilmu agama dan ilmu umum, sehingga memiliki akal pikiran yang cukup logis dan tak mempecayai lagi kepada khurafat-khurafat dan dagangan-dagangan.
2.      Mereka mampu menghadapi berbagi persoalan dunia dan akhirat, karena tidak canggung lagi menghadapi masyarakat dan dapat hidup menyesuaikan diri dengan orang banyak, karena telah memiliki sejumlah ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Konflik agama di dalam Minangkabau antara golongan Syi`ah dan mazhab Hambali atau golongan Wahabi berakhir dengan kemenangan golongan ketiga, yaitu mazhab Syafi`iyah. Konflik politik antara kaum Padri dengan pemangku-pemangku adat berakhir pula dengan kemenangan pihak ketiga, yaitu kaum kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Konflik agama yang tersbut di atas mulai berlangsung sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, seperti dikemukakan oleh H. Abu Bakar Aceh dalam “Syi`ah : Rasionalisme dalam Islam” Djakarta, 1965 hal. 6-9.
Konflik ini akhirnya memuncak menjadi peristiwa “kebangkitan Islam”, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk semua gerakan yang bermaksud membaharui cara berpikir serta cara hidup Islam. Kebangkitan ini dimulai oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328), yaitu juga disebut sebagai “Muhyi Atsaris Salaf”, yaitu pembangkit kembali ajaran-ajaran Sahabat dan Tabi`in, terutama ajaran Ahmad Ibnu Hmabal, yang sering menggunakan ijtihad dan sangat memnentang praktek-praktek syirik dan bid`ah.
Murid-murid Ibnu Taimiyah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Ibnu Qaiyyim Al Yauxiyyah (1292-1350), Muhammad Ibnu Wahab (1703-1787), Saiyyah Jamaluddin Al Afgani (1838-1897), Syeich Muhammad Abduh (1849-1905), Sayyid Muammad Rasyid Ridha (1856-1935). Syayyid Ahmad Khan (1817-1898) pembangun Universitas Alirarh di India dan lain-lain sebagainya melanjutkan ajaran tersebut. Aliran ini kemudian masuk ke Indonesia, diantaranya dalam bentuk gerakan Padri. Sumatera Thawalib, Al Irsyad, Muhammadiyah, peraturan Islam dan sebagainya.

2.        Pengaruh Wahabisme dalam pendidikan Islam di Minangkabau
Reformasi dan modernisasi Islam dimulai dengan pikiran-pikiran pembaharuan ditanamkan oleh para filosof seperti Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Ibnu Qajjimal Zauziyah (1292-1350) dan dihidupkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di daerah Arab.
Hal yang mendorong dan mengilhami mereka untuk mengadakn gerakan tersebut akibat dari pada pengalaman yang pahit dalam dunia Islam disebutkan sikap, perbuatan umat Islam sendiri yang dihinggapi penyakit-penyakit seperti syirik, bid`ah ashabiyah mazhabisme, dan lain-lainnya. Usaha ini diteruskan oleh Sayyid Jamaluddin Al Afghani (1838-1897) di Meseir dengan masalah`al Urwatul kemudian diteruskan lagi oleh Syeich Muhammad Abduh (1849-1905) dengan Al Manarnya dan dilanjutkan pula oleh Syeich Mo. Ridha (1856-1935).
Gerakan tersebut dalam dunia Islam yang tadinya semula berkobar di Mesir, sangat besar pengaruhnya, hal ini tidak hanya terbatas di dunia Arab, melainkan di Asia Tenggara dan termasuk di Indonesia. Puncak dari reformasi dan modernissasi ini di Indonesia berdirinya suatu organisasi agama yang bersifat sosial dalam suatu wadah di sebut Muhammadiyah.  Organisasi ini didirikan oleh KH. Muhammad Dahlan pada tanggal 18 November 1962 di Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah sebagai realisasi atas ide pembaharuan dalam Islam. Perjuangan Muhammadiyah merupakan suatu revolusi cara berpikir yang bebas dari ikatan-ikatan tradisional. Karena untuk mengubah suatu masyarakat dimulai pembaharuan cara berpikir yang berpijak pada keyakinan manusia. Muhammadiyah hidup dengan memberantas tentang Idealisme, conservatism, cara tradisional agar kemurnian agama Islam tetep kembali.
Muhammadiyah lahir, merupakan pelopor kebangkitan Islam di Indonesia, benih-benihnya diantaranya terjadi pada perkembangan-perkembangan Islam di Minangkabau. Organisasi ini muncul diseluruh pelosok Indonesia, diantaranya di Padang.
Muhammadiyah di Pada dikembangkan oleh Syeich Abdul Karim Amrullah, doctor honoris causa, dengan pesatnya pada tahun 1925. Dengan berdirinya Muhammadiyah di Pada membuat Belanda cemas dan gentar menghadapi beliau dan pernah pula dibuang ke Jakarta dan wafat pada tahun 1925. Kalau orang melihat sepintas lalu Muhammadiyah sebagai penanam benih modernisasi umat Islam di Indonesia. Tetapi kalau kita teliti, modernisasi Islam sudah ada lebih kurang 100 tahun yang lalu; pada waktu terjadinya perang Padri. Dalam waktu dekat saja ranting dan cabang Muhammadiyah menyebar dengan cepat. Muhammadiyah bergerak juga dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah mempunyai saham dalam mencerdaskan bangsa, dengan kecerdasan itulah salah satu senjata untuk pengusir penjajah. Dengan demikian pula pada masa kemerdekaan menjadi pelopor menghasilkan patriot-patriot Islam yang maju. Sampai saat ini Muhammadiyah menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Tempat pendidikan dari tingkat rendah sampai dengan tingkat tinggi pun diselenggarakannya. Sekarang jumlahnya hampir 6000 buah dan diantaranya 40 fakultas dengan segala macam jurusannya yang ada di bawah pimpinan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sampai dimana peranan Muhammadiyah dalam dunia pendidikan, sangat tergantung kepada pemimpin dan teknis penyelenggaraannya, kalau tidak mau hanya tinggal sebagai tonggak-tonggak pendidikan saja. Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan termasuk pendidikan umum selain pendidikan Islam, juga bertujuan untuk mendidik bangsa Indonsia.
Hal ini pula sesuai dengan tujuan pendidikan hakikatnya, adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar berlangsung seumur hidup, dengan tidak meninggalkan nilai rohaniah. Hal ini suatu target yang harus kita capai dan kalau kita tinjau pula tujuan pendidikan Muhammadiyah, ialah terwujudnya manusia muslimin berakhlak mulia, cakap pecaya, kepada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat dan Negara. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka sejauh manakah materi sejarah perkembangan pengaruh ajaran Islam di Minangkabau yang diberikan di sekolah lanjutan. Kalau dilihat sampai dengan saat ini, hanya terbatas kepada mengemukakan pertentangan kaum Padri dengan kaum adat, serta diakhiri dengan kemenangan pihak ke tiga atau Belanda. Untuk itu ada baiknya, kalau materi Sejarah Islam di Minangkabau dimasukkan ke dalam unit pelajaran Sejarah di sekolah lanjutan pada kelas-kelas terkahir. Dengan menekankan tentang bagaimana pengaruh kemurnian agama yang harus kita perjuangkan merupakan manifestasi beragama khususnya, untuk kemajuan Islam pada umumnya.
Selanjutnya sumbangan pengaruh Islam di Minangkabau sudah mempunyai arti guna menunjang cita-cita Nasional dalam menuntut kemerdekaan dan begitu juga kebudayaan Indonesia. Dapat disinggung sampai dewasa ini + 60% dari 150 Khatib yang terdaftar diseluruh masjid kota Jakarta ini berasal dari Minangkabau.
Di samping itu peranan guru-guru dalam mata pelajaran Sejarah dan agama agar menjadi pelaku yang baik Karen ada anggapan pelajaran sejarah sangat mudah menyajikannya, cukup dengan membaca dan belajar sendiri. Untuk itu guru hendaknya dapat membuat bagaimana cerita-cerita lama serta peninggalan tersebut dapat hidup di hati sanubari anak didik.
Juga peranan guru-guru agama mempunyai tanggung jawab penuh, jangan sampai pelajaran agama di sekolah menjadi bahan permainan anak dengan dalih apapun sebagai alasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama. Kapan semuanya ini berakhir tergantung kepada guru-guru sajakah?
Menyangkut cara penyajian pelajaran sejarah di sekolah dapat juga dipakai kiranya, misalnya, metode ceramah, metode Tanya jawab, diskusi, metode pemberian tugas, metode sosiodrama dan bermain peranan, dan metode proyek, metode problem solving. Harapan, agar sejarah pengaruh Islam di Minagkabau dapat dihayati, dan dipelajari sebaik-baiknya oleh generasi sekarang dan yang akan datang.




KESIMPULAN

Setelah mengadakan analisa dan penafsiran atas fakta-fakta serta adat-adat, sejarah yang berkaitan dengan, Islam di Minangkabau, maka sampailah kepada suatu penegasan bahwa, kesimpulan kami mengenai masalah yang dibicarakan ini, adalah sebagai berikut :
1.   “Pertentangan yang sengit antar golongan Wahabi di satu pihak dengan Syi’ah dan adat dilain pihak berpangkal pada masalah pemurnian kembali ajaran Islam”. Bahwa sebagai akibatnya rakyat Minangkabau ada yang menganut aliran Syi’ah dan adapula Mazhab Syafi’i (Syafiiyah) dan Mazhab-Mazhab yang lain. Penyelewengan-penyelewengan terhadap Ikrar bersama rakyat Minangkabau yaitu; isi Piagam Bukit Mara Palam, yaitu “Adat Basansi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” dilakukan oleh oknum-oknum dari segala golongan, baik golongan Adat dan Agama, maupun golongan cerdik pandai, bermotifkan kepentingan masing-masing. Bahwa pertentangan itu berpangkal kepada usaha-usaha untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam, terlihat dalam gerakan-gerakan dalam Perang Padri (1803-1838) yang bersumber pada gerakan Wahabisme dari Tanah Mekah dan usaha-usaha pembaharuan dibidang pendidikan yang dipelopori oleh murid-murid Syeich Ahmad Chatib di Mekah yaitu Syeich Muhammad Jambek, Syeich Muhammad Thaib, Umar, Syeich Muhammad Abdullah dan Syeich Haji Abdulkarim Amarullah, sekembalinya mereka dari Mekah.
2.   Pembaharuan kedua dalam pendidikan bermula dari surat kemadrasah seperti Sumatara Thawalib, Dinniyah, mukminin kakatul mubaligin, sanawiyah, Islamin college normal Islam dan sebagainya. Berdirinya organisasi Muhammadiyah di Padang, banyak sedikitnya Belanda menjadi gentar, karena sepak terjang pemimpin dan pengikutnya.


















DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar Atjeh,        Prof. Dr. Perbandingan Mazhab, Penerbit Permata Djakarta, 1970.

Ahmad Datuk Batuah dan Datuk Mojoindo, Tambo Minangkabau, Penerbit Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Djakarta 1965.

Ahas S.H.           Masalah hukum warisan menurut Hukum Adat Minangkabau, Menggali Hukum Waris menurut Hukum Adat Minangkabau, Penerbit Center For Minangkabau, Studies Press Padang Indonesia, 1968.

Darwis Thaid, Datuk Sidi Bandoro,   Seluk Beluk Adat Minangkabau, Bukittinggi, 1967.

Hamka,               Mazhab Sjafii di Indonesia, Gema Islam no. VII 1 mei 1962.

............................ Muhammadijah di Minangkabau, Penerbit Jajasan Nurul Islam Djakarta, 1967.

Kamil Kartapradja,     Pengantar Peladjaran ke Muhammadijah, diterbitkan oleh Jajasan Darul Nikam Djakarta, 1968.

Ki Hadjar Dewantara,             Kerja Ki Hadjar Dewantara, Bab I, Pendidikan, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa Jogjakarta, 1962.

M.D. Mansoer dkk.     Sedjarah Minangkabau, Batara N.V. Djakarta 1970.

Muhammad Radjab,   Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) P.N. Balai Pustaka, Djakarta, 1964.

M. Nasroen,       Dasar Filsafat Adat dan Pendjajahan dan Dr. Omar Penerbit C. V. Ramadhani Semarang JKPI Solo.

Sidi Gazalba,      Mesdjid Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam Pustaka Antara, Djakarta, 1962.

Ter Haar, Thomas Walker Arnold       Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Terdjemah K. Ng. Soebekti Poestonoto, Prondja Permata, Djakarta, 1960.

Van Dyk,           Pengantar Hukum Adat Indonesia, (terdjemah Mr. A. Soehardi), Sumur Bandung, 1964.

...........................Departemen Penerangan Republik Indonesia Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1973 hal. 91.

...........................Hasil Keputusan Muktamar Muhammadijah ke : 38 di Udjung Pandang 1-6- Sja’ban 1391,
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar