ABSTRAK
Dasar falsafah Minangkabau adalah “alam
kekembang jadikan guru atau ketentuan-ketentuan dalam yang nyata, sedangkan
sendi datangnya adalah, disebut dengan pulukan “Tuanku Tigo Sajarangan, yaitu
pertama pulukan alur jo patut”, (meletakkan sesuatu pada tempatnya) kedua
pilukan anggo jo tango” (sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga)
sedangkan “rato jo parago” (sebagai peri kemanusiaan dan kebenaran). Jadi sendi
Minangkabau adalah kewajaran atau meletakkan sesuatu pada tempatnya keadilan,
prikemanusiaan dan kebenaran, dengan demikian berdirilah adat Minangkabau yang
kokoh kuat yang dilahirkan dengan kato-kato adat yang kesemuanya merupakan
“Lembago nan sapuluh”. Dengan berpegang dengan ketentuan-ketentuan diatas, maka
apabila ada gejala-gejala baik yang kurang tepat maka abstrak perlu diadakan persembahan
dan pembaharuan. Proses pembaharuan pertama, terutama didasarkan kepada
menggunakan cara-cara kekerasan, tugasnya merupakan suatu pertikaian fisik,
yang mulai meletusnya oleh para pendukung mazhab Hambali dengan penganut aliran
Syi’ah, sedangkan pemangku-pemangku adat berada pada kedua belah pihak. Pertikaian
fisik bersumber pada agama sebagai ideologi dan kekuatan (politik) sebagainya
telah membakar alam menyebabkan selam lebih kurang seperempat abad berakhir
dengan kemenangan pihak ketiga, yaitu bangsa Belanda. Proses pembaharuan,
gelombang pertama bertitik tolak pada kemurnian agama Islam masih terbengkalan
dan akan digerakan kembali dalam gelombang kedua yang dimulai semenjak
permulaan abad ke XX. Pada gelombang kedua diselesaikan pada masalah kelalaian
pendidikan Islam yaitu system surau menjadi system madrasah yang berkelas-kelas
dan ilmu falak, hisab serta ilmu pengetahuan dimasukkan kedalam madrasah
tersebut seperti, sunah thawalib, Diniyah, muslimin kuliyatul muballign,
sanawiyah “Islamic college”, dengan demikian keluarlah syariat Islam yang
menuju hal ini sangatlah penting, mengingat rakyat Indonesia, sebagian besar
beragama Islam pada khususnya kemajuan nusa bangsa umumnya seperti diketahui
untuk merabah satu bangsa, mulai merubah cara berpikir dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai rohaniah.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam sudah
menjadi agama orang-orang Minangkabau dengan terjalinya adat dan agama maka
kebudayaan menjadi dominan dalam kehidupan orang Minangkabau, sehingga
masyarakat Minangkabau berbentengkan adat yang bersendikan kepada agama
Islalam.
Aliran agama Islam yang
masuk ke daerah ini adalah mula-mula mazhab syafi`I, kemudian masuk pula aliran
baru, ialah syiah yang mungkin berasal dari Aceh sejalan dengan ekspansi Aceh
ke daerah-daerah pesisir Sumatera Barat dengan bukti masih terdapat
upacara-upacara Tabut pada perayaan 10 Muharam (hari Asejera) dengan semuanya
keluarga Ali.
Dengan kembalinya Haji
Piabang, Haji Sumanik, dan Haji Muskin dari tanah Mekkah pada permulaan Abad ke
XIX, yang melihat dari dekat kemajuan yang dicapai oleh kaum Wahabi dibawa dalam usaha memurnikan agama Islam,
maka berkembang di Minagkabau mazhab Hambali atau aliran Wahabi.
Di Minakabau
perkembangan mazhab Hambali dikenal dengan “gerakan Islam kaum putih atau
orang-orang Padri” negara Islam (Darull Islam) yang hendak didirikan oleh
aliran Islam kaum putih di Minangkabau, dengan memusatkan kekuatan dalam satu
tangan mendapat tantangan hebat dari ulama-ulama syiah pemangku-pemangku adat,
pada satu pihak yang memuncak menjadi perang saudara (1804-1830).
Selama ini perang Padri
yang diajarkan hingga sekarang ini, merupakan bagian terakhir dari pada perang
saudara, yaitu berlangsung antara tahun 1822-1837.
Perang saudara itu
melemahkan kedudukan politik ekonomis orang-orang Minagkabau sendiri sehingga
memberi peluang kepada kolonial Belanda untuk menanamkan pengaruh politik
ekonominya didaerah tersebut.
Hal-hal yang telah
diuangkap diatas merupakan usaha untuk pembaharuan Islam sebagai pembaharuan
pertama dan selanjutnya diteruskan pembaharuan Islam melalui pelaksanaan pendidikan
di Minangkabau.
B. Perumusan Masalah
- Bagaimanakah proses pembaharuan Islam di Minangkabau
- Bagaimana peranan pendidikan dalam pembaharuan Islam di Minangkabau
C. Tujuan
Penelitian
- Untuk mendeskipsikan proses pembaharuan Islam di Minagkabau
- Untuk mendeskripsikan peranan pendidikan dalam proses pembaharuan Islam di Minangkabau.
D. Metode
Peneltian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pemecahan masalah (Problem
Solving Methode) dan langkah-langkahnya sebagai berikut :
- Menetapkan serta merumuskan permasalahan sesuai dengan yang akan diteliti
- mencari serta mengumpulkan pembuktian pembuktian dalam bentuk fakta dan data dengan menggunakan metode penelitian perpustakaan
- melakukan analisa terhadap fakta dan data tersebut dengan menggunakan metode sejarah (historical methode)
- Mempertegas kesimpulan serta saran-saran
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Proses pembaharuan Islam di Minangkabau
Sejarah Minangkabau mengungkapkan, bahwa pada tahun 1782
telah dibuat antara golongan adat, golongan agama dan cerdik pandai alam
Minangkabau sesuatu piagam yang menjadi dasar kerjasama serta pengaman keluar
dan kedalam, yakni “Piagam Bukit Marapalam”, yaitu pada suatu kota dalam
Kecamatan Rambatan Tigo Kota (Batusangkar). Puncak dari piagam itu
berbunyi : ………….. Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah……”.
Dari jiwa Piagam
ini Nampak, bahwa masyarakat Minangkabau akan tetap hidup beradat dan karena adat
tersebut bermacam-macam dasarnya sebagai akibat proses sejarah perkembangan
Minangkabau selama ini, maka dicarilah yang berdasarkan syarak. Walaupun dalam
Piagam itu hanya perkataan syarak yang disebut, namun sudah pasti yang dimaksud
adalah “Syariah Islamiah”. Syariah Islamiah disini tentu bermacam-macam pula,
andai kata ada macam-macamnya, jelas yang semata-mata yang didasarkan kepada
Kitabullah adalah “Al-Qur’an”.
Rakyat
Minangkabau pasti tidak dapat membuang semua adat lama pusaka usang, karena malu
sekiranya disebut bangsa yang tak beradat. Sebaliknya agama Islam tidak akan
begitu saja membuang hal-hal yang baik dari masa-masa sebelumnya. Selagi tidak
bertentangan dengan isi Al-Aur’an dan Sunnah Rasul, hanya melarang hal-hal yang
jahil yang akan merusak Tauhid dan pergaulan hidup, karena untuk itulah agama
Islam diturunkan pada manusia.
Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul dijadikan norma Hukum atau cupak standard, agar tidak menimbulkan
kesimpang-siuran yang terlalu banyak dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menimbulkan kegoncangan. Akhirnya sebagaimana lazimnya pada setiap gerakan sosial,
maka setiap ada aksi pasti aka nada pula reaksi, pasti ada yang pro dan ada
pula yang kontra, hal ini lumrah terjadi, bagaimanapun, kapanpun dan dimanapun
di dunia ini.
Mulailah
golongan-golongan tertentu menyelewengkan maksud suci yang di atas, baik dari
kalangan kaum adat yang kurang tinggi serta kurang kuat moralnya, maupun dari
kalangan kaum agama yang lemah iman serta sudah “vested interes”: demikian pula
dari kalangan kaum cerdik pandai yang mempunyai maksud kurang baik, karena
kalah pengaruh.
Pada hal selama
ini pepatah “Adat jo Syarak, bak aur jo tabing (aur=bamboo bersatu dengan
tebing), telah terbina dengan cukup memuaskan hokum Syarak telah menjiwai hokum
adat di Minangkabau. Walaupun demikian Hukum Faraid tidak seluruhnya berlaku di
Minangkabau, karena pusaka tidak turun kepada anak (laki-laki), tetapi kepada
kemanakan, anak-anak saudara wanita dari fihak ayah. Keluarga dalam pengertian
Minangkabau adalah anggota-anggota yang seperti (saparuik), berasal dari satu
kandungan secara turun-menurun.
Dalam bidang
pemerintahan, para alim ulama duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan
pemangku-pemangku adat dan kaum cerdik pandai, sebagai anggota dari “tungku
tigo sejarang (orang-orang yang berpengaruh masyarakat). Raja alam di
Pagaruyung secra teoritis memegang kekuasaan tertinggi dibidang pemerintahan,
Raja Ibadat di Sumpur Kudus penguasa tertinggi di bidang agama dan Raja Adat di
Buo dibidang adat.
Sebagai lambang
kekuasaan di bidang politik agama dan adat, ketiga pejabat tersebut tidak
memiliki kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan
eksekutif ini berada dalam tangan “Basa nan
Ampek Balai” yang dapat disebut sebagai dewan menteri, yang terdiri dari
:
1.
Tuan
Kedhi di Padang Canting (Tanah Datar).
2. Tuanku
Makhdum di Sumanik (Tanah Datar) sebagai Menteri Kehakiman.
3. Tuanku Titah di Sungai Tarab (Tanah Datar)
sebagai Perdana Menteri.
4.
Tuanku
Indomo di Suruaso (Tanah Datar) sebagai Menteri Pertahanan-Keamanan (Hankam).
Juru bicara Laras Budi Caniago ialah Datuk Nedaro Nan
Kuning, yaitu sebagai Menteri dalam Negeri dan tunduk kepada Tuanku Indomo.
Sedangkan juru bicara Laras Koto Piliang ialah Datuk Bandaro Nan Hitam, yaitu
sebagai Menteri Luar Negeri dan tunduk kepada Tuanku Titah Sungai Tarap.
Pertentangan-pertentangan
yang terjadi, melemahkan kehidupan bermasyarakat orang-orang Minangkabau, yaitu
Piagam Bukit Marapalam atau tegasnya puncak Piagam tersebut, yakni adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah; dengan kata lain yaitu Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul.
Oleh karena itu justru timbul gerakan pembaharuan didalam
Islam itu sendiri di Minangkabau; Gerakan Padri dipermulaan abad ke-XIX.
Gerakan pembaharuan yang pertama dimulai dengan timbulnya Gerakan Padri pada
permulaan abad ke-XIX. Dengan kedudukan tiga orang ulama dari Mekah, yaitu Haji
Miskin Pandai Sikat (Luhak Agama), Haji Abduraahman Piobang (Luhak Lima puluh
Koto) dan haji Arif Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar). Setelah Belanda dapat
mengalahkan kaum Padri, karena Bonjol telah dapat diserbu dan Tuanku Imam
ditawan lalu diasingkan (1837), boleh dikatakan, bahwa golongan pertama dari
gerakan pembaharuan di Minangkabau telah terhenti.
Gerakan pembaharuan yang kedua dimulai dengan pulangnya
murid-murid Syeich Ahmad Chatib dari Mekah. Mereka adalah Syeich Muhammad Jamil
Djambek dari Bukit tinggi (Luhak Agama), Syeich Muhammad Thaib Umar dari Sungai
yang (Luhak Tanah Datar) dan Syeich Abdullah Ahmad asal mula Padang Panjang.
Kemudian pindah ke Padang, setelah itu ke Padang Panjang dan setelah itu ke
Jakarta. Akhirnya meninggal di Jakarta.
Proses pembaharuan yang pertama terutama didasarkan
kepada menggunakan cara-cara kekerasan, tegasnya merupakan suatu pertikaian
fisik, yang mulai meletus diantara para pendukung Mazhab Hambali dengan
penganut aliran Syi’ah.
Pertikaian fisik bersumber agama sebagai ideology dan
kekuasaan (politik) sebagai tujuan, telah membakar alam Minangkabau selama
lebih kurang seperempat abad dan berakhir dengan kemenangan pihak ketiga yang
diundang sebagai penengah, yaitu bangsa Belanda. Perang Padri ini bukan
semata-mata ditimbulkan oleh suatu bentrokan antara golongan adat dengan
golongan agama, karena bentrokan itu terjadi juga dikalangan golongan agama
sendiri; terutama antara pengikut-pengikut mazhab Hambali dengan pangikut
aliran Syi’ah, dan pemangku-pemangku adat disatu pihak.
Perang Padri pada hakekatnya merupakan suatu fenomena
(gejala) sosial, yaitu sejenis konflik antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat Minangkabau yang berlawanan kepentingan-kepentingannya dimasa itu.
Bahwa terjadi konflik antara adat dan ajaran Islam adalah
hal yang wajar, bahkan kalau tidak ada konflik justru tidak wajar sama sekali,
adat adalah produk manusia sedangkan ajaran Islam diturunkan oleh Tuhan yang
Maha Esa melalui Nabi Muhammad s.a.w. Kebenaran manusia adalah nisbi sifatnya,
sehingga terikat pada ruang dan waktu; sebaliknya memang ada unsur-unsur adat
yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan hal ini tidak pula dapat diingkari.
Proses pembaharuan yang pertama sekaligus merupakan
pertikaian fisik antara dua golongan yang ingin memperatahakan pandangan dan
kepentingan hidup masing-masing, sama mengalami kekalahan, justru pihak ketiga
yang diundang sebagai penengah, yaitu bangsa Belanda, yang memperoleh kemenangan
dalam konflik ini. Oleh karena itu proses pembaharuan gelombang pertama
mengenai ajaran-ajaran Islam di Minangkabau masih terbengkalai dan akan
digerakkan kembali dalam golongan kedua yang dimulai semenjak permulaan abad
ke-XX.
Apabila gerakan dan Perang Padri (1803-1838) dinyatakan
sebagai gelombang pertama usaha pembaharuan ajaran-ajaran Islam di Minangkabau,
maka perombakan sistim pendidikan dan pemurnian pelaksanaan Hukum Islam (Fiqih)
semenjak permulaan abad ke XX dinyatakan sebagai gelombang kedua dari pada
usaha tersebut.
Timbulnya kekosongan kepimpinan dalam masyarakat
Minangkabau munculnya ulama-ulama muda berpendidikan Islam di Tanah Arab dan
kaum cerdik pandai (intelektual) muda berpendidikan Barat di Jawa dan Eropa.
Seperti halnya dengan Gerakan pembaharuan gelombang pertama, maka gerakan
pembaharuan gelombang kedua ini juga para pemimpin agama Islam yang memegang
peranan yang sangat menetukan. Hal ini adalah wajar karena masyarakat
Minangkabau didasarkan kepada “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Golongan tradisi, yaitu kalangan bukan pembaharuan,
seperti halnya dizaman pra-Padri, lebih memperhatikan masalah agama dan adat
dalam arti yang sempit, yaitu masalah agama dan adat dalam arti yang sempit,
yaitu soal ibadah dan praktek-praktek adat sehari-hari. Pertama ulama-ulama
Islam membatasi dirinya dengan faham mistik atau terikat, bahkan mereka hanya
mengakui taqlid dan menolak ijtihad.
BAB III
PERANAN PENDIDIKAN
DALAM PROSES PEMBAHARUAN
MASYARAKAT DI
MINANGKABAU
1.
Gerakan
pembaharuan di Minangkabau.
Gerakan
pembaharuan di dalam Islam itu sendiri di Minangkabau berlaku dalam dua
gelombang, yaitu yang pertama semasa timbulnya gerakan Padri, yang kedua
dimulai dengan pulangnya para murid Syeich Ahmad Chatib dari Mekah, tegasnya
sesudah tahun 1900. Apabila Gerakan Padri dalam melaksanakan itu terutama
menggerakkan senjata, maka pembaharuan golongan kedua terutama ditekankan
kepada bidang pendidikan dan hukum fiqih.
Golongan
pembaharuan sesudah tahun 1900 berusaha mencari hakekat dari Islam itu pada
umumnya, bagi mereka terkandung kayakinan, bahwa ajaran Islam itu selalu
berlaku sepanjang zaman, kondisi serta situasi. Dengan demikian mereka melihat
bahwa ajaran Islam mengandung ajaran tentang kepercayaan yang tidak mungkin
menghambat usaha-usaha pengembangan demi kemajuan bidang pengetahuan dan
teknologi.
Golongan
pembaharuan juga melihat, bahwa ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara kaum
pria dengan kaum wanita.
Islam
merupakan agam universal, yang dasar-dasar ajarannya telah disampaikan oleh
para Nabi dan Rasul kepada semua bangsa. Nabi dan Rasul terakhir ialah Nabi
besar Muhammad s.a.w. penyampai ajaran Ilahi untuk segenap umat manusia.
Menurut
golongan pembaharuan paham seperti yang tersebut di atas, terbentuk dalam
Syari’ah (Syaral), yaitu Hukum Islam dalam pengertian yang luas. Syari’ah
mencakup persoalan agama dalam arti yang sempit dan dalam arti duniawi. Dalam
arti yang sempit mencakup segala sesuatu yang dilarang, kecuali yang disuruh,
dengan demikian pula sembahyang telah ditetapkan dan adalah bid’ah bila di
dalam dijumpai cara-cara yang tidak di contohkan Nabi.
Gerakan
tersebut dinamakan juga Gerakan Salafiyyah atau dalam bahasa Inggeris disebut
“Reformation” sedangkan di Minangkabau disebut “Aliran Muda”, aliran Wahabi.
Tujuan Gerakan Pembaharuan ini berarti kembali kepada kemurnian Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul yaitu dengan meninggalkan pertentangan antara mazhab-mazhab dan
segala syirik dan bid’ah, serta dinamakan juga “At-Tajdid” (Pembaharuan dalam
Islam). Gerakan Reformasi ini dalam bahasa Arab disebut “Muhyi Atsaris Salaf”.
Timbulnya
Gerakan Reformasi ini didasari oleh suatu keyakinan, bahwa kelemahan dan
kemunduran Islam berpangkal pada kebiasaan umat Islam sendiri, yang sudah jauh
dari dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Kebiasaan
tersebut banyak yang sudah merupakan perbuatan-perbuatan Syirik dan bid’ah,
sehingga tidak sesuai lagi dengan ajaran Tauhid. Oleh karena itu perjuangan
gerakan Salafiyyah ini, diantaranya kaum Wahabi di Mekah, terutama ditujukan
kepada pembinaan suatu ajaran Tauhid guna mengembalikan keyakinan umat Islam
yang bulat kepada Allah semata, sehingga mereka dapat menumbuhkan kembali
kekuatan raksasa yang pernah dimiliki oleh umat Islam pada zaman dahulu. Mereka
megadakan jihad yang sungguh-sungguh untuk membasmi segala perbuatan lahir dan bathin yang dapat
membawa kepada mempersekutukan Tuhan, yang dapat menarik mereka kepada
penyembahan patung-patung serta berhala dan manusia serta alam sekitarnya, atau
sesuatu penyembahan secara tak langsung kepada Allah s.w.t. Kaum Wahabi
berpendapat, bahwa umat Islam pada abad-abad sesudah Nabi Muhammad s.a.w. dan
para chulafaur-Rashidin berada dalam keadaan yang sama dengan suku-suku Arab
Jahiliah, mereka telah kehilangan kekuatan dan zaman keemasan yang pernah
dimilikinya.
Pengikut-pengikut
imam Muhammad Ibnu Abdul Wahab sendiri menanamkan dirinya golongan “Muwahidin”,
artinya pendukung Tauhid Allah dan kitab mereka dinamakan “Al-Tauhid”. Pada
bagian “Mukaddimah” dari kitab tersebut, imam ini menggambarkan tentang
bagaimana sebenarnya apa yang disebut sebagai “Aqidah Ahlu Sunnah” itu, oleh
karena itu mereka termasuk juga dalam golongan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah.
Dalam arti
duniawi ada bagian-bagian Syariah yang jelas-jelas berpangkal pada
perintah-perintah Tuhan, tetapi ia tetap ma’qul, yaitu maksud ini pun
dijelaskan, akan tetapi penyelenggaraan dan pelaksanaannya terserah pada
manusia menurut waktu, kondisi serta situasi, asalkan maksud ajaran itu
tercapai, termasuk dalam ajaran ini misalnya membela anak yatim dan membantu
fakir miskin. Ada
pula bagian-bagian Syariah dalam arti duniawi ini, yang timbul lepas dari soal,
apakah ada agama atau tidak, dalam hal ini segala sesuatu boleh, kecuali yang
tegas dilarang dan batas-batas ini disebut “had”. Contoh yang sederhana adalah
makan dan minum, yang pada dasarnya boleh (apakah ada agama atau tidak, apa
saja dan cara bagaimanapun), kecuali yang disebut “had”nya dalam Al-Qur’an,
seperti daging babi, minuman keras dan darah, atau “had”, bahwa seseorang itu
tidak boleh berkelebihan.
Menurut golongan
pembaharuan hal-hal yang tersebut diatas tidak diperhatikan pembagiannya dalam
Syariah, akibatnya bid’ah dalam beribadah dibiarkan, bahkan seringkali bid’ah
tersebut seakan-akan merupakan ajaran agama, sebaliknya, dalam hal-hal duniawi
kebebasan dan pikiran umat Islam dibelenggu sedemikian rupa, sehingga
penyesuaian sistim pendidikan Islam dengan sistim pendidikan Barat dianggap
haram. Sikap inilah yang jamud. Mereka seakan-akan tenggelam dengan
kebiasaan-kebiasaan yang lama, sehingga menjadi buta dan tidak mau tahu
terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa lain.
Persoalan
kebebasan akal dan pikiran berhubungan dengan masalah “ijtihad taqlid”, menurut
mereka Islam menghormati kebebasan akal dan pikiran, tetapi mereka juga
mengakui pembatasan-pembatasan, agar jangan terjerumus kedalam yang mereka
anggap sesat. Agama diperlukan untuk memberikan jawaban kepada
persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan serta sebagai
landasan ukuran mengenai yang buruk dan baik.
Tegasnya
golongan pembaharu di Minangkabau hanya mengakui Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
sebagai sumber-sumber pokok pemikiran mereka. Mereka mengakui, bahwa pintu
ijtihad masih terbuka akan menolak taqlid. Ini tidak berarti, bahwa mereka
begitu saja menyalahi atau mengikuti pendirian mazhab-mazhab dan imam-imam
sudah tua, tetapi mereka berpendapat, bahwa fatwa dan pendapat para imam
tersebut dapat diteliti dan diperiksa kembali. Hal ini pun terhadap pendapat
dan pemikiran siapapun, berlaku tidaknya suatu fatwa, pendapat serta praktek
pada dasarnya harus diakui atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Pembicaraan
tentang Islam tidaklah terbatas dengan melalui urusan atas mesjid-mesjid saja,
tetapi dengan melalui jalan tablig diluar surau-surau dan mesjid-mesjid,
persoalan-persoalan tersebut sampai kepada masyarakat umum. Islampun mendapat
tempat disekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda,
walaupun diluar, guru-guru agama di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda
itu adalah dari golongan pembaharuan. Ibadahpun merupakan bagian dari
latihan-latihan kepaduan dan di masukkan kedalam lembaga-lembaga sosial seperti
rumah-rumah sakit dan lain-lain sebagainya.
Beberapa
perguruan Islam mempunyai kesediaan untuk mengadopsi cara-cara berorganisasi
serta cara-cara pendidikan serta pemikiran-pemikiran lain dari Barat, termasuk
cara-cara misi-misi Kristen sejauh yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar
Islam. Perguruan adabiah, Thawalib dan Diniyah mempergunakan system berkelas.
Bahkan Adabiah benar-benar mengadopsi system permerintah Hindia Belanda.
Setelah bahasa Arab juga diajarkan bahasa-bahasa asing lainnya, seperti baha
Inggris dan bahasa Belanda, lambat laun kitab-kitab yang ditulis pun
berangsur-angsur diterbitkan dalam bahasa Indonesia, waktu itu bahasa Melayu.
Dalam system pendidikan pengertian yang lebih penting dari hafalan.
Tetapi untuk
pendidikan menengah dan tinggi orang-orang Minangkabau masih merasa perlu untuk
mengirimkan putra-putrinya keluar daerah, terutama ke Jawa, bahkan ada juga
keluar negeri, termasuk Mesir dan Eropah.
Sebagian besar
ulama-ulama dalam gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah bekas murid-murid
Syeich Ahmad Chatib, masih saudara sepupu ayahanda Haji “Agus Salim”, The Grand
Old Man of Indonesia, yang pernah menjadi wakil Menteri Luar Negeri Indonesia
semasa perang kemerdekaan (1945-1949). Misalnya Syeickh Muhammad Jamil Djambek,
ayahanda dari Haji Sa`adoeddin Djambek, bekas Rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta,
mulai menggoyangkan sendi-sendi pegangan lama, karena dia yang mula-mula
memasukan ilmu falak dan Hisab dengan tangkas memberikan penerangan-penerangan
ke kampung-kampung. Yang lain adalah Syeickh Muhammad Thayib Umar yang membuka
sekolah agama di tanjung Sungayang (batusangkar) dan mulai memberikan pelajaran
agama yang berbeda dengan cara sebelumnya.
Syeich Abdullah
Achmad yang menerbitkan majalah Al Munir di Padang (1911) dan mendirikan
sekolah umum Aliyah (1912) dengan dengan Syarikat Usaha. Selanjutnya syeich
Abdul Karim yaitu ayahanda Prof. Dr. Hamka, yang turut membantu penerbitan
majalah Al Munir tersebut.
Pertentangan
yang semula tegang sekali antara ulama-ulama dengan ulama-ulama modern dan
antara kaum adan dan agama mendekat pecahnya Perang Dunia Kedua menjadi reda,
karena sikap kedewasaan masing-masing pihak, semua pihak telah sadar bahwa yang
mereka pertentangankan itu adalah masalah furu` dan bukan masalah usul atau
pokok agama.
Berbicara
mengenai peranan pendidikan dalam pembaharuan masyarakat di Minangkabau, maka
kita akan berbicara mengenai surau-surau dan madrasah-madrasah. Hal itu tidak
berarti bahwa pendidikan umum tidak berperan di dalam proses pembaharuan
pendidikan.
Surau-surau didirikan
oleh guru agama karena menurut ajaran Islam, bahwa anak-anak yang telah berusia
7 tahun wajib di suruh mengerjakan sholat, maka untuk itu perlu diadakan
tempat-tempat pendidikan buat mempelajari shalat tersebut, yaitu surau-surau.
Selain itu guru agama mengetahui dari sejarah pendidikan Islam.
Tiap-tiap
kampong selalu ada “kuttab”, yaitu tempat pendidikan Islam terutama bagi
anak-anak yang telah berumur 7 tahun. Sebaliknya para guru agama di Minagkabau
tidak menamakan Kuttab dalam bahasa Arab, melainkan disebut surau atau langgar
menurut bahasa Melayu (Indonesia),
tegasnya surau itulah tempat memperoleh dasar-dasar pendidikan Islam. Surau berkembang menjadi madrasah, yaitu tempat
pendidikan lanjutan pelajaran agama Islam.
Pada masa-masa Islam berpengaruh besar dan luas di Minangkabau,
maka pendidikan surau itu tegak dengan kuatnya pula, serta mengembangkan metode
mengajar yang disebut halaqoh (diskusi), yaitu duduk berkeliling, bersama-sama
menghadapi syeich dan murid-muridnya adalah merupakan guru-guru bantu Syeich.
Sesudah tahun 1900 tingkat pendidikan Islam terus
berlangsung seperti diatas, hanya saja adanya pembabakan dalam mata-mata
pelajaran bahasa Arab. Dalam periode ini lahir system surau, yaitu murid-murid
tinggal di surau atau perkampungan surau-surau, di pulau jawa disebut
Pesantren, bersama-sama dengan guru-guru yang memimpin mereka. Dengan ini, maka
lahirlah madrasah-madrasah yang mempunyai system berkelas-kelas, yaitu
berkembang terutama antara tahun 1915-1930.
Umunya madrasah-madrasah Diniah, Thawalib dan Tarbiah
Islamiyah mempunyai 7 kelas, kalau di kampong-kampung masih 4 atau 5 kelas.
Pemimpin-pemimpin, guru-guru serta murid-murid madrasah
ini lah yang kemudian memegang peranan dalam pembaharuan masyarakat Islam di
Minangkabau selanjutnya, seperti Syeich Muhammad Jamil Djambek, H.M. Thaib
Umar, H. Abdul Karim Amrullah dan lain-lain.
Berbagai majalah dan buku tentang agama Islam diterbitkan
dalam bahasa Indonesia, seperti Majalah Al Munir di Padang, Al Bayan di Parabek
dan lain sebagainya.
Selama tahun 1931-1945 terjadi kembali proses modernisasi
pada madrasah-madrasah tersbut, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat, yang melahirkan antara lain “Islamic College, Normal Islam,
Training College”, diprakarsai oleh persatuan guru-guru agama Islam (PGAI) di
Padang, yaitu kemudian ditutup oleh Jepang (Maret 1942).
Peranan madrasah-madrasah terhadap pembaharuan masyarakat
Islam di Minagkabau besar sekali, karena para lulusan :
1.
Mempelajari
ilmu agama dan ilmu umum, sehingga memiliki akal pikiran yang cukup logis dan
tak mempecayai lagi kepada khurafat-khurafat dan dagangan-dagangan.
2.
Mereka
mampu menghadapi berbagi persoalan dunia dan akhirat, karena tidak canggung
lagi menghadapi masyarakat dan dapat hidup menyesuaikan diri dengan orang
banyak, karena telah memiliki sejumlah ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Konflik agama di dalam Minangkabau antara golongan Syi`ah
dan mazhab Hambali atau golongan Wahabi berakhir dengan kemenangan golongan
ketiga, yaitu mazhab Syafi`iyah. Konflik politik antara kaum Padri dengan
pemangku-pemangku adat berakhir pula dengan kemenangan pihak ketiga, yaitu kaum
kolonialisme dan imperialisme Belanda.
Konflik agama yang tersbut di atas mulai berlangsung
sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, seperti dikemukakan oleh H. Abu Bakar Aceh
dalam “Syi`ah : Rasionalisme dalam Islam” Djakarta, 1965 hal. 6-9.
Konflik ini akhirnya memuncak menjadi peristiwa
“kebangkitan Islam”, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk semua gerakan
yang bermaksud membaharui cara berpikir serta cara hidup Islam. Kebangkitan ini
dimulai oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328), yaitu juga disebut sebagai “Muhyi
Atsaris Salaf”, yaitu pembangkit kembali ajaran-ajaran Sahabat dan Tabi`in,
terutama ajaran Ahmad Ibnu Hmabal, yang sering menggunakan ijtihad dan sangat
memnentang praktek-praktek syirik dan bid`ah.
Murid-murid Ibnu Taimiyah, baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti Ibnu Qaiyyim Al Yauxiyyah (1292-1350), Muhammad Ibnu
Wahab (1703-1787), Saiyyah Jamaluddin Al Afgani (1838-1897), Syeich Muhammad
Abduh (1849-1905), Sayyid Muammad Rasyid Ridha (1856-1935). Syayyid Ahmad Khan
(1817-1898) pembangun Universitas Alirarh di India dan lain-lain sebagainya
melanjutkan ajaran tersebut. Aliran ini kemudian masuk ke Indonesia,
diantaranya dalam bentuk gerakan Padri. Sumatera Thawalib, Al Irsyad,
Muhammadiyah, peraturan Islam dan sebagainya.
2.
Pengaruh Wahabisme dalam pendidikan Islam di Minangkabau
Reformasi dan modernisasi Islam dimulai dengan
pikiran-pikiran pembaharuan ditanamkan oleh para filosof seperti Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan Ibnu Qajjimal Zauziyah (1292-1350) dan dihidupkan kembali oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di daerah Arab.
Hal yang mendorong dan mengilhami mereka untuk mengadakn
gerakan tersebut akibat dari pada pengalaman yang pahit dalam dunia Islam
disebutkan sikap, perbuatan umat Islam sendiri yang dihinggapi
penyakit-penyakit seperti syirik, bid`ah ashabiyah mazhabisme, dan
lain-lainnya. Usaha ini diteruskan oleh Sayyid Jamaluddin Al Afghani
(1838-1897) di Meseir dengan masalah`al Urwatul kemudian diteruskan lagi oleh
Syeich Muhammad Abduh (1849-1905) dengan Al Manarnya dan dilanjutkan pula oleh
Syeich Mo. Ridha (1856-1935).
Gerakan tersebut dalam dunia Islam yang tadinya semula
berkobar di Mesir, sangat besar pengaruhnya, hal ini tidak hanya terbatas di
dunia Arab, melainkan di Asia Tenggara dan termasuk di Indonesia. Puncak dari
reformasi dan modernissasi ini di Indonesia berdirinya suatu organisasi agama
yang bersifat sosial dalam suatu wadah di sebut Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan oleh KH. Muhammad
Dahlan pada tanggal 18 November 1962 di Yogyakarta. Pendirian Muhammadiyah
sebagai realisasi atas ide pembaharuan dalam Islam. Perjuangan Muhammadiyah
merupakan suatu revolusi cara berpikir yang bebas dari ikatan-ikatan
tradisional. Karena untuk mengubah suatu masyarakat dimulai pembaharuan cara
berpikir yang berpijak pada keyakinan manusia. Muhammadiyah hidup dengan
memberantas tentang Idealisme, conservatism, cara tradisional agar kemurnian
agama Islam tetep kembali.
Muhammadiyah lahir, merupakan pelopor kebangkitan Islam
di Indonesia, benih-benihnya diantaranya terjadi pada perkembangan-perkembangan
Islam di Minangkabau. Organisasi ini muncul diseluruh pelosok Indonesia,
diantaranya di Padang.
Muhammadiyah di Pada dikembangkan oleh Syeich Abdul Karim
Amrullah, doctor honoris causa, dengan pesatnya pada tahun 1925. Dengan
berdirinya Muhammadiyah di Pada membuat Belanda cemas dan gentar menghadapi
beliau dan pernah pula dibuang ke Jakarta dan wafat pada tahun 1925. Kalau
orang melihat sepintas lalu Muhammadiyah sebagai penanam benih modernisasi umat
Islam di Indonesia. Tetapi kalau kita teliti, modernisasi Islam sudah ada lebih
kurang 100 tahun yang lalu; pada waktu terjadinya perang Padri. Dalam waktu
dekat saja ranting dan cabang Muhammadiyah menyebar dengan cepat. Muhammadiyah
bergerak juga dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah mempunyai saham dalam
mencerdaskan bangsa, dengan kecerdasan itulah salah satu senjata untuk pengusir
penjajah. Dengan demikian pula pada masa kemerdekaan menjadi pelopor
menghasilkan patriot-patriot Islam yang maju. Sampai saat ini Muhammadiyah
menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Tempat pendidikan dari
tingkat rendah sampai dengan tingkat tinggi pun diselenggarakannya. Sekarang
jumlahnya hampir 6000 buah dan diantaranya 40 fakultas dengan segala macam
jurusannya yang ada di bawah pimpinan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sampai dimana peranan Muhammadiyah dalam dunia
pendidikan, sangat tergantung kepada pemimpin dan teknis penyelenggaraannya,
kalau tidak mau hanya tinggal sebagai tonggak-tonggak pendidikan saja.
Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan termasuk pendidikan umum selain
pendidikan Islam, juga bertujuan untuk mendidik bangsa Indonsia.
Hal ini pula sesuai dengan tujuan pendidikan hakikatnya,
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan
di luar berlangsung seumur hidup, dengan tidak meninggalkan nilai rohaniah. Hal
ini suatu target yang harus kita capai dan kalau kita tinjau pula tujuan
pendidikan Muhammadiyah, ialah terwujudnya manusia muslimin berakhlak mulia,
cakap pecaya, kepada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat dan Negara.
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka sejauh manakah materi sejarah
perkembangan pengaruh ajaran Islam di Minangkabau yang diberikan di sekolah
lanjutan. Kalau dilihat sampai dengan saat ini, hanya terbatas kepada
mengemukakan pertentangan kaum Padri dengan kaum adat, serta diakhiri dengan
kemenangan pihak ke tiga atau Belanda. Untuk itu ada baiknya, kalau materi
Sejarah Islam di Minangkabau dimasukkan ke dalam unit pelajaran Sejarah di
sekolah lanjutan pada kelas-kelas terkahir. Dengan menekankan tentang bagaimana
pengaruh kemurnian agama yang harus kita perjuangkan merupakan manifestasi
beragama khususnya, untuk kemajuan Islam pada umumnya.
Selanjutnya sumbangan pengaruh Islam di Minangkabau sudah
mempunyai arti guna menunjang cita-cita Nasional dalam menuntut kemerdekaan dan
begitu juga kebudayaan Indonesia. Dapat disinggung sampai dewasa ini +
60% dari 150 Khatib yang terdaftar diseluruh masjid kota Jakarta ini berasal
dari Minangkabau.
Di samping itu peranan guru-guru dalam mata pelajaran
Sejarah dan agama agar menjadi pelaku yang baik Karen ada anggapan pelajaran
sejarah sangat mudah menyajikannya, cukup dengan membaca dan belajar sendiri.
Untuk itu guru hendaknya dapat membuat bagaimana cerita-cerita lama serta
peninggalan tersebut dapat hidup di hati sanubari anak didik.
Juga peranan guru-guru agama mempunyai tanggung jawab
penuh, jangan sampai pelajaran agama di sekolah menjadi bahan permainan anak dengan
dalih apapun sebagai alasan untuk tidak mengikuti pelajaran agama. Kapan
semuanya ini berakhir tergantung kepada guru-guru sajakah?
Menyangkut cara penyajian pelajaran sejarah di sekolah
dapat juga dipakai kiranya, misalnya, metode ceramah, metode Tanya jawab,
diskusi, metode pemberian tugas, metode sosiodrama dan bermain peranan, dan
metode proyek, metode problem solving. Harapan, agar sejarah pengaruh Islam di
Minagkabau dapat dihayati, dan dipelajari sebaik-baiknya oleh generasi sekarang
dan yang akan datang.
KESIMPULAN
Setelah
mengadakan analisa dan penafsiran atas fakta-fakta serta adat-adat, sejarah
yang berkaitan dengan, Islam di Minangkabau, maka sampailah kepada suatu
penegasan bahwa, kesimpulan kami mengenai masalah yang dibicarakan ini, adalah
sebagai berikut :
1.
“Pertentangan yang sengit antar golongan
Wahabi di satu pihak dengan Syi’ah dan adat dilain pihak berpangkal pada
masalah pemurnian kembali ajaran Islam”. Bahwa sebagai akibatnya rakyat
Minangkabau ada yang menganut aliran Syi’ah dan adapula Mazhab Syafi’i
(Syafiiyah) dan Mazhab-Mazhab yang lain. Penyelewengan-penyelewengan terhadap
Ikrar bersama rakyat Minangkabau yaitu; isi Piagam Bukit Mara Palam, yaitu
“Adat Basansi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” dilakukan oleh oknum-oknum
dari segala golongan, baik golongan Adat dan Agama, maupun golongan cerdik
pandai, bermotifkan kepentingan masing-masing. Bahwa pertentangan itu
berpangkal kepada usaha-usaha untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam,
terlihat dalam gerakan-gerakan dalam Perang Padri (1803-1838) yang bersumber
pada gerakan Wahabisme dari Tanah Mekah dan usaha-usaha pembaharuan dibidang
pendidikan yang dipelopori oleh murid-murid Syeich Ahmad Chatib di Mekah yaitu
Syeich Muhammad Jambek, Syeich Muhammad Thaib, Umar, Syeich Muhammad Abdullah
dan Syeich Haji Abdulkarim Amarullah, sekembalinya mereka dari Mekah.
2.
Pembaharuan kedua dalam pendidikan
bermula dari surat kemadrasah seperti Sumatara Thawalib, Dinniyah, mukminin
kakatul mubaligin, sanawiyah, Islamin college normal Islam dan sebagainya. Berdirinya
organisasi Muhammadiyah di Padang, banyak sedikitnya Belanda menjadi gentar,
karena sepak terjang pemimpin dan pengikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr.
Perbandingan Mazhab, Penerbit Permata Djakarta, 1970.
Ahmad Datuk Batuah dan Datuk Mojoindo, Tambo
Minangkabau, Penerbit Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Djakarta 1965.
Ahas S.H. Masalah hukum
warisan menurut Hukum Adat Minangkabau, Menggali Hukum Waris menurut Hukum Adat
Minangkabau, Penerbit Center For Minangkabau, Studies Press Padang Indonesia,
1968.
Darwis Thaid, Datuk Sidi Bandoro, Seluk
Beluk Adat Minangkabau, Bukittinggi, 1967.
Hamka, Mazhab Sjafii di
Indonesia, Gema Islam no. VII 1 mei 1962.
............................ Muhammadijah di Minangkabau, Penerbit Jajasan
Nurul Islam Djakarta, 1967.
Kamil Kartapradja, Pengantar
Peladjaran ke Muhammadijah, diterbitkan oleh Jajasan Darul Nikam Djakarta,
1968.
Ki Hadjar Dewantara, Kerja
Ki Hadjar Dewantara, Bab I, Pendidikan, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Jogjakarta, 1962.
M.D. Mansoer dkk. Sedjarah
Minangkabau, Batara N.V. Djakarta 1970.
Muhammad Radjab, Perang Padri di
Sumatera Barat (1803-1838) P.N. Balai Pustaka, Djakarta, 1964.
M. Nasroen, Dasar Filsafat Adat
dan Pendjajahan dan Dr. Omar Penerbit C. V. Ramadhani Semarang JKPI Solo.
Sidi Gazalba, Mesdjid Pusat
Ibadat dan Kebudajaan Islam Pustaka Antara, Djakarta, 1962.
Ter Haar, Thomas Walker Arnold Azas-azas
dan Susunan Hukum Adat, (Terdjemah K. Ng. Soebekti Poestonoto, Prondja Permata,
Djakarta, 1960.
Van Dyk, Pengantar Hukum
Adat Indonesia, (terdjemah Mr. A. Soehardi), Sumur Bandung, 1964.
...........................Departemen Penerangan Republik Indonesia
Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1973 hal.
91.
...........................Hasil Keputusan Muktamar
Muhammadijah ke : 38 di Udjung Pandang 1-6- Sja’ban 1391,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar