BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang beribukota Banda Aceh secara geografis
terletak di ujung pulau Sumatra. Sejarah mencatat bahwa dari wilayah ini agama
Islam mulai masuk kemudian menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Benih ajaran
agama Islam yang terinternalisasi terus tumbuh dengan subur hingga menyebar
luas dan tertanam pada jiwa masyarakat Aceh. Karena itu penduduk “Serambi
Mekkah” ini umumnya pemeluk agama Islam yang taat.
Ketika
penduduk bangsa-bangsa barat khusunya Belanda
inin menguasai daerahnya maka masyarakat Aceh semakin memperoleh rasa
cinta agama dan kemerdekaan untuk berjuang membela tanah airnya dengan semangat
jihad.
Perang
Aceh adalah perlawanan masyarakat Aceh yang paling berat dan terlama bagi pihak
Belanda. Semangat jihad yang tertanam di dalam jiwa masyarakat Aceh merupakan
sesuatu yang paling ditakuti dan dicemaskan oleh Belanda. Untuk hal inilah
pemerintah Belanda menempatkan seorang orientalis Belanda bernama Snouck
Hurgronje dengan nama samarannya yang terkenal adalah Haji Abdul Gaffar.
Beliaulah yang sangat berperan aktif untuk menghancurkan Perang Aceh dengan
semangat jihadnya. Snouck Hurgronje berupaya memasukkan pemikiran-pemikiran
hasil olahannya ke dalam ajaran agama Islam untuk menyebarkan ajaran Islam yang
murni dari ajaran Rasulullah.
Dari
hasil pemikiran-pemikiran Snouck Hurgronje diharapkan dapat mengalahkan pihak
Aceh. Perang Aceh melawan pihak Belanda telah terbentuk benang merah dari
peristiwa tersebut adalah Perang Aceh dengan semangat jihad yang berpedoman
pada Al-Qur’an dan Hadist dapat menjadikan Aceh menjadi suatu wilayah yang
sulit ditaklukan oleh bangsa barat khususnya Belanda. Perang Aceh merupakan
daerah pertama kaum orientalis Belanda guna merancukan ajaran agama Islam bagi
wilayah kolonial yang mayoritas beragama Islam.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian
dibatasi “Snouck Hurgronje dan Perang Aceh 1873 – 1904.
C. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah
kondisi situasi perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda
2. Apakah
kaum ulama berpengaruh dalam menyemangat rakyat Aceh dengan jihad untuk terus
menerus mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
3. Apakah
peran Snouck Hurgronje dalam usaha mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
D.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mendeskripsikan kondisi situasi perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.
2. Untuk
mendeskripsikan pengaruh kaum ulama untuk menyemangati rakyat Aceh dengan tekat
terus menerus mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
3. Untuk
mendeskripsikan peran Snouck Hurgronje dalam usaha untuk mematahkan perlawanan
rakyat Aceh.
E. Metode Penelitian
Dalam
penyusunan penelitian Snouck Hurgronje
dan Perang Aceh “dipergunakan beberapa metode dengan tehnik penulisannya tidak
terlepas dari cara-cara menghimpun dan mengolah sumber-sumber atau bahan-bahan
yang menjadi materi penulisan. Oleh karena itu penyusunan penelitian ini
menggunakan metode yang meliputi :
a. Tahapan
Heuristik
Yaitu mencari
dan mengumpulkan sumber data yang berhubungan dengan masalah yang hendak
dibahas. Dan dalam hal ini mengadakan studi kepustakaan di beberapa
perpustakaan.
b. Tahapan
Kritik
Pangujian data secara kritik, sehingga kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan. Dalam peneletian ini mencoba melakukan kritik
dengan mengadakan seleksi sejumlah sumber yang bertujuan memudahkan dukungan
fakta pada penulisan ini.
c. Tahapan
Interpretasi
Mengadakan penafsiran terhadap data yang
diperoleh dan merangkainya secara
keseluruhan. Interpretasi memberikan makna dan pengertian serta menghidupkan
kembali proses rekonstruksi sejarah.
d. Tahapan
Historiografi
Pengolahan data yang dilakukan dengan cara
merekonstruksi masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
psoses menguji, menganalisa secara kritik dan menempatkan data-data tersebut
dalam kerangka-kerangka yang saling berhubungan
dengan bentuk penulisan penelitian. Penulisan tahap ini adalah
menyampaikan informasi kepada Khalayak dalam memberikan jawaban perumusan yang
diajukan.
F.
Tehnik
Analisa Data
Dalam
penelitian ini, digunakan juga studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data dari
buku-buku atau sumber tertulis yang ada hubungannya dengan masalah yang
dibahas.
BAB II
HASIL PENELITIAN
A. Kebijakan Kolonial belanda Terhadap
Perubahan dalam masyarakat Indonesia
Kebijakan
kolonial Belanda yang dimaksudkan didalam pembahasan ini adalah kebijaksanaan
pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia
pada masa kolonial Belanda yang digariskan oleh Dr.C.Snouck Hurgronje. Sebagai
kolonialis, pemerintah Belanda telah mengambil kebijaksanaan mengenai Islam di
Indonesia dengan menempatakan Dr.C. Sounck Hurgronje sebagai penasehat urusan
Pribumi dan Arab (1889), peneliti lapangan di negeri Arab (1885), Jawa
(1889-1890) dan Aceh (sejak tahun 1891) serta pengalaman selama menjabat
penasehat urusan bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam sejak tahun 1891.
Islam
di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu
(sinkritisme). Akan tetapi Islam memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat
yang membedakan dirinya dari orang lain. Islam di Indonesia berfungsi sebagai
titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pamerintah Kristen
dan asing.
Menghadapi
medah seperti ini Dr.C. Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti ibadah
dengan Islam sebagai kekuatan sosial politik mengenai kebijaksanaan pemerintah
kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia maka Dr.C. Snouck Hurgronje
membagi Islam atas 3 kategori yaitu :
1. Bidang
agama murni atau ibadah.
2. Bidang
kemasyarakatan.
3. Bidang
politik.
Pada
hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck Hurgronje
diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari
segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan
agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa
diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam”dan akan mempermudah
penyebaran agama Kristen.
Dalam
bidang agama murni tau ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan maka pemerintah kolonial pada
dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran
agama Islam. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan
agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan. Namun disisi lain pemerintah
kolonial Belanda tidak mampu memperlakukan agama Islam dengan agamanya, yakni
Kristen. Diskriminasi sering terjadi dalam kebijaksanaan yang berhubungan
dengan agama. Menurut H.Aqib Suminto (1985: 15).
Penganut
Kristen pada umumnya menikmati berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda,
baik dalam memasuki sekolah pemerintah, mencari lapangan kerja maupun
memperoleh kenaikan pangkat. Diskriminasi akan nampak jelas pada alokasi
anggaran. Sehingga pada suatu saat agama Islam hanya memperoleh sepersekian
persen dari anggaran agama Kristen.
Hal
ini berdasarkan rasa superioritas Kristen terhadap Islam dan berlandasan asumsi
bahwa sinkretisnya Islam di kawasan Indonesia akan mempermudah menaklukannya.
Kebijakasanaan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat
menekan adalah Ordonansi Guru Pertama dikeluarkan pada tahun 1905 berisi
tentang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu. Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah kolonial untuk mengawasi aspek terjang para pengajar dan penganjur
agama Islam di negeri ini.
Dalam
bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada famatisme dan Pan
Islam, penumpasan itu jika diperlukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata.
Sedangkan
dibidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan
yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat
tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada
budaya Eropa. Snouck Hurgronje menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran
Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Dia berupaya agar hukum Islam
menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai
kihidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum
Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika
sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan
dengan itu, pemerintah kolonial menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan
memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan
Islam dan pengaruhnya masyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama
karena ke-Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah
kolonial Belanda. Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur
pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus
ditarik ke dalam proses pembaratan. Tujuan akhir dari program ini bukanlah
Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang
diper-Barat-kan. Oleh karena itu, orang-orang Belanda harus mengajari dan
menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.
Kaum Pribumi
yang telah mendapatkan pendidikan bercorak barat dan telah terasosiakan dengan
kebudayaan Eropa diberi kedudukan sebagai pengelola urusan pilitik dan
administrasi setempat. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan
kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat
politik sosial.
Secara
tidak langsung, asosiasi ini juga bermanfaat bagi penyebar agama Kristen, sebab
penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan
misi. Hal ini dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara
kebudayaan Eropa dan kebudayaan Pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang
dipelapori oleh kaum priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk
mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah
kolonoial Belanda selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat
membahayakan kekuasaannya. Gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar.
Meskipun kepulauan Indonesia relatif sangat jauh dari Turki namun tidak
menghalangi hubungan antara keduanya. Belanda tidak lupa akan kenyataan masa
lalu yang disebabkan oleh Perang Aceh. Segala usaha dan tindakan dalam
mengatasi masalah Perang Aceh belum juga berhasil. Perang yang paling lama dan
pahit ini ternyata kemampuan bertahannya semata-mata ditunjang oleh Islam.
Perkembangan
hubungan dengan Timur Tengah semakin memperbanyak peserta jumlah haji. Di sisi
lain corak sinkretis dan mistik yang melekat pada agama ini menghadapi tantangn
hembusan angin segar ortodiksi dan pemurnian dari Timur Tengah. Timbul gerakan
reformasi yang ingin merekonstruksi kehidupan Islam di Indonesia. Gerakan ini
berusaha membebaskan Islam dari pengaruh negatif sinkritisme dan terekat.
Menyelaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern sehingga memiliki vitalitas
dan semangat baru.
Menurut
H.Aqib Suminto (1985:95) “Dr.C.Snouck Hurgronje berkesimpulan
bahwa di kota Mekkah inilah terletak jantung kehidupan yang setiap detik selalu
memompa darah segar ke seluruh tubuh penduduk muslim di Indonesia. Hal inilah
yang menjadi bahaya laten dan dikhawatirkan akan menjadi gangguan bagi
pemerintah kolonial Belanda.
Dalam
kaitannya menetang Pan Islam, Dr.
C.Snouck Hurgronje melakukan pengawasan ketat terhadap para mukmin juga
terhadap orang-orang Arab yang menetap di Indonesia. Sebab sebagian mukmin yang
telah kembali ke tanah air menjadi guru di pesantren-pesantren dan ada pula
yang menenggelamkan diri dalam tarekat atau mistik. Dalam pesantren-pesantren
kemungkinan seseorang akan memperoleh kesempatanyang sama seperti di Mekkah
untuk memperoleh ilmu agama dan fanatisme yang picik menjadi lebih besar.
B. Perlawanan Rakyat Aceh terhadap
kolonialisme Belanda
1. Perang
Aceh 1873-1912
a. Letak geografis
Menjelang meletusnya perang,
kerajaan Aceh terdiri atas (1) Aceh Besar yaitu daerah sepanjang sungai Aceh
yang terbagi atas tiga wilayah disebut sagi. Masing-masing sagi diberi nama
menurut jumlah mukim yang dipunyainya, yakni Mukim XXII, Mukim XXV dan Mukim
XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim XXV, yaitu Lho’Nga,
Leupieng dan Lhong. (2) daerah-daerah diluar Aceh Besar yang merupakan taklukan
Aceh terletak di pantai barat, pantai utara dan pantai timur dari ujung utara
pulau Sumatra yang terdiri atas negeri-negeri atau kerajaan kecil yang otonom
ataupun yang merupakan federasi, (3) daerah-daerah Gayo dan Alas yang terletak
jauh pedalaman. Daerah-daerah yang berada langsung di bawah kekuasaan Sultan
adalah kawasan dalam (kraton), Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa,
Kampung Pande dan Kampung Kedah.
b. Kedudukan
Politik
Atas usul J.L.J.H. Pel, yang
menggantikan Van Sweiten untuk menduduli daerah Krueng Raba di pantai utara
Sagi Mukim XXV guna mendirikan sebuah gari pos melalui Aceh Besar dengan harapan
dapat memutuskan hubungan Aceh terhadap dunia luar akan lenyap, sedangkan dalam
bidang perniagaan akan tergantung kepada Belanda.
Jenderal Pel berusaha untuk mendapatkan lokasi yang
baik sebagai tempat transito bagi perdagangan antara Sumatra Utara dengan
semenanjung Tanah Melayu dan sebagai tempat penimbunan hasil bumi dan
barang-barang keperluan daerah sekitarnya dalam jalur dagang dengan Eropa.
c. Keinginan
Belanda menguasai Aceh
Pada 1824 persetujuan antara
kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris yang dikenal sebagai Taklat London
ditandatangani. Dalam nota yang dilampirkan Taklat itu dinyatakan bahwa kedua
kerajaan itu tidak akan melakukan tindakan permusuhan terhadap kerajaan Aceh.
Tetapi, dalam perjalanan sejarah serentetan konflik antara kerajaan Belanda
dengan kerajaan Aceh terjadi juga.
Pada 1829 Belanda menyerang Barus
yang dikuasai oleh Aceh. Serangan Belanda ini dipatahkan oleh pasukan-pasukan
Aceh, malah benteng Belanda di Pulau Poncang di Teluk Tapanuli diserang Aceh
dan bengunan-bangunan Belanda di tempat itu dibakar.
Setahun kemudian pada 1836, awak
kapal sebuah kapal Belanda, Dolphijn, berontak dan membunuh nahkoda. Mereka
mempersembahkan kapal tersebut pada Sultan Aceh. Dengan memakai kapal perang,
Belanda meminta kembali kapal Dolphinjn tersebut, tetapi Sultan Aceh
berkeberatan mengembalikannya. Surat kuasa dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk mengambil kapal itu tidak ada. Namun ketika surat tersebut dibawa
oleh sebuah komisi Belanda kepada Sultan, kapal Dolphinjn sudah dibakar.
Setelah pihak Aceh mendirikan tiga
buah benteng di sungai Maco dekat Barus dan memperkuat kedudukannya di Singkel.
Aceh Selatan, Belanda pada 1840 mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan
Kolonel A.V. Mischiels, untuk mengusir pasukan-pasukan Aceh. Dalam perempuran
ini Aceh dapat dikalahkan. Akibat tindakan Belanda ini kapal-kapal dagang orang
Eropa tidaklah sambutan yang semestinya sehingga tidaklah aman bagi kapal-kapal
dagang itu untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Aceh. Khawatir akan adanya usaha
negara lain mencari engaruh di Aceh, pemerintah Hindia Belanda berusaha
mengadakan hubungan dengan Sultan Aceh.
Akhirnya pada 1857 Mayor Jenderal
Van Sweiten berhasil menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian
dengan Sultan Aceh. Isi pokok perjanjian itu, antara lain : (1) membolehkan
kedua pihak dengan mengindahkan undang-undang yang berlaku untuk melawat,
bertempat tinggal dan menjalankan perdagangan dan pelayaran di daerah kedua
belah pihak; (2) kedua pihak melepaskan tuntutan masing-masing mengenai segala
pertikaian yang timbul sebelum perjanjian ini; (3) semufakat untuk mencegah
dengan sekuat-kuatnya perampokan dan penangkapan masing-masing untuk di jual
dan pembajakan di pantai daerah masing-masing; (4) Sultan Aceh mengakui bahwa
Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Belanda di Sumatra
Barat dalam hal urusan dengan Sultan Aceh, dan (5) segala salah paham yang
mungkin timbul akan diselesaikan dengan cara damai.
Kurang dari setahun kemudian, yakni
pada 1858, sebuah perjanjian ditanda tangani antara pemerintah Belanda dengan
Sultan Siak. Isinya yang terpenting ialah bahwa Siak dan jajahan takluknya
merupakan bagian wilayah Hindia Belanda dan berada di bawah kedaulatan kerajaan
Belanda. Jajahan takluk Siak ini antara lain terdiri dari wilayah-wilayah di
pantai Sumatra Timur dari batas Siak ke Utara sampai Sungai Tamiang. Pada tahun
1865 kerajaan Aceh menganggap Tamiang, Langkat, Deli dan Batu Bara di Sumatra
Timur sebagai daerah pengaruhnya dan yang mengharuskan raja-raja negeri itu
membayar upeti kepada Sultan Aceh, melakukan campur tangan di Deli dan Langkat
kemudian menyerang Batu Bara. Hal ini dilakukan karena wilayah-wilayah ini
telah mengangkat bendera Belanda. Sebaliknya Asahan dan Serdang (di Sumatra
Timur) makin lama makin bermusuhan pula dengan Belanda. Karena itu pada 1863
Belanda mengirimkan pasukan-pasukan tentaranya kesana dan berhasil menaklukan
kedua negeri itu,. Pada tahun itu juga Belanda mengirimkan pasukan tentaranya
ke Pulau Nias untuk menghalangi Aceh melakukan perdagangan budak.
Pada mulanya Belanda tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap Aceh. Sebab Traktat London (1824) menyebutkan bahwa Belanda
harus menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Namun beberapa puluh tahun kemudian
Belanda berhasil membawa Inggris ke meja perundingan hingga akhirnya
tercapailah perjanjian 1871 yang terkenal dengan nama Traktat Sumatra. Di dalam
Traktat baru ini antara lain dinyatakan, bahwa Belanda bebas untuk memperluas
kekuasaannya di seluruh Pulau Sumatra hingga dengan demikian tiada kewajiban
lagi bagi Belanda untuk menghormati kedaulatan kerajaan Aceh sesuai dengan isi
Traktat London.
d. Sebab-sebab
Perang Aceh
Setelah terjadi penandatanganan
Traktat Sumatra antara kerajaan Belanda dengan Inggris tahun 1871 maka Belanda
tidak berkewajiban lagi untuk menghormati kedaulatan dan integritas kerajaan
Aceh dan tidak ada ikatan bagi Belanda untuk memperluas kekuasaannya di seluruh
Sumatra. Aceh jelas terancam dengan adanya Traktat Sumatra ini. Sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat penuh dalam situasi ini berusaha mencari bantuan
dari luar kepada negara yang dianggap bersahabat. Indonesia mengirim utusan
bernama Habib Abdul Rahman ke Turki pada bulan Januari 1873. Sebelumnya Belanda
telah mengirim surat pada bulan Oktober 1872 kepada Sultan Aceh, Tuanku Muhmud
Syah yang isinya bermaksud ingin mengirim sebuah komisi yang diketuai oleh
Residen Riau guna menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua
belah pihak.
Dalam bulan Desember 1872, Sultan
Aceh menyampaikan surat jawaban kepada residen Riau melalui sebuah perutusan
yang terdiri dari Syahbandar Panglima Muhammad besrta empat orang hulubalang
lainnya yang meminta agar perutusan Belanda menunda kedatangannya beberapa
bulan lagi karena kerajaan Aceh sedang menanti hasil kunjungan utusannya
menghadap Sultan Turki.
Dalam perjalanan kembali dari Riau
pada tanggal 25 Januari 1873 utusan Aceh dengan menumpang kapal Marnix singgah
di Singapura serta mengadakan hubungan dengan Konsulat Amerika dan Italia.
Konsul Amerika bersama para utusan tersebut mempersiapkan sebuah konsep
perjanjian kerjasama sederajat antara Amerika dan Aceh dalam menghadapi
Belanda. Setelah mengetahui kejadian ini, Konsul belanda di Singapura
mengawatkan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa konsul-konsul Amerika dan
Italia berusaha agar pemerintah mereka masing-masing menyokong dan membantu
Aceh.
Takut akan kelanjutan hasil
perundingan di Singapura antara Aceh dengan Amerika Serikat itu dapat
merugikannya, Belanda segera mengambil tindakan memberangkatkan F.N.
Nieuwenhuyzen sebagai komisaris pemerintah dan ditugaskan berangkat ke Aceh. Ia
ditugaskan untuk mengusahakan agar Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah mangakui
kedaulatan Belanda. Jika Sultan Aceh menolak, F.N. Niewenhuyzen hendaklah
mengumumkan perang atas nama Gubernemen Hindia Belanda.
Pada tanggal 7 Maret 1873 dengan
kapal perang Citadel Van Antwerpen dan diiringi oleh kapal Siak, Nieuwenhuyzen
bertolak dari Betawi mwlalui Singapura dan pulau Pinang dan tanggal 19 Maret
berlayar dari pulau Pinang dengan tambahan dua kapal perang lagi, Marnix dan
Coehoorn menuju Aceh. Ia sampai ke perairan Aceh pada tanggal 22 Maret 1873 dan
pada hari itu juga Nieuwenhuyzen menyampaikan kehendak Pemerintah Hindia
Belanda kepada Sultan Aceh agar memberi penjelasan kepada pihak Belanda
mengenai perbuatan utusan pemerintah Aceh yang mengadakan kontak dengan wakil
negara Asing di Singapura untuk meminta bantuan melawan Belanda.
Menurut Ibrahim Alfian (1987:65)
“Hal ini oleh Belanda di anggap sebagai pelanggaran terhadap bunyi perjanjian
perdamaian, persahabatan dan perniagaan 1857, antara Aceh dengan Belanda”. Oleh
karena itu jawaban-jawaban Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah tidak memuaskan
pihak Belanda. Kerajaan Aceh tidak mau memberikan pengakuan atas kedaulatan
Belanda. Akhirnya Nieuwenhuyzen menyampaikan pernyataan atau manifesto perang,
tertanggal 26 Maret 1873 seperti ditulis oleh H. Ismail Sofyan (1977:64) yang
isinya sebagai berikut :
Berdasarkan
kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah hindia Belanda,
meka dengan ini, atas nama Pemerintah tersebut : Menyatakan Perang Kepada
Sultan Aceh. Dan pernyataan ini lebih lanjut memberitahukan pulan kepada setiap
orang yang bersangkutan serta memperingatkan kepada setiap orang akan segala
akibat yang mungkin ditimbulkan olehnya serta kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada setiap warga negara didalam masa peperangan. Termaktub di
kapal uap Sri Baginda Raja Citadel Van Antwerpen yang berlabuh di perairan Aceh
Besar, pada hari ini , Rabu tanggal 26 Maret 1873.
2. Jalannya
Perang Aceh
a. Perang
Aceh tanah pertama (1873-1875)
Untuk menghadapi serangan Belanda,
Sultan Aceh mengadakan persiapan-persiapan diantaranya mengadakan musyawarah
kenegaraan. Sultan menjelaskan ancaman musuh seperti mulut naga yang menganga
menunggu mangsanya. Dalam keputusan musyawarah tersebut diambil kesimpulan akan
mengadakan perang total jika Belanda berani menyerang Aceh. Disamping itu
Sultan telah memasukkan 5000 peti mesiu dan 1392 peti senapan yang didalamnya
berjumlah 15.000 pucuk senjata dari Penang. Sebelum dimulai serangan, tentara
Aceh sudah siap menunggu kedatangannya terutama di daerah yang dianggap
penting.
Dan akhirnya pada tanggal 5 April
1873 Belanda telah siap di perairan Aceh, di pimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R.
Kohler, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infantri Kolonel E.C. Van
Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil kepala staf, ajudan-ajudannya,
komandan batalion, Zeni, kesehatan dan topografi. Menurut H> Ismail Sofyan
(1977:24):
Ekspedisi
pertama Belanda berkekuatan 6 buah kapal perang, 2 buah kapal angkatan laut
pemerintah, 5 buah barkas, 8 buah peronda, 1 buah kapal komando, 6 buah kapal
pengangkut, serta 5 buah kapal layar. Angkatan darat dan laut terdiri dari 168
orang perwira, 3198 orang bawahan, 180 ekor kuda, 1000 orang pekerja paksa, 220
orang wanita bumiputra serta 300 orang laki-laki bumiputra sebagai pelayan
perwira-perwira.
Pada tanggal 6 April 1873 untuk
pertama kali pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceureumen untuk melakukan
pengintaian dengan serta merta di gembur oleh pasukan kerajaan Aceh. Mereka
dapat dipukul mundur oleh pejuang-pejuang Aceh. Kemudian pada tanggal 8 April
1873 berikutnya seluruh induk pasukan Belanda di daratkan di bumi Aceh. Setelah
beberapa hari bertempur, Belanda mengalami kesulitan untuk mengetahui letak
keraton sebagai tempat kediaman Sultan dan sebagai ibu Kota. Bila pusat
pemerintahan ini telah direbut, Aceh pasti akan menyerah.
Pada tanggal 10 April 1873 barulah
Belanda dapat merebut Masjid Raya di Kutaraja, benteng yang semula diduga
keraton. Masjid itu ditembaki dan terbakar dan akhirnya dapat direbut dengan
mengalami kerugian berat. Tetapi sesaat kemudian Kohler menuruh pasukannya
meninggalkan Masjid itu karena pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan
melawan gempuran pejuang-pejuang Aceh, yang dipimpin oleh Teuku Imeum Lueng
Bata.
Pada tanggal 14 April 1873 Belanda
berusaha kembali merebut Masjid Raya dan dalam pertempuran ini panglima pasukan
Belanda, J.H.R. Kohler tewas karena sebutir peluru menembus dadanya. Tiga hari
setelah Kohler gugur, Belanda mengundurkan diri ke pantai. Setelah mendapat
izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April 1873 mereka
membongkar sauh dan meninggalkan pantai pada tanggal 29 April 1873. Ekspedisi
Belanda pertama ke Aceh mengalami kerugian besar. Menurut Paul Van’t Veer
(1985:37) “ Dari tigs ribu snggots, 4 orang perwira dan 54 orang bawahan tewas,
27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka. Jadi, hampir lima ratus dari tiga
ribu”.
Kagagalan ekspedisi pertama tidak
mengurangi niat Belanda untuk menguasai Aceh. Maka dibuatlah rencana ekspedisi
kedua dengan pasukan-pasukan yang telah berpengalaman dan dalam jumlah yang
lebih besar dari ekspedisi pertama. Dijelaskan oleh Obrahim Alfian (1987:67):
Maka pada
tanggal 20 November 1873 ekspedisi kedua berangkat dari Jawa dengan kekuatan
389 orang Opsir 8115 orang tentara, 315 ekor kuda, 33 orang pegawai sipil, 234
orang wanita, 1037 jongos opsir, 3580 orang pekerja, sam[ai di Aceh pada
tanggal 28 November 1873.
Agresi kedua dimulai pada tanggal 9
Desember 1873 dengan didaratkannya pasukan Belanda di kampung Leu’u dekat Kuala
Gigieng, Aceh Besar. Dalam menghadapi penyerbuan ini pasukan Aceh dipimpin oleh
Tuanku Hasyim Bangtamuda beliau dibantu oleh Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku
Nanta Setia. Delapan hari lamanya mereka mempertahankan pantai, kemudian
terpaksa mengundurkan diri dan mengatur pertahanan masjid Raya, memperkokoh
kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lam Bhu’ serta menyusun pertahanan keraton.
Masjid Raya dipertahankan secara mati-matian
namun pada tanggal 6 januari 1874 Masjid Raya direbut juga oleh Belanda dari
tangan pejuang Aceh. Perlawanan rakyat Aceh tak berkurang semangatnya untuk
terus berjuang. Benteng pertahanan Keraton Sultan Aceh terus menerus dihujani
peluru oleh Belanda, ketika itu pula wabah kolera sedang berjangkit. Dalam pada
itu, Sultan Aceh, Panglima Polim dan Teuku Ba’et menyingkir ke Lueng Bata.
Keraton tak dapat dipertahankan lagi dan jatuh ke tangan Belanda pada tanggal
24 Janiari 1874. Kemudian pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Alaudin Mahmud
Syah meninggal di Pagar Anyer karena serangan kolera.
Tanggal 31 Januari 1874 Letnan
Jenderal J.Van Swisten memproklamirkan bahwa kerajaan Aceh sudah dapat
ditaklukan dan daerah Aceh Besar dinyatakan menjadi milik Belanda. Menurut
pikiran Belanda dengan secarik kertas Proklamasi sudah cukup untuk membuat Aceh
bertekuk lutut. Sama sekali tidak terduga oleh Belanda bahwa reaksi dari pihak
Aceh adalah tantangan terwujud merupakan perang gerilya yang memang sudah dipersiapkan
oleh pemimpin Aceh sebelum perang meletus.
Setelah menerima bantuan dari jawa,
maka dalam bulan Desember 1875 sampai dengan Januari 1876 Belanda melancarkan
serangan terhadap Aceh. Barisan muslimin tidak dapat mempertahankan Sagi Mukim
XXII dan daratan sebelah timur Sungai Aceh tetapi mereka menimbulkan kerugian
besar pada pihak Belanda. Blokade Belanda tidak seluruhnya dapat mencapai
sasaran.
b. Perang
Aceh tahap kadua (1876-1880)
Meskipun pada perjanjian takluk
antara tahun-tahun 1874-1876 oleh 31 uleebalang yang menandatangani perjanjian dengan Belanda namun
barisan-barisan Aceh terus melakukan serangan-serangan terhadap Belanda.
Kadangkala pihak Aceh dapat menembusi garis pertahanan Belanda, sedangkan
Belanda tidak mampu mejaga keamanan di belakang garis pertahanannya. Oleh
karena itu G.B.T. Wiggers Van kerchem yang menggantikan Jenderal Pel pada 10
Maret 1876 memperbaiki dan memperluas garis pertahanan yang telah ada.
Sementara itu Habib Abdurrachman Az
Zahir, yang telah meninggalkan Aceh pada tahun 1873 mendarat di pantai Idi pada
bulan Maret 1876. Perjalanan diplomatiknya ke Konstantinopel untuk mencari bantuan
tak begitu berhasil tetapi kembalinya menambah kegairahan baru di kalangan
pajuang Aceh.
Habib berhasil mengumpulkan dana
beribu-ribu ringgit pemberian sebagian uleebalang di Pantai Utara dan Timur. Ia
berhasil pula mengumpulkan beribu-ribu rakyat dalam pesukannya. Ia mendapat
pula bantuan dari T. bentara keumangan, raja Gigieng (Pidie). Dengan bantuan
pasukan-pasukan yang datang dari samalanga, pasukan-pasukannyamenyerang pos-pos
belanda di sebelah tenggara garis pertahanan Belanda pada akhir 1876.
Pihak Aceh mempergunakan terus
kesempatan untuk meneruskan perlawanan. Perbekalan dan alat-alat perang
pejuang-pejuang Aceh dari Pidie melalui jalan ke Mukim XXII, Aceh Besar. Sebab
itulah pada awal Maret 1877 Belanda menyelesaikan garis pos pertahanannya untuk
membendung jalan perbekalan pihak Aceh. Terpaksalah orang-orang Aceh mengangkut
perbekalan mereka melalui jalan-jalan gunung yang sukar.
Tekana pejuang Aceh yang terus
terjadi menyebabkan Belanda mengirimkan pasukannya ke bagian selatan Aceh Besar
dan Aceh barat (Februari-Maret 1878). Serangan yang terus-menerus dari Tgk. Di
Tiro ke Gigieng Pidie, memaksa Belanda pada bulan April dan Mei tahun itu juga
mengirimkan pasukan tambahan di bawah Mayor W.W. Goblijn.
Dalam Mei, Juni dan juli 1879
Belanda mengirim angkatan lautnya untuk menghantam kubu-kubu pihak Aceh di
Kuala Jangka dan Peukan Baro di Pidie, Ladong dan Krueng Raya di Aceh Besar
serta Peusangan di Aceh Utara.
Serangan Aceh terhadap patroli
Belanda pada Juni 1880 di Samalanga dibalas oleh Belanda dengan mengirimkan
lagi pasukan militernya ke sana. Dalam bulan itu juga terjadi kontak senjata
antara Belanda melawan kira-kira dua atau tiga ratus orang muslimin. Belanda
mempergunakan kapal api Sambas yang memuntahkan peluru dari laut untuk membantu
pasukan-pasukannya. Pasukan Aceh dipimpin oleh Nyak Mandarsyah Batee lliek,
Haji Syekh Mesjid Baro, Habib Ibrahim Alue Keutapang, Haji Cut Jalunga dan haji
Bineng Blang. Pada tahun itu juga Belanda mempersiapkan dua buah kapal apanya,
Pontianak dan Padang untuk sewaktu-waktu dikirimkan ke Sigli sebagai reaksi
atas berita yang mengatakan bahwa kurang lebih 1.000 orang pasukan Aceh,
termasuk didalamnya Tgk. Di Taro bersama anak buahnya berkumpul di Garut untuk
menyerang benteng Belanda di Sigli. Belanda mengakui bahwa pihak muslimin
bertambah sadar akan kekuatannya dan keadaan ini diperkuat oleh ramalan-ramalan
dari pihak ulama bahwa dalam 1881 pendudukan kafir akan lenyap.
c. Perang
Aceh tahap ketiga (1881-1896)
Setelah pemerintahan militer yang
keras dibawah Jenderal Van Der Heijden digantikan oleh pemerintahan sipil pada
April 1881, pejuang-pejuang Aceh mendapat kesempatan bergabung lagi untuk
melakukan penyerangan-penyerangan kembali di bawah T. Nyak Hasan, Teuku Umar,
Panglima Nyak Bintang, Pang Saman, Pang Jarang, T.Cut, T. Husin, T. Ali Pagar
Ayer, Sayyid Ali dan lain-lain.
Kegiatan patroli militer yang oleh
Van Der heijden dianjurkan terus-menerus dihentikan oleh Pruys Van Hoeven.
Sebagai gantinya dibentuk polisi bersenjata yang berjumlah beberapa ratus orang
untuk menjaga keamanan. Menghadapi keadaan demikian para gerilayawan Aceh
mendapat peluang untuk menyusup dan menembusi garis pertahanan Belanda.
Akibatnya timbul keadaan panik di kalangan tentara Belanda. Gubernur Jenderal
Van lansberge pada 1881 mengakui bahwa peperangan melawan Aceh menyebabkan
tentara Hindia Belanda mengalami disorganisasi total.
Pada 1881 kira-kira 30.000 orang
menyerang Lhokseumawe. Mulai awal 1882 pasukan-pasukan Aceh dibawah pimpinan
para ulama memasuki Aceh Besar untuk benteng
Belanda dan menembaki transpor militernya.
Dengan menggunakan berbagai cara
dapatlah beberapa diantara uleebalang ditundukkan Belanda. Pryus Van Der Hoeven
sangat optimis. Dalam pidato penyerahan pemerintahannya pada 16 Maret 1883
kepada P.F. Laging Tobios yang menggantikkannya. Ia mengatakan bahwa meskipun
di sana-sini masih terdapat permusuhan terhadap Belanda namun perlawanan secara
umum tidak ada lagi.
Karena itulah Tobias tak dapat
mengikuti penilaian pejabat yang digantikannya. Korban pertama dalam penilaian
ini ialah korps polisi. Bukan saja korps ini tidak lagi mendapat tempat yang layak, semua orang Aceh
dalam korps ini pun diberhentikan pula.
Sementara itu perang gerilya terus
berjalan,. Pasukan-pasukan Aceh menyerang dari belakang garis pertahanan dengan
menimbulkan kerugian-kerugian. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa sejak 1
Maret 1883 sampai akhir September 1883 dan 119.840 meter kawat telepon yang
telah diambil oleh pasukan Aceh, 101 tiang telepon dan 277 isolator yang
dilarikan atau dihancurkan oleh mereka.
Pada 19 Agustus 1884 diangkatlah
Kolonel Demmeni menjadi Gubernur militer dan sipil untuk melaksanakan sistem
pertahanan “konsentrasi”, yaitu menarik diri ke daerah yang menurut Belanda
sudah sungguh-sungguh berada di bawah kekuasaan militernya.
Kegiatan di luar Aceh Besar sedapat
mungkin dibatasi Belanda. Pos-pos yang terdapat di Samalanga dan di Lhok
Seumawe dihapuskan pada 1884. Dengan mengurangkan pos-pos ini Belanda dapat
mengurangi tentaranya denga tiga batalion infanteri. Di dalam daerah seluas
kurang lebih 55 km persegi ditempatkan kira-kira 5.000 orang serdad dalam
keadaan kondisi yang kurang baik. Dalam 1886 sekitar 35 % daripadanya menderita
penyakit biri-biri. Dalam 1886 dan 6.008 orang pasukan Belanda terserang
penyakit biri-biri. Rumah sakit yang terbesar dan termodern di seluruh Hindia
Belanda pada waktu itu yang didirikan di Kutaraja pada 1880 tidak mampu
menampung para penderita penyakit itu.
Agar para ullebalang mau bekerja
sama dengan Belanda, maka mereka diberi sejumlah uang sumbangan. Untuk maksud
ini Menteri Jajahan Belanda memberi kuasa Gubernur Jenderal di Betawi agar
mengusahakannya sesuai dengan keadaan anggaran belanja pemerintah Hindia
Belanda. Gubernur Demmeni pada Oktober 1884 memuat lagi semacam peraturan
pelayaran. Yang dibuka hanya pelaguhan-pelabuhan Ulee Lheue, idi dan Sigli,
tetapi kemudian pada Desember 1885 peraturan pelayaran itu dicabut kembali. Di
daerah luar Aceh Besar dilaksanakan politik
non intervensi terhadap masalah-masalah intern negeri-negeri tapi
pantai, sedangkan kegiatan perdagangan sama sekali tidak terlarang.
Pada Juni 1886 Teuku Umar menyerang
kapal api Hok Canton yang sedang berlabuh di pantai Rigaih, Aceh Barat. Pasukan
Belanda yang dikirim ke sana di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Teijn tidak
berhasil membebaskan awak kapal yang di tawan Teuku Umar. Akhirnya Sandera itu
ditebus oleh Belanda dengan membayar 25.000 ringgit kepada Teuku Umar.
Demmeni meninggal dalam bulan
Desember 1886 dan digantikan oleh kolonel H.K.F.Van Teijn. Ia diharapan
menjalankan politik menunggu dalam garis pertahanan konsentrasi dan berusaha
untuk memulihkan kedudukan Sultan di Aceh Besar ( tentunya dalam kerangkan
pemerintah Belanda). Ia juga berusaha mencari hubungan dengan pemimpin-pemimpin
perlawanan dengan sejauh mungkin menghilangkan kesan bahwa yang mencari atau
mengini kontak tersebut adalah pihak Belanda. Selain daripada itu, selama
Sultan Aceh di Kuemala tidak menyerah maka semua campur tangan langsung dalam
masalah-masalah di luar Aceh sedapat mungkin dihindari.
Pada awal Oktober 1887 pasukan Tgk.
Di Tiro dengan kekuatan 400 orang memasuki garis pertahanan Belanda. Antara
Meusapi dengan Raja Bedil. Dalam pertempuran itu 41 orang tewas di pihak Aceh,
sedangkan di pihak Belanda terdapat empat orang mati dan 17 luka-luka. Adanya
serangan seperti ini membuat Van Teijn mulai sedikit demi sedikit meninggalkan
politik menunggu. Baik di sekitar garis pertahanan konsentrasi maupun di luar
Aceh Besar ia menjalankan politik yang lebih aktif.
Pada 1889 yakni 16 tahun seudah
perang Belanda berlangsung, di samping Panglima, pemimpin-pemimpin adat yang
setia kepada Sultan antara lain adalah : (1) T.Cut, kepala Sagi Mukim XXVI. (2)
T. Sri Setia Ulama, kepala Sagi mukim XXV, yang tinggal di Patek, Aceh Barat,
Teuku Umar (4) T. Cut Muda Latif Syamsulbahri, panglima perang untuk pantai
Aceh Utara, (5) T. Mansur, Meulaboh. (6) Laksamana Enjung. (7) T. Bintara Cumbok,
kepala Mukim III, Pidie yang bersama T. Bin Titeue menjadi penasehat-penasehat
yang terpercaya dari Sultan.
Untuk keperluan usaha pengamanan
dalam menghadapi serangan-serangan-serangan Aceh pada 1889 pihak Belanda
memberikan uang premi sebesar f. 50 untuk setiap ranjau granat yang ditemui
sepanjang rel kereta api. Oleh karena pasukan-pasukan Aceh menyerang juga pada
malam hari dan disebabkan kekurangan tenaga pasukan. Belanda menggunakan
narapidana kerja paksa dengan diberi senjata klewang dan senapan tua. Jika
narapidana ini dapat menangkap atau membunuh gerilyawan Aceh kepadanya akan
diberikan premi f. 25 persatu kepala orang Aceh. Guna menjaga keamanan dan
ketertiban dalam garis pertahanan konsentrasi, pada April 1890 Belanda
mendirikan korps merechaussee, suatu pasukan khusus yang direktrut dari pasukan
infanteri.
Mulai Juli 1891 sampai Februari
1892 Snouck hurgronje mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik di
Aceh, untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama setelah berpulangnya Tgk.
Chik di Taro Muhammad Saman dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan manakah
yang ditempuh oleh Sultan Aceh dalam memenuhoi kehendak para ulama. Snouck
Hurgronje berpendapat bahwa pada umunya yang dihadapi Belanda adalah sebuah
gerakan rakyat fanatik yang dipimpin oleh para ulama dan mereka ini hanya dapat
ditaklukan bilamana Belanda mempergunakan senjata dan kontak dengan mereka
tidak boleh diadakan sebelum mereka menyerah.
Pada 1893 stelsel konsentrasi sudah
sembilan tahun lamanya dijalankan, namuan harus diakuai tujuannya tidak
tercapai. Kampung-kampung yang berada di dekat garis pertahanan konsentrasi
terus-menerus mendapat gangguan pihak muslimin. Belanda menempatkan pos-pos
sementara di luar garis pertahanan konsentrasi dengan alasan untuk menjaga
keamanan dan melindungi kampung-kampung yang bersahabat dengan Belanda.
Pada September 1893 Teuku Umar
bersama 15 orang penglimanya menyatakan kesetiaan pada pemerintah Hindia
Belanda. Ia mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan dan panglima Besar serta kepadanya diberi hak untuk
memiliki tentara sebanyak 66.360 florin setahun untuk diteruskan sebagian
kepada para pengikutnya. Sebuah rumah dibuatkan pula untuknya di Lam Pisang,
Aceh Besar. Dengan keputusan pemerintah Belanda tanggal 19 Januari 1896 ia
diangkat sebagai Uleebalang leupueng, di sebelah selatan Aceh Besar.
29 Maret 1896 dianggap sebagai
titik balik dalam sejarah perang Belanda di Aceh. Teuku Umar dengan sejumlah
pemimpin-pemimpin Aceh meninggalkan Belanda. Bagi pihak Belanda kejadian ini
merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Umar memiliki uang, mesiu dan
alat-alat senjata diperolehnya dari pihak Belanda.
Pada hari Teuku Umar meninggalkan
Belanda untuk selama-lamanya, Gubernur Deijkerhoff mengirimkan kawat kepada
pemerintah Hindia Belanda di Betawi untuk meminta tambahan tenaga tempur.
Bersamaan dengan datangnya bala bantuan , datang pula Panglima Angkatan Darat
Hindia Belanda, Letnan Jenderal J.A. Vetter untuk mengambil tindakan setempat
yang diperlukan. Di bawah pimpinan Vetter, dengan mendapat tambahan pasukan
dari Jawa dan bantuan angkatan lautnya, mulailah mereka menembaki
benteng-benteng Aceh, termasuk kawasan-kawasan di luar lini konsentrasi.
Setelah Belanda tidak berhasil meminta kembali senjata-senjatanya kepada Teuku
Umar maka pada 26 April ia dipecat dari semua jabatan dan sejak 27 April 1896
Belanda mulai melakukan serangan terhadapnya.
Setelah lebih dari dua bulan
menggarap soal Aceh. Vetter kembali ke Betawi dan sebagai Gubernur sipil dan
militer dianggat J.J. De moulin. Cuma dua hari saja ia sempat menduduki jabatan
itu, lalu meninggal dan digantikan oleh
J.W. Stemfoort. Belanda meninggalkan sistem pertahanan konsentrasi yang
dianutnya sejak 1884 dan memasuki politik agersi.
d. Perang
Aceh tahap keempat (1897-1912)
Sultan bersama para pengikut berada
di Mukim XXII. Akibatnya serangan Belanda atas Mukim ini pada 29 Juli 1896
Sultan terpaksa mengundurkan diri. Pada bulan September 1897 dengan kekuatan
satu setengah batalyon infanteri Belanda menuju Seulimeum, Aceh Besar untuk
mengejar Sultan dan menduduki Seulimeum pada 25 Oktober 1897. Baginda terpaksa
mengundurkan diri lagi ke Pidie
sedangkan Panglima Polim ke daerah pegunungan Mukim XXII. Pada akhir Oktober
dan awal November 1897 Belanda dengan kekuatan dua Batalyon menuju pegunungan
Mukim XXII dan dapat mengusir pasukan-pasukan Panglima Polim, menduduki Janthoe
dan menyapu benteng-benteng Aceh.
Mulai 1897 inisiatif lebih banyak
berada di pihak Belanda. Pada tahun itu pemerintah kolonial di Betawi
menghendaki penguasaan aktif Aceh besar disertai dengan pengawasan pelayaran
sepanjang pantai. Dengan mendirikan jalur kereta api di Mukim XXII Belanda
mengharap dapat mengadakan komunikasi yang baik antara sebagian bivak-bivaknya
dengan garis-garis pertahanan konsentrasi.
Di saat kekalahan datang beruntun
di pihak Aceh, maka koordinasi dalam perjuangan dirasakan makin mendesak. Dalam
keadaan ini pula kedudukan pusat Sultan sebagai pemimpin ulama Aceh perlu
diperteguh. Dengan begini perang melawan Belanda tidaklah dilihat hanya sebagai
perlawanan rakyat yang didasarkan atas ajaran agama melawan kafir tetapi juga
perang sebuahnegara yang sedang diserang.
Teuku Umar, Teuku Johan Lampaseh,
TeukuCut Tingkob dan uleebalang-uleebalang terkemuka dari mukim VI dan III pada
1 April 1898 mengangkat sumpah setia kepada Sultan Muhammad Daud untuk bersama-sama
meneruskan perang sabil pada masa ini pemimpin-peminpin perlawanan Aceh adalah
sebagai berikut: di Mukim VII berada Panglima Polim bersama Tuanku Muhammad
Kuala Batee sedangkan didaerah Pidie, Sultan berada bersama-sama
pengikut-pengikutnya, uleebalang-uleebalang Sama Indra, Cumbok, Keumala dan
Aree, Tungkob dan Garot, teuku Bentara Peukan Meureudu dan ulama-ulama Tgk Di
Gayo, Tgk di Cot plieng, Habib Husin dan lain-lain.
Dari 1 Juni 1898 sampai pertengahan
September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaranke Pidie untuk
menaklukan negeri-negeri sepanjang pantai utara dan timur serta dengan gigihnya
Belanda mengejar pemimpin-pemimpin perlawanan yang terkemuka seperti Sultan
Muhammad Daud. Panglima Polim dan Teuku Umar. Pasukan Belanda Terbagi atas dua
bagian, Colonne Pidie dan Seulimeum dibawah komando Van Heutsz dengan dibantu
oleh Snouck Hurgronje sebagai penasehat urusan bumi putera.
Di Aceh Utara, daerah-daerah yang
sejak perang Belanda dianggap sangat mengganggu pihak Belanda adalah
Lhokseumawe, Samalanga, Peusangan, Geudong (Ipasai) dan Lhoksukon. Berkali-kali
pihak Belanda mengirimkan angkatan tentaranya seperti apa yang dinamakan
ekspedisi ke Peusangan , Pasai dan Samalanga pada masa 1897-1901 dibawah van
heutsz. Akan tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan.
Dalam bulan Juni 1908, Mayor Van
Daalen digantikan oleh Letnan Kolonel Wart. Gubernur sipil dan militer yang
baru ini segera menugaskan dua orang opsir marsoses. Kapten Chistoffel dan
kapten Scheepens ke daerah Lhoksukon untuk menghabiskan barisan-barisan
muslimin. Pada tengah kedua 1908 sebanyak 137 orang Aceh yang dapat di tewaskan
pasukan marsose, 22 ditawan. Sedangkan 322 orang kembali ke kampung halaman
masing-masing.
Dalam tahun-tahun 1909 dan 1910
ruang gerak Tgk. Di Paya Bakong dan Tgk.
Di Barat makin dapat dipersempit oleh pasukan marsose. Pada 1910 kemenakan dan
abang Tgk. Di Paya Bakong tewas. Kemudian salah seorang pemimpin pasukannya
bersama delapan orang pengikutnya menyerah. Imum Beuma dengan dua orang
pengikutnya dan Ipar Tgk. Di barat tertawan. Disamping itu gugur pila Tgk. Mat
Saleh Putra Tgk. Seupot Mata, Cut Meutia dan lain-lain. Cut Meutia meneuskan
perjuangan suaminya Tgl. Chik Tunong yang menjalani hukuman mati pada Maret 1905
di Pantai Lhokseumawe. Pada kahir bulan Oktober 1910 Cut Meutia dengan pedang
terhunus ditangannya menyerang pasukan Belanda. Wanita bangsawan ini gugur
terkena peluru pasukan Sersan W.J. Mosselman.
Pada 1912 sampailah batasnya bagi
Tgk di Barat. Ulama ini muncul secara lebih menonjol dalam arena peperangan. Kemudian
dengan usaha pasukan Letnan Behrens tempat ulama ini dapat dikepung dan dalam
kontak senjata yang terjadi terkenalah lengan kanannya oleh peluru Belanda. Ia
segera mencabut rencongnya dan dengan menggunakan tangan kiri menyerahkan
karaben kepada istrinya yang segera melindungi sang suami dan berdiri di
hadapannya. Tak lama kemudian berdentuman peluru Gompouni menembus jasad
keduanya dan gugurlah ulama itu beserta istrinya sebagai syuhada.
C. Pengaruh Snouck Hurgronje terhadap
kebijakan politik Hindia Belanda dalam perang Aceh.
Christian Snouck Hurgronje
merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis
kebijakan “Inlandsh Politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda
terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan
Snouck Hurgronje terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan
para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus
berkepanjangan bahkan berkelanjutan.
Perhatian Snouck Hurgronje terhadap
islam menunjukkan bahwa Snouck Hurgronje mengikuti jejak banyak kaum
kerabatnya. Christian Snouck Hurgronje
terlahir tanggal 8 Februari 1857 merupakan anak ke-empat dari Pendeta JJ Snouck
Hurgronje dan Anna maria Visser. Nama depannya diambil dari nama kakeknya,
pendeta D. Christian de Visser. Menurut P.SJ. van Koningsveld (1989:110)
diceritakan bahwa :
Kadua anak
pertama, Anna Maria dan Jacqueline Julie dilahirkan berturut-turut di Chilham
(Inggris) pada tanggal 24 Mei 1849 dan Mechenlen pada tanggal 4 Desember 1850.
Setelah perkawinan lahirlah pada tanggal 19 Februari 1855 Christina Anna
Catherina, pada 3 September 1859 Anna Catherina di Oosterhout. Kedua anak
pertama yang lahir sebelum perkawinan memakai nama ibu mereka De Visser setelah
meninggalkan Oosterhout pada tanggal 3 Mei 1871, anak-anak lainya selalu
memakai nama Snouck Hurgronje.
Christian Snouck Hurgronje lahir ke
dunia membawa tugas berat, karena Snouck Hurgronje diharapkan untuk menjadi
pendeta guna memperbaiki kesalahan yang telah diperkuat oleh ayahnya.
Disebutkan juga oleh P.SJ. Van koningsveld (1989:176):
Ayah Snouck
Hurgronje adalah seorang pendeta Hervormd yang dipecat dari jabatannya. Dalam
keputusan pemecatan resmi pengurus gereja propinsi Zeeland tanggal 3 Mei 1894,
tertera alasan sebagai berikut : Meninggalkan jabatan secara tidak setia
disertai dengan tindakan-tindakan yang memberatkan, ikut menyertai pendapat
umum bahwa nafsu yang menjerumuskan dan bersifat pidana dari Ds. J.J. Snouck
Hurgronje merupakan sebab sebenarnya tentang kepergiannya dari masyarakat
Tholen. Sang Pendeta telah menikah dan mempunyai anak enam orang, memulai
hubungan gelap dengan Anna Maria, putri teman sejawatnya di Tholen, Ds.
Christian de Visser.
Pada tahun 1874 selepas dari
pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden.
Tahun 1878 dan lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke
Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck
dibimbing oleh para tokoh aliran “modernis Leiden”, seperti Cp Tieles, LWE
Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje.
Aliran pemikiran “modernis Leiden”
ini berpandangan liberal dan rasional. Dalam aliran pemikiran ini, agama
hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa
dengan memillliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama
Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan,
sedangkan kebudayaan lain (Islam dan budaya dunia Timur) merupakan suatu bentuk
degenerasi kebudayaan.
Dari Abraham Kuenen (ahli
perjanjian lama) , Snoouck Hurgronje mendapat pelajaran tentang Kritik Biblik
(Kritik Kitab Suci). Hal itu mendasari pemikirannya dalam menolak hal-hal yang
irasional dalam agama yang dianutnya (Kristen) seperti Trinitas dan kedudukan
tesus sebagai Anak Allah. Disamping itu ia juga belajar bahasa san sastra Arab
dari RPA Dozi dan MJ de Goeje.
Snouck Hurgronje menyelesaikan pendidikan
formalnya pada tahun 1880 dengan disertai berjudul Het Mekkaansche Feest yang
membahas tentang ibadah haji. Kemudian ia mengajar di “ Leiden & Delf
Academi”, tempat dimana semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda didik
dan dilatih sebelum mereka dikirim berdinas di Hindia Belanda.
Tahun 1884 atas prakarsa JA Kruyt,
Konsul Belanda di Jeddah- Snouck Hurgronje dikirim ke Mekkah guna melakukan
penelitian tentang Islam. Untuk mendapatkan izin tinggal di Mekkah, Snouck
Hurgronje mengganti namanya menjadi Bdul Ghaffar, ia juga mengerjakan shalat
dan ritual agama Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck Hurgronje dapat
mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari umat Muslim di Mekkah serta dengan
mudah bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari
Hindia Belanda. Dilelaskan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya berjudul Aceh :
Tidak ada agama
yang lebih mudah pengakuan kepercayaannya secara resmi daripada Islam;
seseorang dapat masuk Islam dan tetap merupakan anggota mesyarakat tanpa
menonjolkan bukti keaslian kepercayaannya, pengetahuan tentang hukum agamanya
ataupun kesetiannya mematuhi prinsip-prinsipnya. Pengakuan dua kalimat syahadat
(“ Aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah”)
sudah cukup untuk membuat orang masuk Islam; dan tidak seorangpun berhak
menyaksikan kebenaran pengakuannya itu.
Selama Dr.C. Snouck Hurgronje alias
Abdul Gaffar berada di kota Mekkah dia mendapat kesempatan bertemu dengan
jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji di Mekkah. Dia berhasil
mendapat keterangan-keterangan yang penting mengenai situasi perang Aceh dari
jemaah haji Indonesia terutama dari jemaah haji Aceh sendiri. Karena mereka
tidak menaruh curiga kepada seorang muslim tetapi ternyata adalah seorang musuh
yang kelak akan menghancurkan Aceh dengan segala tipu muslihatnya.selain dari
itu Dr. C. Snouck Hurgronje telah bertemu dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu
Habib Abdurahman. Habib Abdurrahman adalah seorang keturunan Arab yang mendapat
kepercayaan dari Sultan Aceh ketika dia masih berada di Aceh. Ketika perang
Aceh, Sultan Muhammad Daud masih muda, maka kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan sementara dipercayakan
kepada Habib Abduraahman sebagai Mangkubumi bersama panglima Polim dan
Malikul adil. Ternyata kemudian Habib Abdurrahman telah menyalah gunakan
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pertemuan Dr. C. Snouck Hurgronje
dengan Habib Abdurrahman di kota Mekkah
ini sangat menguntungkan rencananya untuk mempelajari situasi perang Aceh. Dia
mendapat bahan dari tangan pertaman yaitu dari Habib Abdurrahman, orang yang
pernah menjadi pelaku yang penting dalm perang Aceh melawan Belanda.
Disamping itu selama di Mekkah,
Snouck Hurgronje juga melakukan penelitian. Dia memusatkan perhatiannya pada
tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa
arti Islam didalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya. Ketiga,
bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak
orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.
Setelah setahun Dr. C . Snouck Hurgronje berada di
Mekkah tersebar berita-berita dalam pers di dunia barat bahwa Abdul Gaffar
bukanlah seorang muslim tetapi dia adalah mata-mata (spion) bagi Belanda.
Sehubungan dengan berita inilah dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar
meninggalkan kota suci Makkah.
Tahun 1889, Snouck Hurgronje
dipindah tugaskan ke Hindia Belanda. Oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Herdijk,
ia diangkat sebagai peneliti dan penasehat urusan bahasa-bahasa timur dan
Islam. Pada tahun itu juga sampai tahun 1892, Dr.C.Snouck Hurgronje berada di
Aceh. Pada waktu inilah dipergunakan untuk mempelajari Aceh mengenai
penduduknya, bahasa, adat-istiadat dan pengaruh Islam dalam kehidupan penduduk
Aceh.
Guna memuluskan tugasnya dan
memperkuat penerimaan masyarakat, Snouck Hurgronje mengawini wanita Muslim
Pribumi secara Islam, snouck Hurgronje melangsungkan perkawinannya dengan
sangkana, anak tunggal Raden Haji Mahmud Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis. Dari
perkawinannya itu terlahir empat orang anak, Salman, Umar, Aminah, Ibrahim. Pada
tahun 1895, Sangkana meninggal dunia . kemudian tahun 1898 Snouck Hurgronje
mengawini Siti Sadiyah, putra Haji Muhammad Soe’eh. Wakil penghulu kota
Bandung. Pada tahun 1910, Snouck Hurgronje melangsungkan pernikahannya dengan
Ida Maria, putri Dr. AJ Oor, pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang
ketiga ini dilangsungkan di negeri Belanda.
Untuk mempertahankan kekuasaannya,
setiap pemerintah kolonial selalu berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi
yang dikuasainya. Pemerintah kolonial Belanda dalam mengatur jajahannya membuat
kagum Inggris dan Perancis. Padahal situasi wilayah di Hindia Belanda ternyata
menunjukkan hampir seluruh penduduk pribumi memeluk agama Islam. Suatu
kenyataan yang memerlukan sikap serius bagi Belanda untuk menghadapinya. Karena
agama Islam akan selalu menyadarkan pemeluknya bahwa meraka berada di bawah
cengeraman pemerintah kafir dan cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Pada awal kedatangan di Indonesia,
Belanda tidak berani mencampuri urusan agama Islam secara langsung. Sikap
Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa
takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan
timbulnya pemberontakkan orang-orang fanatik. Sementara dipihak lain Belanda
sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi kan segera menyelesaikan semua
persoalan. Keengganan mencampuri urusan masalah agama tercermin dalam
Undang-Undang Hindia Belanda.
Menurut H. Aqib Suminto (1985:10)
“Ayat 119 RR: setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak
kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan
umat hukum Islam.
Akan tetapi kebijakan untuk
mencampuri agama nampak tidak konsisten dikarenakan tidak adanya garis yang
jelas. Dalam masalah Haji misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa
menahan diri untuk tidak campur tangan. Justru para Haji sering dicurigai,
dianggap fanatik dan tukang pemberontak. Hal ini terlihat jelas pada aneka
peraturan tentang Haji yang dikeluarkan antara tahun 1825-2859 yang bertujuan
untuk membatasi dan mempersulit ibadah Haji ke Mekkah.
Setelah kedatangan Dr.C. Snouck
Hurgronje pada tahun 1889 barulah pemerintah Hindia Belanda mempunyai
kebijaksaan yang jelas mengenai masalah Islam. Dr.C. Snouck Hurgronje melawan
ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam berhasil menemukan seni memehami
dan menguasai penduduk yang sebagian besar Islam. Dr. C. Snouck Hurgronje
melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam terutama bodang sosial dan politik
disamping berhasil meneliti ketimuran dan Islam.
Bagi Dr. C.Snouck Hrugronje
berpendapat bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan
Islam sebagai doktrin politik. Meskipun pada kenyataannya Islam sering sekali
menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Berdasarkan analisanya maka
dipisahkanlah masalah agama dengan politik. Untuk masalah agama pemerintah
Belanda disarankan bersikap netral sedangkan terhadap masalah politik
diwaspadai dan dijaga benar akan datangnya pengaruh dari luar semacam Pan
Islam.
Dijelaskan oleh H. Aqib Suminto
(1985: 93) “ Gerakan Pan Islam bertujuan untuk mempersatukan umat Islam di
seluruh dunia di bawah pimpinan Khalifah Turki di Masa itu.
Gerakan Pan Islam mulai berkembang
di Indonesia, di bawah pimpinan kesultanan Turki, terutama di masa Sultan Abdul
Hamid yang sangat taat pada agama. Phobia terhadap Islam mencapai puncaknya
ketika kemenangan Turki terhadap Yunani. Kemudian gerakan Pan Islam yang
berpusat di Turki banyak pemimpinnya dari keturunan Arab di Indonesia terutama
di Jakarta.
Konsep politik Dr. C.Snouck
Hurgronje merupaka politik yang berdasarkan suatu analisis dan konsep yang
cukup matang. Islam adalah musuh Belanda dan oleh karena Islam menurut mereka
adalah identik dengan Arab, maka Arab dan keturunan Arab adalah musuh mereka
pula. Gagasan Dr. C.Snouck Hrugronje untuk melawan Islam adalah membebaskan
orang Indonesia dari pengaruh Islam dan Arab. Untuk mencapai tujuan tersebut
Belanda mempersulit keberangkatan ibadah Haji ke Mekkah. Menurut H. Aqib
Suminto ( 1985:98) dalam buku Politik Islam Hindia Belanda.
…..dengan berbagai peraturan yang mempersukar orang yang ingin beribadah
Haji, ada peraturan ujian Haji. Seorang yang akan naik Haji harus diuji dulu
tentang syarat naik Haji. Syarat ini rupanya peraturan untuk memperkecil jumlah
orang naik Haji…. Ada pula peraturan yang dinamakan haji-haji sertifikat yang
harus dimiliki oleh orang yang sudah menjadi Haji, dan hanya orang inilah yang
dibolehkan berpakaian Haji.
Menurut Dr.C.Snouck Hurgronje,
tidak mungkin untuk menghentikan arus ibadah haji tersebut di karenakan
keinginan pergi didaerah-daerah telah lama merupakan tujuan yang sangat di
sukai.Usaha terpenting untuk dampak dampak buruk ibadah haji yang mungkin
terjadi Dr.C.Snouck Hurgronce berpendapat untuk memberikan pengawasan yang baik
terus menerus terhadap pendidikan ilmu agama islam sehingga rakyat selalu
melihat bahwa cara mengajar dan mendidik anak mereka adalah sesuatu yang di
awasi oleh pemerintah. Dijelaskan pula oleh H. Aqib Suminto (1985:95):
Keyakinan, bahwa
pemerintah ingin mengetahui apa yang diajarkan oleh guru agama itu, bahkan
mengakibatkan pengaruh yang sehat dan lambat laun akan menimbulkan keinginan
untuk menempatkan unsur-unsur dalam pendidikan mereka yang membuat murid-murid
mereka juga menjadi rakyat yang baik.
Akan tetapi yang lebih penting dari
usaha tersebut di atas, Dr.C.Snouck Hurgronje berpendapat untuk memberikan
pendidikan barat kepada penduduk Indonesia dan menjauhkan mereka dari pesantren
dan madrasah. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka akan timbul jurang
yang lebar antara produk pesantren dan madrasah dengan produk pendidikan barat.
H.Aqib Suminto (1985:50) juga menjelaskan :
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 dinilai hanya
merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje
pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut didaktis, pesantren tidak banyak
berarti. Dikatakan bahwa para santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu
moral dan kadang-kadang mengarah ke intoleransi.
Pendidikan barat diformulasikan
sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir
abad ke-19 Dr.C.Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan
sanggup bersaing dengan pendidikan barat. Dijelaskan pula menurut H.Aqib
Suminto (1985:146):
Tetapi pada
akhirnya semula usaha Snouck dan pemerintah Belanda ternyata tidak banyak
berhasil. Menjelang Jepang datang menyerbu Indonesia semua partai politik Islam
nasionalis dan non Islam menggabungkan diri dalam Gabungan politik Indonesia (GAPI)
termasuk didalamnya Partai Arab Indonesia (PAI) yang mewakili aspirasi politik
terpenting di Indonesia. Penggabungan Partai politik dalam satu wadah merupakan
sumbangan yang tidak kecil artinya dalam usaha Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia.
Dr.C.Snouck Hurgronje menegaskan
bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai akan tetapi
merekanpun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam.
Tanggal 12 Maret 1906, Snouck
Hurgronje kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan
Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para
calon-calon Zending di Oestgeest. Snouck Hurgronje meninggal dunia pada tanggal
26 Juni 1936 diusianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck Hurgronje selalu
dikenang karena dianggap sebagai ilmuwan yang dijuluki “dewa” dalam bidang
Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelepor penelitian tentang
Islam, Lembaga-lembaganya, dan hukum-hukumnya. Ia “berjasa” “menunjukkan”
kekurangan-kekurangan’ dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di
Rapenburg didirikan momen “Snouck Hurgronje” untuk mengenang jasa-jasa
kebesarannya.
D. Berakhirnya Perang Aceh
Seorang Belanda lainnya, Paul Vant
Veer (1985:46) menerangkan dalam bukunya De Atjeh Oorlog, bahwa perang Aceh
berjalan terus dari tahun 1874 sampai dengan tahun 1942. Jadi menurut pandangan
ini perang Aceh tidak berakhir tahun 1913/1914 karena masih memanjang benang
merah yang tidak pernah putus sampai tahun 1942. Dari tahun 1942 dan tahun 1945
lalu sesudahnya, Belanda tidak pernah dapat kembali ke Aceh. Dalam masa-masa
aksi militer 1946-1947 sewaktu sebagian Pulau Sumatera diduduki kembali namun
Aceh tidak pernah ditembus oleh Belanda. Dengan demikian telah terlihat dengan
jelas peranan Aceh mengusir penjajah Belanda sejak meletusnya 1873 sampai
dengan kemerdekaan Indonesia.
KESIMPULAN
1. Perang
Aceh berlangsung lama dan berlarut-larut disebabkan karena faktor agama (Islam)
yang telah lama tertanam dalam hati sanubari rakyat Aceh dengan Al-Qur’an dan
Hadist sebagai landasan hukumnya. Snouck Hurgronje berpandangan bahwa salah
satu faktor sulitnya menaklukan Aceh dikarenakan kokohnya sendi agama Islam
dalam kehidupan masyarakat di “ Tanah Rencong”. sehingga perang melawan
penjajah diartikan sebagai “Jigad Sabilillah” atau mati Syahid dijalan Allah
SWT.
2. Para
ulama mempunyai peranan yang sangat besar dalam Perang Aceh. Islam menjadi api
perlawanan rakyat Aceh. Kemudian datang seorang ahli ketimuran asal Belanda
bernama Dr. Christian Snouck Hurgronje alias Abdul Gaffar yang cukup memberi
pengaruh dalam perkembangan sejarah masyarakat dan budaya di propinsi ujung
paling barat Indonesia tersebut dengan memberikan banyak masukan untuk
pemerintah Belanda diantaranya adalah memisahkan antara agama dengan politik
telah berhasil melemahkan kekuatan dan semangat rakyat Aceh dalam berjihad.
3. Dr.
Christian Snouck Hurgronje merupakan penasehat Belanda dalam perang Aceh telah
menggunakan pengetahuannya tentang Islam untuk mencampur adukan dan membuat
samar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Snouck Hurgronje ingin
menghilangkan semangat jihad yang telah tertanam pada rakyat. Dalam hal ini
Snouck Hurgronje mengakui bahwa satu-satunya harapan mencapai bentuk toleransi
dari rakyat Aceh adalah dengan lahirnya suatu generasi baru Aceh yang tidak
terpengaruh oleh Perang Aceh
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Ibrahim. 1987. 1987. Perang Di Jalan Allah.
Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta.
Algadri, Hamid, Mr. 1988. Politik Belanda terhadap Islam
dan Keturunan Arab
Di
Indonesia. Penerbit Haji Masagung, Jakarta.
Effendi, Ahmad,
1974. Teuku Umar. Penerbit Permata. Jakarta
Gayo, M.H, 1983.
Perang
Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Penerbit
Balai Pustaka,
jakarta.
Hasymy, A. 1983.
Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Penerbit Al
Ma’arif, Bandung.
Hurgronje,
Snouck. 1983. Islam dan Hindia Belanda. Penerbit Bharatara.
Jakarta.
---------. 1985.
Aceh
Dimata Kolonialis, Penerbit Soko Guru, Jakarta.
Ismail, H,
Sofyan, 1977. Perang kolonial Belanda Di Aceh. Pusat Dokumentasi
Dan Informasi
Aceh, Banda Aceh.