Rabu, 10 April 2013

Snouck Hurgronje dan Perang Aceh 1873-1904 (TESIS)

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang beribukota Banda Aceh secara geografis terletak di ujung pulau Sumatra. Sejarah mencatat bahwa dari wilayah ini agama Islam mulai masuk kemudian menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Benih ajaran agama Islam yang terinternalisasi terus tumbuh dengan subur hingga menyebar luas dan tertanam pada jiwa masyarakat Aceh. Karena itu penduduk “Serambi Mekkah” ini umumnya pemeluk agama Islam yang taat.
Ketika penduduk bangsa-bangsa barat khusunya Belanda  inin menguasai daerahnya maka masyarakat Aceh semakin memperoleh rasa cinta agama dan kemerdekaan untuk berjuang membela tanah airnya dengan semangat jihad.
Perang Aceh adalah perlawanan masyarakat Aceh yang paling berat dan terlama bagi pihak Belanda. Semangat jihad yang tertanam di dalam jiwa masyarakat Aceh merupakan sesuatu yang paling ditakuti dan dicemaskan oleh Belanda. Untuk hal inilah pemerintah Belanda menempatkan seorang orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan nama samarannya yang terkenal adalah Haji Abdul Gaffar. Beliaulah yang sangat berperan aktif untuk menghancurkan Perang Aceh dengan semangat jihadnya. Snouck Hurgronje berupaya memasukkan pemikiran-pemikiran hasil olahannya ke dalam ajaran agama Islam untuk menyebarkan ajaran Islam yang murni dari ajaran Rasulullah.
Dari hasil pemikiran-pemikiran Snouck Hurgronje diharapkan dapat mengalahkan pihak Aceh. Perang Aceh melawan pihak Belanda telah terbentuk benang merah dari peristiwa tersebut adalah Perang Aceh dengan semangat jihad yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist dapat menjadikan Aceh menjadi suatu wilayah yang sulit ditaklukan oleh bangsa barat khususnya Belanda. Perang Aceh merupakan daerah pertama kaum orientalis Belanda guna merancukan ajaran agama Islam bagi wilayah kolonial yang mayoritas beragama Islam.
B.  Pembatasan Masalah
Dalam penelitian dibatasi “Snouck Hurgronje dan Perang Aceh 1873 – 1904.
C.  Perumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kondisi situasi perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda
2.      Apakah kaum ulama berpengaruh dalam menyemangat rakyat Aceh dengan jihad untuk terus menerus mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
3.      Apakah peran Snouck Hurgronje dalam usaha mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
D.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mendeskripsikan kondisi situasi perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.
2.      Untuk mendeskripsikan pengaruh kaum ulama untuk menyemangati rakyat Aceh dengan tekat terus menerus mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
3.      Untuk mendeskripsikan peran Snouck Hurgronje dalam usaha untuk mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
E.  Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitian  Snouck Hurgronje dan Perang Aceh “dipergunakan beberapa metode dengan tehnik penulisannya tidak terlepas dari cara-cara menghimpun dan mengolah sumber-sumber atau bahan-bahan yang menjadi materi penulisan. Oleh karena itu penyusunan penelitian ini menggunakan metode yang meliputi :
a.    Tahapan Heuristik
Yaitu mencari dan mengumpulkan sumber data yang berhubungan dengan masalah yang hendak dibahas. Dan dalam hal ini mengadakan studi kepustakaan di beberapa perpustakaan.
b.    Tahapan Kritik
Pangujian data secara kritik, sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam peneletian ini mencoba melakukan kritik dengan mengadakan seleksi sejumlah sumber yang bertujuan memudahkan dukungan fakta pada penulisan ini.
c.    Tahapan Interpretasi
Mengadakan penafsiran terhadap data yang diperoleh  dan merangkainya secara keseluruhan. Interpretasi memberikan makna dan pengertian serta menghidupkan kembali proses rekonstruksi sejarah.
d.   Tahapan Historiografi
Pengolahan data yang dilakukan dengan cara merekonstruksi masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh psoses menguji, menganalisa secara kritik dan menempatkan data-data tersebut dalam kerangka-kerangka yang saling berhubungan  dengan bentuk penulisan penelitian. Penulisan tahap ini adalah menyampaikan informasi kepada Khalayak dalam memberikan jawaban perumusan yang diajukan.
F.   Tehnik Analisa Data
Dalam penelitian ini, digunakan juga studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data dari buku-buku atau sumber tertulis yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.






BAB II
HASIL PENELITIAN

A.  Kebijakan Kolonial belanda Terhadap Perubahan dalam masyarakat Indonesia
Kebijakan kolonial Belanda yang dimaksudkan didalam pembahasan ini adalah kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia pada masa kolonial Belanda yang digariskan oleh Dr.C.Snouck Hurgronje. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda telah mengambil kebijaksanaan mengenai Islam di Indonesia dengan menempatakan Dr.C. Sounck Hurgronje sebagai penasehat urusan Pribumi dan Arab (1889), peneliti lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890) dan Aceh (sejak tahun 1891) serta pengalaman selama menjabat penasehat urusan bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam sejak tahun 1891.
Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu (sinkritisme). Akan tetapi Islam memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dari orang lain. Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pamerintah Kristen dan asing.
Menghadapi medah seperti ini Dr.C. Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam arti ibadah dengan Islam sebagai kekuatan sosial politik mengenai kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia maka Dr.C. Snouck Hurgronje membagi Islam atas 3 kategori yaitu :
1.      Bidang agama murni atau ibadah.
2.      Bidang kemasyarakatan.
3.      Bidang politik.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck Hurgronje diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan  cita-cita “Pan Islam”dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang agama  murni tau  ibadah, sepanjang tidak mengganggu  kekuasaan maka pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan. Namun disisi lain pemerintah kolonial Belanda tidak mampu memperlakukan agama Islam dengan agamanya, yakni Kristen. Diskriminasi sering terjadi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama. Menurut H.Aqib Suminto (1985: 15).
Penganut Kristen pada umumnya menikmati berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, baik dalam memasuki sekolah pemerintah, mencari lapangan kerja maupun memperoleh kenaikan pangkat. Diskriminasi akan nampak jelas pada alokasi anggaran. Sehingga pada suatu saat agama Islam hanya memperoleh sepersekian persen dari anggaran agama Kristen.
Hal ini berdasarkan rasa superioritas Kristen terhadap Islam dan berlandasan asumsi bahwa sinkretisnya Islam di kawasan Indonesia akan mempermudah menaklukannya. Kebijakasanaan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah Ordonansi Guru Pertama dikeluarkan pada tahun 1905 berisi tentang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu. Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi aspek terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang  akan membawa rakyat kepada famatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika diperlukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata.
Sedangkan dibidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck Hurgronje menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Dia berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kihidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya masyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke-Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah kolonial Belanda. Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik ke dalam proses pembaratan. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu, orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.
Kaum Pribumi yang telah mendapatkan pendidikan bercorak barat dan telah terasosiakan dengan kebudayaan Eropa diberi kedudukan sebagai pengelola urusan pilitik dan administrasi setempat. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik sosial.
Secara tidak langsung, asosiasi ini juga bermanfaat bagi penyebar agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi. Hal ini dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan Pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelapori oleh kaum priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah kolonoial Belanda selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya. Gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar. Meskipun kepulauan Indonesia relatif sangat jauh dari Turki namun tidak menghalangi hubungan antara keduanya. Belanda tidak lupa akan kenyataan masa lalu yang disebabkan oleh Perang Aceh. Segala usaha dan tindakan dalam mengatasi masalah Perang Aceh belum juga berhasil. Perang yang paling lama dan pahit ini ternyata kemampuan bertahannya semata-mata ditunjang oleh Islam.
Perkembangan hubungan dengan Timur Tengah semakin memperbanyak peserta jumlah haji. Di sisi lain corak sinkretis dan mistik yang melekat pada agama ini menghadapi tantangn hembusan angin segar ortodiksi dan pemurnian dari Timur Tengah. Timbul gerakan reformasi yang ingin merekonstruksi kehidupan Islam di Indonesia. Gerakan ini berusaha membebaskan Islam dari pengaruh negatif sinkritisme dan terekat. Menyelaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern sehingga memiliki vitalitas dan semangat baru.
Menurut H.Aqib Suminto (1985:95) “Dr.C.Snouck Hurgronje berkesimpulan bahwa di kota Mekkah inilah terletak jantung kehidupan yang setiap detik selalu memompa darah segar ke seluruh tubuh penduduk muslim di Indonesia. Hal inilah yang menjadi bahaya laten dan dikhawatirkan akan menjadi gangguan bagi pemerintah kolonial Belanda.
Dalam kaitannya menetang Pan Islam, Dr. C.Snouck Hurgronje melakukan pengawasan ketat terhadap para mukmin juga terhadap orang-orang Arab yang menetap di Indonesia. Sebab sebagian mukmin yang telah kembali ke tanah air menjadi guru di pesantren-pesantren dan ada pula yang menenggelamkan diri dalam tarekat atau mistik. Dalam pesantren-pesantren kemungkinan seseorang akan memperoleh kesempatanyang sama seperti di Mekkah untuk memperoleh ilmu agama dan fanatisme yang picik menjadi lebih besar.
B.  Perlawanan Rakyat Aceh terhadap kolonialisme Belanda
1.    Perang Aceh 1873-1912
a.     Letak geografis
Menjelang meletusnya perang, kerajaan Aceh terdiri atas (1) Aceh Besar yaitu daerah sepanjang sungai Aceh yang terbagi atas tiga wilayah disebut sagi. Masing-masing sagi diberi nama menurut jumlah mukim yang dipunyainya, yakni Mukim XXII, Mukim XXV dan Mukim XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim XXV, yaitu Lho’Nga, Leupieng dan Lhong. (2) daerah-daerah diluar Aceh Besar yang merupakan taklukan Aceh terletak di pantai barat, pantai utara dan pantai timur dari ujung utara pulau Sumatra yang terdiri atas negeri-negeri atau kerajaan kecil yang otonom ataupun yang merupakan federasi, (3) daerah-daerah Gayo dan Alas yang terletak jauh pedalaman. Daerah-daerah yang berada langsung di bawah kekuasaan Sultan adalah kawasan dalam (kraton), Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa, Kampung Pande dan Kampung Kedah.
b.    Kedudukan Politik
Atas usul J.L.J.H. Pel, yang menggantikan Van Sweiten untuk menduduli daerah Krueng Raba di pantai utara Sagi Mukim XXV guna mendirikan sebuah gari pos melalui Aceh Besar dengan harapan dapat memutuskan hubungan Aceh terhadap dunia luar akan lenyap, sedangkan dalam bidang perniagaan akan tergantung kepada Belanda.
Jenderal Pel berusaha untuk mendapatkan lokasi yang baik sebagai tempat transito bagi perdagangan antara Sumatra Utara dengan semenanjung Tanah Melayu dan sebagai tempat penimbunan hasil bumi dan barang-barang keperluan daerah sekitarnya dalam jalur dagang dengan Eropa.
c.    Keinginan Belanda menguasai Aceh
Pada 1824 persetujuan antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris yang dikenal sebagai Taklat London ditandatangani. Dalam nota yang dilampirkan Taklat itu dinyatakan bahwa kedua kerajaan itu tidak akan melakukan tindakan permusuhan terhadap kerajaan Aceh. Tetapi, dalam perjalanan sejarah serentetan konflik antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Aceh terjadi juga.
Pada 1829 Belanda menyerang Barus yang dikuasai oleh Aceh. Serangan Belanda ini dipatahkan oleh pasukan-pasukan Aceh, malah benteng Belanda di Pulau Poncang di Teluk Tapanuli diserang Aceh dan bengunan-bangunan Belanda di tempat itu dibakar.
Setahun kemudian pada 1836, awak kapal sebuah kapal Belanda, Dolphijn, berontak dan membunuh nahkoda. Mereka mempersembahkan kapal tersebut pada Sultan Aceh. Dengan memakai kapal perang, Belanda meminta kembali kapal Dolphinjn tersebut, tetapi Sultan Aceh berkeberatan mengembalikannya. Surat kuasa dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengambil kapal itu tidak ada. Namun ketika surat tersebut dibawa oleh sebuah komisi Belanda kepada Sultan, kapal Dolphinjn sudah dibakar.
Setelah pihak Aceh mendirikan tiga buah benteng di sungai Maco dekat Barus dan memperkuat kedudukannya di Singkel. Aceh Selatan, Belanda pada 1840 mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan Kolonel A.V. Mischiels, untuk mengusir pasukan-pasukan Aceh. Dalam perempuran ini Aceh dapat dikalahkan. Akibat tindakan Belanda ini kapal-kapal dagang orang Eropa tidaklah sambutan yang semestinya sehingga tidaklah aman bagi kapal-kapal dagang itu untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Aceh. Khawatir akan adanya usaha negara lain mencari engaruh di Aceh, pemerintah Hindia Belanda berusaha mengadakan hubungan dengan Sultan Aceh.
Akhirnya pada 1857 Mayor Jenderal Van Sweiten berhasil menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan Sultan Aceh. Isi pokok perjanjian itu, antara lain : (1) membolehkan kedua pihak dengan mengindahkan undang-undang yang berlaku untuk melawat, bertempat tinggal dan menjalankan perdagangan dan pelayaran di daerah kedua belah pihak; (2) kedua pihak melepaskan tuntutan masing-masing mengenai segala pertikaian yang timbul sebelum perjanjian ini; (3) semufakat untuk mencegah dengan sekuat-kuatnya perampokan dan penangkapan masing-masing untuk di jual dan pembajakan di pantai daerah masing-masing; (4) Sultan Aceh mengakui bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili oleh Gubernur Belanda di Sumatra Barat dalam hal urusan dengan Sultan Aceh, dan (5) segala salah paham yang mungkin timbul akan diselesaikan dengan cara damai.
Kurang dari setahun kemudian, yakni pada 1858, sebuah perjanjian ditanda tangani antara pemerintah Belanda dengan Sultan Siak. Isinya yang terpenting ialah bahwa Siak dan jajahan takluknya merupakan bagian wilayah Hindia Belanda dan berada di bawah kedaulatan kerajaan Belanda. Jajahan takluk Siak ini antara lain terdiri dari wilayah-wilayah di pantai Sumatra Timur dari batas Siak ke Utara sampai Sungai Tamiang. Pada tahun 1865 kerajaan Aceh menganggap Tamiang, Langkat, Deli dan Batu Bara di Sumatra Timur sebagai daerah pengaruhnya dan yang mengharuskan raja-raja negeri itu membayar upeti kepada Sultan Aceh, melakukan campur tangan di Deli dan Langkat kemudian menyerang Batu Bara. Hal ini dilakukan karena wilayah-wilayah ini telah mengangkat bendera Belanda. Sebaliknya Asahan dan Serdang (di Sumatra Timur) makin lama makin bermusuhan pula dengan Belanda. Karena itu pada 1863 Belanda mengirimkan pasukan-pasukan tentaranya kesana dan berhasil menaklukan kedua negeri itu,. Pada tahun itu juga Belanda mengirimkan pasukan tentaranya ke Pulau Nias untuk menghalangi Aceh melakukan perdagangan budak.
Pada mulanya Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Aceh. Sebab Traktat London (1824) menyebutkan bahwa Belanda harus menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Namun beberapa puluh tahun kemudian Belanda berhasil membawa Inggris ke meja perundingan hingga akhirnya tercapailah perjanjian 1871 yang terkenal dengan nama Traktat Sumatra. Di dalam Traktat baru ini antara lain dinyatakan, bahwa Belanda bebas untuk memperluas kekuasaannya di seluruh Pulau Sumatra hingga dengan demikian tiada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati kedaulatan kerajaan Aceh sesuai dengan isi Traktat London.
d.   Sebab-sebab Perang Aceh
Setelah terjadi penandatanganan Traktat Sumatra antara kerajaan Belanda dengan Inggris tahun 1871 maka Belanda tidak berkewajiban lagi untuk menghormati kedaulatan dan integritas kerajaan Aceh dan tidak ada ikatan bagi Belanda untuk memperluas kekuasaannya di seluruh Sumatra. Aceh jelas terancam dengan adanya Traktat Sumatra ini. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh dalam situasi ini berusaha mencari bantuan dari luar kepada negara yang dianggap bersahabat. Indonesia mengirim utusan bernama Habib Abdul Rahman ke Turki pada bulan Januari 1873. Sebelumnya Belanda telah mengirim surat pada bulan Oktober 1872 kepada Sultan Aceh, Tuanku Muhmud Syah yang isinya bermaksud ingin mengirim sebuah komisi yang diketuai oleh Residen Riau guna menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak.
Dalam bulan Desember 1872, Sultan Aceh menyampaikan surat jawaban kepada residen Riau melalui sebuah perutusan yang terdiri dari Syahbandar Panglima Muhammad besrta empat orang hulubalang lainnya yang meminta agar perutusan Belanda menunda kedatangannya beberapa bulan lagi karena kerajaan Aceh sedang menanti hasil kunjungan utusannya menghadap Sultan Turki.
Dalam perjalanan kembali dari Riau pada tanggal 25 Januari 1873 utusan Aceh dengan menumpang kapal Marnix singgah di Singapura serta mengadakan hubungan dengan Konsulat Amerika dan Italia. Konsul Amerika bersama para utusan tersebut mempersiapkan sebuah konsep perjanjian kerjasama sederajat antara Amerika dan Aceh dalam menghadapi Belanda. Setelah mengetahui kejadian ini, Konsul belanda di Singapura mengawatkan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia berusaha agar pemerintah mereka masing-masing menyokong dan membantu Aceh.
Takut akan kelanjutan hasil perundingan di Singapura antara Aceh dengan Amerika Serikat itu dapat merugikannya, Belanda segera mengambil tindakan memberangkatkan F.N. Nieuwenhuyzen sebagai komisaris pemerintah dan ditugaskan berangkat ke Aceh. Ia ditugaskan untuk mengusahakan agar Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah mangakui kedaulatan Belanda. Jika Sultan Aceh menolak, F.N. Niewenhuyzen hendaklah mengumumkan perang atas nama Gubernemen Hindia Belanda.
Pada tanggal 7 Maret 1873 dengan kapal perang Citadel Van Antwerpen dan diiringi oleh kapal Siak, Nieuwenhuyzen bertolak dari Betawi mwlalui Singapura dan pulau Pinang dan tanggal 19 Maret berlayar dari pulau Pinang dengan tambahan dua kapal perang lagi, Marnix dan Coehoorn menuju Aceh. Ia sampai ke perairan Aceh pada tanggal 22 Maret 1873 dan pada hari itu juga Nieuwenhuyzen menyampaikan kehendak Pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Aceh agar memberi penjelasan kepada pihak Belanda mengenai perbuatan utusan pemerintah Aceh yang mengadakan kontak dengan wakil negara Asing di Singapura untuk meminta bantuan melawan Belanda.
Menurut Ibrahim Alfian (1987:65) “Hal ini oleh Belanda di anggap sebagai pelanggaran terhadap bunyi perjanjian perdamaian, persahabatan dan perniagaan 1857, antara Aceh dengan Belanda”. Oleh karena itu jawaban-jawaban Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah tidak memuaskan pihak Belanda. Kerajaan Aceh tidak mau memberikan pengakuan atas kedaulatan Belanda. Akhirnya Nieuwenhuyzen menyampaikan pernyataan atau manifesto perang, tertanggal 26 Maret 1873 seperti ditulis oleh H. Ismail Sofyan (1977:64) yang isinya sebagai berikut :
Berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah hindia Belanda, meka dengan ini, atas nama Pemerintah tersebut : Menyatakan Perang Kepada Sultan Aceh. Dan pernyataan ini lebih lanjut memberitahukan pulan kepada setiap orang yang bersangkutan serta memperingatkan kepada setiap orang akan segala akibat yang mungkin ditimbulkan olehnya serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada setiap warga negara didalam masa peperangan. Termaktub di kapal uap Sri Baginda Raja Citadel Van Antwerpen yang berlabuh di perairan Aceh Besar, pada hari ini , Rabu tanggal 26 Maret 1873.
2.    Jalannya Perang Aceh
a.       Perang Aceh tanah pertama (1873-1875)
Untuk menghadapi serangan Belanda, Sultan Aceh mengadakan persiapan-persiapan diantaranya mengadakan musyawarah kenegaraan. Sultan menjelaskan ancaman musuh seperti mulut naga yang menganga menunggu mangsanya. Dalam keputusan musyawarah tersebut diambil kesimpulan akan mengadakan perang total jika Belanda berani menyerang Aceh. Disamping itu Sultan telah memasukkan 5000 peti mesiu dan 1392 peti senapan yang didalamnya berjumlah 15.000 pucuk senjata dari Penang. Sebelum dimulai serangan, tentara Aceh sudah siap menunggu kedatangannya terutama di daerah yang dianggap penting.
Dan akhirnya pada tanggal 5 April 1873 Belanda telah siap di perairan Aceh, di pimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infantri Kolonel E.C. Van Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil kepala staf, ajudan-ajudannya, komandan batalion, Zeni, kesehatan dan topografi. Menurut H> Ismail Sofyan (1977:24):
Ekspedisi pertama Belanda berkekuatan 6 buah kapal perang, 2 buah kapal angkatan laut pemerintah, 5 buah barkas, 8 buah peronda, 1 buah kapal komando, 6 buah kapal pengangkut, serta 5 buah kapal layar. Angkatan darat dan laut terdiri dari 168 orang perwira, 3198 orang bawahan, 180 ekor kuda, 1000 orang pekerja paksa, 220 orang wanita bumiputra serta 300 orang laki-laki bumiputra sebagai pelayan perwira-perwira.
Pada tanggal 6 April 1873 untuk pertama kali pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceureumen untuk melakukan pengintaian dengan serta merta di gembur oleh pasukan kerajaan Aceh. Mereka dapat dipukul mundur oleh pejuang-pejuang Aceh. Kemudian pada tanggal 8 April 1873 berikutnya seluruh induk pasukan Belanda di daratkan di bumi Aceh. Setelah beberapa hari bertempur, Belanda mengalami kesulitan untuk mengetahui letak keraton sebagai tempat kediaman Sultan dan sebagai ibu Kota. Bila pusat pemerintahan ini telah direbut, Aceh pasti akan menyerah.
Pada tanggal 10 April 1873 barulah Belanda dapat merebut Masjid Raya di Kutaraja, benteng yang semula diduga keraton. Masjid itu ditembaki dan terbakar dan akhirnya dapat direbut dengan mengalami kerugian berat. Tetapi sesaat kemudian Kohler menuruh pasukannya meninggalkan Masjid itu karena pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan melawan gempuran pejuang-pejuang Aceh, yang dipimpin oleh Teuku Imeum Lueng Bata.
Pada tanggal 14 April 1873 Belanda berusaha kembali merebut Masjid Raya dan dalam pertempuran ini panglima pasukan Belanda, J.H.R. Kohler tewas karena sebutir peluru menembus dadanya. Tiga hari setelah Kohler gugur, Belanda mengundurkan diri ke pantai. Setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April 1873 mereka membongkar sauh dan meninggalkan pantai pada tanggal 29 April 1873. Ekspedisi Belanda pertama ke Aceh mengalami kerugian besar. Menurut Paul Van’t Veer (1985:37) “ Dari tigs ribu snggots, 4 orang perwira dan 54 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu”.
Kagagalan ekspedisi pertama tidak mengurangi niat Belanda untuk menguasai Aceh. Maka dibuatlah rencana ekspedisi kedua dengan pasukan-pasukan yang telah berpengalaman dan dalam jumlah yang lebih besar dari ekspedisi pertama. Dijelaskan oleh Obrahim Alfian (1987:67):
Maka pada tanggal 20 November 1873 ekspedisi kedua berangkat dari Jawa dengan kekuatan 389 orang Opsir 8115 orang tentara, 315 ekor kuda, 33 orang pegawai sipil, 234 orang wanita, 1037 jongos opsir, 3580 orang pekerja, sam[ai di Aceh pada tanggal 28 November 1873.
Agresi kedua dimulai pada tanggal 9 Desember 1873 dengan didaratkannya pasukan Belanda di kampung Leu’u dekat Kuala Gigieng, Aceh Besar. Dalam menghadapi penyerbuan ini pasukan Aceh dipimpin oleh Tuanku Hasyim Bangtamuda beliau dibantu oleh Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia. Delapan hari lamanya mereka mempertahankan pantai, kemudian terpaksa mengundurkan diri dan mengatur pertahanan masjid Raya, memperkokoh kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lam Bhu’ serta menyusun pertahanan keraton.
Masjid Raya dipertahankan secara mati-matian namun pada tanggal 6 januari 1874 Masjid Raya direbut juga oleh Belanda dari tangan pejuang Aceh. Perlawanan rakyat Aceh tak berkurang semangatnya untuk terus berjuang. Benteng pertahanan Keraton Sultan Aceh terus menerus dihujani peluru oleh Belanda, ketika itu pula wabah kolera sedang berjangkit. Dalam pada itu, Sultan Aceh, Panglima Polim dan Teuku Ba’et menyingkir ke Lueng Bata. Keraton tak dapat dipertahankan lagi dan jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 24 Janiari 1874. Kemudian pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Alaudin Mahmud Syah meninggal di Pagar Anyer karena serangan kolera.
Tanggal 31 Januari 1874 Letnan Jenderal J.Van Swisten memproklamirkan bahwa kerajaan Aceh sudah dapat ditaklukan dan daerah Aceh Besar dinyatakan menjadi milik Belanda. Menurut pikiran Belanda dengan secarik kertas Proklamasi sudah cukup untuk membuat Aceh bertekuk lutut. Sama sekali tidak terduga oleh Belanda bahwa reaksi dari pihak Aceh adalah tantangan terwujud merupakan perang gerilya yang memang sudah dipersiapkan oleh pemimpin Aceh sebelum perang meletus.
Setelah menerima bantuan dari jawa, maka dalam bulan Desember 1875 sampai dengan Januari 1876 Belanda melancarkan serangan terhadap Aceh. Barisan muslimin tidak dapat mempertahankan Sagi Mukim XXII dan daratan sebelah timur Sungai Aceh tetapi mereka menimbulkan kerugian besar pada pihak Belanda. Blokade Belanda tidak seluruhnya dapat mencapai sasaran.
b.      Perang Aceh tahap kadua (1876-1880)
Meskipun pada perjanjian takluk antara tahun-tahun 1874-1876 oleh 31 uleebalang yang menandatangani  perjanjian dengan Belanda namun barisan-barisan Aceh terus melakukan serangan-serangan terhadap Belanda. Kadangkala pihak Aceh dapat menembusi garis pertahanan Belanda, sedangkan Belanda tidak mampu mejaga keamanan di belakang garis pertahanannya. Oleh karena itu G.B.T. Wiggers Van kerchem yang menggantikan Jenderal Pel pada 10 Maret 1876 memperbaiki dan memperluas garis pertahanan yang telah ada.
Sementara itu Habib Abdurrachman Az Zahir, yang telah meninggalkan Aceh pada tahun 1873 mendarat di pantai Idi pada bulan Maret 1876. Perjalanan diplomatiknya ke Konstantinopel untuk mencari bantuan tak begitu berhasil tetapi kembalinya menambah kegairahan baru di kalangan pajuang Aceh.
Habib berhasil mengumpulkan dana beribu-ribu ringgit pemberian sebagian uleebalang di Pantai Utara dan Timur. Ia berhasil pula mengumpulkan beribu-ribu rakyat dalam pesukannya. Ia mendapat pula bantuan dari T. bentara keumangan, raja Gigieng (Pidie). Dengan bantuan pasukan-pasukan yang datang dari samalanga, pasukan-pasukannyamenyerang pos-pos belanda di sebelah tenggara garis pertahanan Belanda pada akhir 1876.
Pihak Aceh mempergunakan terus kesempatan untuk meneruskan perlawanan. Perbekalan dan alat-alat perang pejuang-pejuang Aceh dari Pidie melalui jalan ke Mukim XXII, Aceh Besar. Sebab itulah pada awal Maret 1877 Belanda menyelesaikan garis pos pertahanannya untuk membendung jalan perbekalan pihak Aceh. Terpaksalah orang-orang Aceh mengangkut perbekalan mereka melalui jalan-jalan gunung yang sukar.
Tekana pejuang Aceh yang terus terjadi menyebabkan Belanda mengirimkan pasukannya ke bagian selatan Aceh Besar dan Aceh barat (Februari-Maret 1878). Serangan yang terus-menerus dari Tgk. Di Tiro ke Gigieng Pidie, memaksa Belanda pada bulan April dan Mei tahun itu juga mengirimkan pasukan tambahan di bawah Mayor W.W. Goblijn.
Dalam Mei, Juni dan juli 1879 Belanda mengirim angkatan lautnya untuk menghantam kubu-kubu pihak Aceh di Kuala Jangka dan Peukan Baro di Pidie, Ladong dan Krueng Raya di Aceh Besar serta Peusangan di Aceh Utara.
Serangan Aceh terhadap patroli Belanda pada Juni 1880 di Samalanga dibalas oleh Belanda dengan mengirimkan lagi pasukan militernya ke sana. Dalam bulan itu juga terjadi kontak senjata antara Belanda melawan kira-kira dua atau tiga ratus orang muslimin. Belanda mempergunakan kapal api Sambas yang memuntahkan peluru dari laut untuk membantu pasukan-pasukannya. Pasukan Aceh dipimpin oleh Nyak Mandarsyah Batee lliek, Haji Syekh Mesjid Baro, Habib Ibrahim Alue Keutapang, Haji Cut Jalunga dan haji Bineng Blang. Pada tahun itu juga Belanda mempersiapkan dua buah kapal apanya, Pontianak dan Padang untuk sewaktu-waktu dikirimkan ke Sigli sebagai reaksi atas berita yang mengatakan bahwa kurang lebih 1.000 orang pasukan Aceh, termasuk didalamnya Tgk. Di Taro bersama anak buahnya berkumpul di Garut untuk menyerang benteng Belanda di Sigli. Belanda mengakui bahwa pihak muslimin bertambah sadar akan kekuatannya dan keadaan ini diperkuat oleh ramalan-ramalan dari pihak ulama bahwa dalam 1881 pendudukan kafir akan lenyap.
c.       Perang Aceh tahap ketiga (1881-1896)
Setelah pemerintahan militer yang keras dibawah Jenderal Van Der Heijden digantikan oleh pemerintahan sipil pada April 1881, pejuang-pejuang Aceh mendapat kesempatan bergabung lagi untuk melakukan penyerangan-penyerangan kembali di bawah T. Nyak Hasan, Teuku Umar, Panglima Nyak Bintang, Pang Saman, Pang Jarang, T.Cut, T. Husin, T. Ali Pagar Ayer, Sayyid Ali dan lain-lain.
Kegiatan patroli militer yang oleh Van Der heijden dianjurkan terus-menerus dihentikan oleh Pruys Van Hoeven. Sebagai gantinya dibentuk polisi bersenjata yang berjumlah beberapa ratus orang untuk menjaga keamanan. Menghadapi keadaan demikian para gerilayawan Aceh mendapat peluang untuk menyusup dan menembusi garis pertahanan Belanda. Akibatnya timbul keadaan panik di kalangan tentara Belanda. Gubernur Jenderal Van lansberge pada 1881 mengakui bahwa peperangan melawan Aceh menyebabkan tentara Hindia Belanda mengalami disorganisasi total.
Pada 1881 kira-kira 30.000 orang menyerang Lhokseumawe. Mulai awal 1882 pasukan-pasukan Aceh dibawah pimpinan para ulama memasuki Aceh Besar untuk benteng  Belanda dan menembaki transpor militernya.
Dengan menggunakan berbagai cara dapatlah beberapa diantara uleebalang ditundukkan Belanda. Pryus Van Der Hoeven sangat optimis. Dalam pidato penyerahan pemerintahannya pada 16 Maret 1883 kepada P.F. Laging Tobios yang menggantikkannya. Ia mengatakan bahwa meskipun di sana-sini masih terdapat permusuhan terhadap Belanda namun perlawanan secara umum tidak ada lagi.
Karena itulah Tobias tak dapat mengikuti penilaian pejabat yang digantikannya. Korban pertama dalam penilaian ini ialah korps polisi. Bukan saja korps ini tidak lagi  mendapat tempat yang layak, semua orang Aceh dalam korps ini pun diberhentikan pula.
Sementara itu perang gerilya terus berjalan,. Pasukan-pasukan Aceh menyerang dari belakang garis pertahanan dengan menimbulkan kerugian-kerugian. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa sejak 1 Maret 1883 sampai akhir September 1883 dan 119.840 meter kawat telepon yang telah diambil oleh pasukan Aceh, 101 tiang telepon dan 277 isolator yang dilarikan atau dihancurkan oleh mereka.
Pada 19 Agustus 1884 diangkatlah Kolonel Demmeni menjadi Gubernur militer dan sipil untuk melaksanakan sistem pertahanan “konsentrasi”, yaitu menarik diri ke daerah yang menurut Belanda sudah sungguh-sungguh berada di bawah kekuasaan militernya.
Kegiatan di luar Aceh Besar sedapat mungkin dibatasi Belanda. Pos-pos yang terdapat di Samalanga dan di Lhok Seumawe dihapuskan pada 1884. Dengan mengurangkan pos-pos ini Belanda dapat mengurangi tentaranya denga tiga batalion infanteri. Di dalam daerah seluas kurang lebih 55 km persegi ditempatkan kira-kira 5.000 orang serdad dalam keadaan kondisi yang kurang baik. Dalam 1886 sekitar 35 % daripadanya menderita penyakit biri-biri. Dalam 1886 dan 6.008 orang pasukan Belanda terserang penyakit biri-biri. Rumah sakit yang terbesar dan termodern di seluruh Hindia Belanda pada waktu itu yang didirikan di Kutaraja pada 1880 tidak mampu menampung para penderita penyakit itu.
Agar para ullebalang mau bekerja sama dengan Belanda, maka mereka diberi sejumlah uang sumbangan. Untuk maksud ini Menteri Jajahan Belanda memberi kuasa Gubernur Jenderal di Betawi agar mengusahakannya sesuai dengan keadaan anggaran belanja pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Demmeni pada Oktober 1884 memuat lagi semacam peraturan pelayaran. Yang dibuka hanya pelaguhan-pelabuhan Ulee Lheue, idi dan Sigli, tetapi kemudian pada Desember 1885 peraturan pelayaran itu dicabut kembali. Di daerah luar Aceh Besar dilaksanakan politik  non intervensi terhadap masalah-masalah intern negeri-negeri tapi pantai, sedangkan kegiatan perdagangan sama sekali tidak terlarang.
Pada Juni 1886 Teuku Umar menyerang kapal api Hok Canton yang sedang berlabuh di pantai Rigaih, Aceh Barat. Pasukan Belanda yang dikirim ke sana di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Teijn tidak berhasil membebaskan awak kapal yang di tawan Teuku Umar. Akhirnya Sandera itu ditebus oleh Belanda dengan membayar 25.000 ringgit kepada Teuku Umar.
Demmeni meninggal dalam bulan Desember 1886 dan digantikan oleh kolonel H.K.F.Van Teijn. Ia diharapan menjalankan politik menunggu dalam garis pertahanan konsentrasi dan berusaha untuk memulihkan kedudukan Sultan di Aceh Besar ( tentunya dalam kerangkan pemerintah Belanda). Ia juga berusaha mencari hubungan dengan pemimpin-pemimpin perlawanan dengan sejauh mungkin menghilangkan kesan bahwa yang mencari atau mengini kontak tersebut adalah pihak Belanda. Selain daripada itu, selama Sultan Aceh di Kuemala tidak menyerah maka semua campur tangan langsung dalam masalah-masalah di luar Aceh sedapat mungkin dihindari.
Pada awal Oktober 1887 pasukan Tgk. Di Tiro dengan kekuatan 400 orang memasuki garis pertahanan Belanda. Antara Meusapi dengan Raja Bedil. Dalam pertempuran itu 41 orang tewas di pihak Aceh, sedangkan di pihak Belanda terdapat empat orang mati dan 17 luka-luka. Adanya serangan seperti ini membuat Van Teijn mulai sedikit demi sedikit meninggalkan politik menunggu. Baik di sekitar garis pertahanan konsentrasi maupun di luar Aceh Besar ia menjalankan politik yang lebih aktif.
Pada 1889 yakni 16 tahun seudah perang Belanda berlangsung, di samping Panglima, pemimpin-pemimpin adat yang setia kepada Sultan antara lain adalah : (1) T.Cut, kepala Sagi Mukim XXVI. (2) T. Sri Setia Ulama, kepala Sagi mukim XXV, yang tinggal di Patek, Aceh Barat, Teuku Umar (4) T. Cut Muda Latif Syamsulbahri, panglima perang untuk pantai Aceh Utara, (5) T. Mansur, Meulaboh. (6) Laksamana Enjung. (7) T. Bintara Cumbok, kepala Mukim III, Pidie yang bersama T. Bin Titeue menjadi penasehat-penasehat yang terpercaya dari Sultan.
Untuk keperluan usaha pengamanan dalam menghadapi serangan-serangan-serangan Aceh pada 1889 pihak Belanda memberikan uang premi sebesar f. 50 untuk setiap ranjau granat yang ditemui sepanjang rel kereta api. Oleh karena pasukan-pasukan Aceh menyerang juga pada malam hari dan disebabkan kekurangan tenaga pasukan. Belanda menggunakan narapidana kerja paksa dengan diberi senjata klewang dan senapan tua. Jika narapidana ini dapat menangkap atau membunuh gerilyawan Aceh kepadanya akan diberikan premi f. 25 persatu kepala orang Aceh. Guna menjaga keamanan dan ketertiban dalam garis pertahanan konsentrasi, pada April 1890 Belanda mendirikan korps merechaussee, suatu pasukan khusus yang direktrut dari pasukan infanteri.
Mulai Juli 1891 sampai Februari 1892 Snouck hurgronje mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik di Aceh, untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama setelah berpulangnya Tgk. Chik di Taro Muhammad Saman dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan manakah yang ditempuh oleh Sultan Aceh dalam memenuhoi kehendak para ulama. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa pada umunya yang dihadapi Belanda adalah sebuah gerakan rakyat fanatik yang dipimpin oleh para ulama dan mereka ini hanya dapat ditaklukan bilamana Belanda mempergunakan senjata dan kontak dengan mereka tidak boleh diadakan sebelum mereka menyerah.
Pada 1893 stelsel konsentrasi sudah sembilan tahun lamanya dijalankan, namuan harus diakuai tujuannya tidak tercapai. Kampung-kampung yang berada di dekat garis pertahanan konsentrasi terus-menerus mendapat gangguan pihak muslimin. Belanda menempatkan pos-pos sementara di luar garis pertahanan konsentrasi dengan alasan untuk menjaga keamanan dan melindungi kampung-kampung yang bersahabat dengan Belanda.
Pada September 1893 Teuku Umar bersama 15 orang penglimanya menyatakan kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda. Ia mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan dan panglima  Besar serta kepadanya diberi hak untuk memiliki tentara sebanyak 66.360 florin setahun untuk diteruskan sebagian kepada para pengikutnya. Sebuah rumah dibuatkan pula untuknya di Lam Pisang, Aceh Besar. Dengan keputusan pemerintah Belanda tanggal 19 Januari 1896 ia diangkat sebagai Uleebalang leupueng, di sebelah selatan Aceh Besar.
29 Maret 1896 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah perang Belanda di Aceh. Teuku Umar dengan sejumlah pemimpin-pemimpin Aceh meninggalkan Belanda. Bagi pihak Belanda kejadian ini merupakan peristiwa yang sangat menggemparkan. Umar memiliki uang, mesiu dan alat-alat senjata diperolehnya dari pihak Belanda.
Pada hari Teuku Umar meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya, Gubernur Deijkerhoff mengirimkan kawat kepada pemerintah Hindia Belanda di Betawi untuk meminta tambahan tenaga tempur. Bersamaan dengan datangnya bala bantuan , datang pula Panglima Angkatan Darat Hindia Belanda, Letnan Jenderal J.A. Vetter untuk mengambil tindakan setempat yang diperlukan. Di bawah pimpinan Vetter, dengan mendapat tambahan pasukan dari Jawa dan bantuan angkatan lautnya, mulailah mereka menembaki benteng-benteng Aceh, termasuk kawasan-kawasan di luar lini konsentrasi. Setelah Belanda tidak berhasil meminta kembali senjata-senjatanya kepada Teuku Umar maka pada 26 April ia dipecat dari semua jabatan dan sejak 27 April 1896 Belanda mulai melakukan serangan terhadapnya.
Setelah lebih dari dua bulan menggarap soal Aceh. Vetter kembali ke Betawi dan sebagai Gubernur sipil dan militer dianggat J.J. De moulin. Cuma dua hari saja ia sempat menduduki jabatan itu, lalu meninggal dan digantikan  oleh J.W. Stemfoort. Belanda meninggalkan sistem pertahanan konsentrasi yang dianutnya sejak 1884 dan memasuki politik agersi.
d.      Perang Aceh tahap keempat (1897-1912)
Sultan bersama para pengikut berada di Mukim XXII. Akibatnya serangan Belanda atas Mukim ini pada 29 Juli 1896 Sultan terpaksa mengundurkan diri. Pada bulan September 1897 dengan kekuatan satu setengah batalyon infanteri Belanda menuju Seulimeum, Aceh Besar untuk mengejar Sultan dan menduduki Seulimeum pada 25 Oktober 1897. Baginda terpaksa mengundurkan diri  lagi ke Pidie sedangkan Panglima Polim ke daerah pegunungan Mukim XXII. Pada akhir Oktober dan awal November 1897 Belanda dengan kekuatan dua Batalyon menuju pegunungan Mukim XXII dan dapat mengusir pasukan-pasukan Panglima Polim, menduduki Janthoe dan menyapu benteng-benteng Aceh.
Mulai 1897 inisiatif lebih banyak berada di pihak Belanda. Pada tahun itu pemerintah kolonial di Betawi menghendaki penguasaan aktif Aceh besar disertai dengan pengawasan pelayaran sepanjang pantai. Dengan mendirikan jalur kereta api di Mukim XXII Belanda mengharap dapat mengadakan komunikasi yang baik antara sebagian bivak-bivaknya dengan garis-garis pertahanan konsentrasi.
Di saat kekalahan datang beruntun di pihak Aceh, maka koordinasi dalam perjuangan dirasakan makin mendesak. Dalam keadaan ini pula kedudukan pusat Sultan sebagai pemimpin ulama Aceh perlu diperteguh. Dengan begini perang melawan Belanda tidaklah dilihat hanya sebagai perlawanan rakyat yang didasarkan atas ajaran agama melawan kafir tetapi juga perang sebuahnegara yang sedang diserang.
Teuku Umar, Teuku Johan Lampaseh, TeukuCut Tingkob dan uleebalang-uleebalang terkemuka dari mukim VI dan III pada 1 April 1898 mengangkat sumpah setia kepada Sultan Muhammad Daud untuk bersama-sama meneruskan perang sabil pada masa ini pemimpin-peminpin perlawanan Aceh adalah sebagai berikut: di Mukim VII berada Panglima Polim bersama Tuanku Muhammad Kuala Batee sedangkan didaerah Pidie, Sultan berada bersama-sama pengikut-pengikutnya, uleebalang-uleebalang Sama Indra, Cumbok, Keumala dan Aree, Tungkob dan Garot, teuku Bentara Peukan Meureudu dan ulama-ulama Tgk Di Gayo, Tgk di Cot plieng, Habib Husin dan lain-lain.
Dari 1 Juni 1898 sampai pertengahan September 1898 Belanda melakukan serangan besar-besaranke Pidie untuk menaklukan negeri-negeri sepanjang pantai utara dan timur serta dengan gigihnya Belanda mengejar pemimpin-pemimpin perlawanan yang terkemuka seperti Sultan Muhammad Daud. Panglima Polim dan Teuku Umar. Pasukan Belanda Terbagi atas dua bagian, Colonne Pidie dan Seulimeum dibawah komando Van Heutsz dengan dibantu oleh Snouck Hurgronje sebagai penasehat urusan bumi putera.
Di Aceh Utara, daerah-daerah yang sejak perang Belanda dianggap sangat mengganggu pihak Belanda adalah Lhokseumawe, Samalanga, Peusangan, Geudong (Ipasai) dan Lhoksukon. Berkali-kali pihak Belanda mengirimkan angkatan tentaranya seperti apa yang dinamakan ekspedisi ke Peusangan , Pasai dan Samalanga pada masa 1897-1901 dibawah van heutsz. Akan tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan.
Dalam bulan Juni 1908, Mayor Van Daalen digantikan oleh Letnan Kolonel Wart. Gubernur sipil dan militer yang baru ini segera menugaskan dua orang opsir marsoses. Kapten Chistoffel dan kapten Scheepens ke daerah Lhoksukon untuk menghabiskan barisan-barisan muslimin. Pada tengah kedua 1908 sebanyak 137 orang Aceh yang dapat di tewaskan pasukan marsose, 22 ditawan. Sedangkan 322 orang kembali ke kampung halaman masing-masing.
Dalam tahun-tahun 1909 dan 1910 ruang gerak Tgk. Di Paya  Bakong dan Tgk. Di Barat makin dapat dipersempit oleh pasukan marsose. Pada 1910 kemenakan dan abang Tgk. Di Paya Bakong tewas. Kemudian salah seorang pemimpin pasukannya bersama delapan orang pengikutnya menyerah. Imum Beuma dengan dua orang pengikutnya dan Ipar Tgk. Di barat tertawan. Disamping itu gugur pila Tgk. Mat Saleh Putra Tgk. Seupot Mata, Cut Meutia dan lain-lain. Cut Meutia meneuskan perjuangan suaminya Tgl. Chik Tunong yang menjalani hukuman mati pada Maret 1905 di Pantai Lhokseumawe. Pada kahir bulan Oktober 1910 Cut Meutia dengan pedang terhunus ditangannya menyerang pasukan Belanda. Wanita bangsawan ini gugur terkena peluru pasukan Sersan W.J. Mosselman.
Pada 1912 sampailah batasnya bagi Tgk di Barat. Ulama ini muncul secara lebih menonjol dalam arena peperangan. Kemudian dengan usaha pasukan Letnan Behrens tempat ulama ini dapat dikepung dan dalam kontak senjata yang terjadi terkenalah lengan kanannya oleh peluru Belanda. Ia segera mencabut rencongnya dan dengan menggunakan tangan kiri menyerahkan karaben kepada istrinya yang segera melindungi sang suami dan berdiri di hadapannya. Tak lama kemudian berdentuman peluru Gompouni menembus jasad keduanya dan gugurlah ulama itu beserta istrinya sebagai syuhada.
C.  Pengaruh Snouck Hurgronje terhadap kebijakan politik Hindia Belanda dalam perang Aceh.
Christian Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsh Politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck Hurgronje terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan.
Perhatian Snouck Hurgronje terhadap islam menunjukkan bahwa Snouck Hurgronje mengikuti jejak banyak kaum kerabatnya. Christian  Snouck Hurgronje terlahir tanggal 8 Februari 1857 merupakan anak ke-empat dari Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna maria Visser. Nama depannya diambil dari nama kakeknya, pendeta D. Christian de Visser. Menurut P.SJ. van Koningsveld (1989:110) diceritakan bahwa :
Kadua anak pertama, Anna Maria dan Jacqueline Julie dilahirkan berturut-turut di Chilham (Inggris) pada tanggal 24 Mei 1849 dan Mechenlen pada tanggal 4 Desember 1850. Setelah perkawinan lahirlah pada tanggal 19 Februari 1855 Christina Anna Catherina, pada 3 September 1859 Anna Catherina di Oosterhout. Kedua anak pertama yang lahir sebelum perkawinan memakai nama ibu mereka De Visser setelah meninggalkan Oosterhout pada tanggal 3 Mei 1871, anak-anak lainya selalu memakai nama Snouck Hurgronje.
Christian Snouck Hurgronje lahir ke dunia membawa tugas berat, karena Snouck Hurgronje diharapkan untuk menjadi pendeta guna memperbaiki kesalahan yang telah diperkuat oleh ayahnya. Disebutkan juga oleh P.SJ. Van koningsveld (1989:176):
Ayah Snouck Hurgronje adalah seorang pendeta Hervormd yang dipecat dari jabatannya. Dalam keputusan pemecatan resmi pengurus gereja propinsi Zeeland tanggal 3 Mei 1894, tertera alasan sebagai berikut : Meninggalkan jabatan secara tidak setia disertai dengan tindakan-tindakan yang memberatkan, ikut menyertai pendapat umum bahwa nafsu yang menjerumuskan dan bersifat pidana dari Ds. J.J. Snouck Hurgronje merupakan sebab sebenarnya tentang kepergiannya dari masyarakat Tholen. Sang Pendeta telah menikah dan mempunyai anak enam orang, memulai hubungan gelap dengan Anna Maria, putri teman sejawatnya di Tholen, Ds. Christian de Visser.
Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 dan lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck dibimbing oleh para tokoh aliran “modernis Leiden”, seperti Cp Tieles, LWE Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje.
Aliran pemikiran “modernis Leiden” ini berpandangan liberal dan rasional. Dalam aliran pemikiran ini, agama hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa dengan memillliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain (Islam dan budaya dunia Timur) merupakan suatu bentuk degenerasi kebudayaan.
Dari Abraham Kuenen (ahli perjanjian lama) , Snoouck Hurgronje mendapat pelajaran tentang Kritik Biblik (Kritik Kitab Suci). Hal itu mendasari pemikirannya dalam menolak hal-hal yang irasional dalam agama yang dianutnya (Kristen) seperti Trinitas dan kedudukan tesus sebagai Anak Allah. Disamping itu ia juga belajar bahasa san sastra Arab dari RPA Dozi dan MJ de Goeje.
Snouck Hurgronje menyelesaikan pendidikan formalnya pada tahun 1880 dengan disertai berjudul Het Mekkaansche Feest yang membahas tentang ibadah haji. Kemudian ia mengajar di “ Leiden & Delf Academi”, tempat dimana semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda didik dan dilatih sebelum mereka dikirim berdinas di Hindia Belanda.
Tahun 1884 atas prakarsa JA Kruyt, Konsul Belanda di Jeddah- Snouck Hurgronje dikirim ke Mekkah guna melakukan penelitian tentang Islam. Untuk mendapatkan izin tinggal di Mekkah, Snouck Hurgronje mengganti namanya menjadi Bdul Ghaffar, ia juga mengerjakan shalat dan ritual agama Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck Hurgronje dapat mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari umat Muslim di Mekkah serta dengan mudah bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari Hindia Belanda. Dilelaskan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya berjudul Aceh :
Tidak ada agama yang lebih mudah pengakuan kepercayaannya secara resmi daripada Islam; seseorang dapat masuk Islam dan tetap merupakan anggota mesyarakat tanpa menonjolkan bukti keaslian kepercayaannya, pengetahuan tentang hukum agamanya ataupun kesetiannya mematuhi prinsip-prinsipnya. Pengakuan dua kalimat syahadat (“ Aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah”) sudah cukup untuk membuat orang masuk Islam; dan tidak seorangpun berhak menyaksikan kebenaran pengakuannya itu.
Selama Dr.C. Snouck Hurgronje alias Abdul Gaffar berada di kota Mekkah dia mendapat kesempatan bertemu dengan jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji di Mekkah. Dia berhasil mendapat keterangan-keterangan yang penting mengenai situasi perang Aceh dari jemaah haji Indonesia terutama dari jemaah haji Aceh sendiri. Karena mereka tidak menaruh curiga kepada seorang muslim tetapi ternyata adalah seorang musuh yang kelak akan menghancurkan Aceh dengan segala tipu muslihatnya.selain dari itu Dr. C. Snouck Hurgronje telah bertemu dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu Habib Abdurahman. Habib Abdurrahman adalah seorang keturunan Arab yang mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh ketika dia masih berada di Aceh. Ketika perang Aceh, Sultan Muhammad Daud masih muda, maka kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sementara dipercayakan  kepada Habib Abduraahman sebagai Mangkubumi bersama panglima Polim dan Malikul adil. Ternyata kemudian Habib Abdurrahman telah menyalah gunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pertemuan Dr. C. Snouck Hurgronje dengan Habib Abdurrahman  di kota Mekkah ini sangat menguntungkan rencananya untuk mempelajari situasi perang Aceh. Dia mendapat bahan dari tangan pertaman yaitu dari Habib Abdurrahman, orang yang pernah menjadi pelaku yang penting dalm perang Aceh melawan Belanda.
Disamping itu selama di Mekkah, Snouck Hurgronje juga melakukan penelitian. Dia memusatkan perhatiannya pada tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa arti Islam didalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya. Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.
Setelah  setahun Dr. C . Snouck Hurgronje berada di Mekkah tersebar berita-berita dalam pers di dunia barat bahwa Abdul Gaffar bukanlah seorang muslim tetapi dia adalah mata-mata (spion) bagi Belanda. Sehubungan dengan berita inilah dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar meninggalkan kota suci Makkah.
Tahun 1889, Snouck Hurgronje dipindah tugaskan ke Hindia Belanda. Oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Herdijk, ia diangkat sebagai peneliti dan penasehat urusan bahasa-bahasa timur dan Islam. Pada tahun itu juga sampai tahun 1892, Dr.C.Snouck Hurgronje berada di Aceh. Pada waktu inilah dipergunakan untuk mempelajari Aceh mengenai penduduknya, bahasa, adat-istiadat dan pengaruh Islam dalam kehidupan penduduk Aceh.
Guna memuluskan tugasnya dan memperkuat penerimaan masyarakat, Snouck Hurgronje mengawini wanita Muslim Pribumi secara Islam, snouck Hurgronje melangsungkan perkawinannya dengan sangkana, anak tunggal Raden Haji Mahmud Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis. Dari perkawinannya itu terlahir empat orang anak, Salman, Umar, Aminah, Ibrahim. Pada tahun 1895, Sangkana meninggal dunia . kemudian tahun 1898 Snouck Hurgronje mengawini Siti Sadiyah, putra Haji Muhammad Soe’eh. Wakil penghulu kota Bandung. Pada tahun 1910, Snouck Hurgronje melangsungkan pernikahannya dengan Ida Maria, putri Dr. AJ Oor, pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang ketiga ini dilangsungkan di negeri Belanda.
Untuk mempertahankan kekuasaannya, setiap pemerintah kolonial selalu berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi yang dikuasainya. Pemerintah kolonial Belanda dalam mengatur jajahannya membuat kagum Inggris dan Perancis. Padahal situasi wilayah di Hindia Belanda ternyata menunjukkan hampir seluruh penduduk pribumi memeluk agama Islam. Suatu kenyataan yang memerlukan sikap serius bagi Belanda untuk menghadapinya. Karena agama Islam akan selalu menyadarkan pemeluknya bahwa meraka berada di bawah cengeraman pemerintah kafir dan cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Pada awal kedatangan di Indonesia, Belanda tidak berani mencampuri urusan agama Islam secara langsung. Sikap Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakkan orang-orang fanatik. Sementara dipihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi kan segera menyelesaikan semua persoalan. Keengganan mencampuri urusan masalah agama tercermin dalam Undang-Undang Hindia Belanda.
Menurut H. Aqib Suminto (1985:10) “Ayat 119 RR: setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umat hukum Islam.
Akan tetapi kebijakan untuk mencampuri agama nampak tidak konsisten dikarenakan tidak adanya garis yang jelas. Dalam masalah Haji misalnya ternyata pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak campur tangan. Justru para Haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang pemberontak. Hal ini terlihat jelas pada aneka peraturan tentang Haji yang dikeluarkan antara tahun 1825-2859 yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit ibadah Haji ke Mekkah.
Setelah kedatangan Dr.C. Snouck Hurgronje pada tahun 1889 barulah pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijaksaan yang jelas mengenai masalah Islam. Dr.C. Snouck Hurgronje melawan ketakutan Belanda selama ini terhadap Islam berhasil menemukan seni memehami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Islam. Dr. C. Snouck Hurgronje melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam terutama bodang sosial dan politik disamping berhasil meneliti ketimuran dan Islam.
Bagi Dr. C.Snouck Hrugronje berpendapat bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik. Meskipun pada kenyataannya Islam sering sekali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Berdasarkan analisanya maka dipisahkanlah masalah agama dengan politik. Untuk masalah agama pemerintah Belanda disarankan bersikap netral sedangkan terhadap masalah politik diwaspadai dan dijaga benar akan datangnya pengaruh dari luar semacam Pan Islam.
Dijelaskan oleh H. Aqib Suminto (1985: 93) “ Gerakan Pan Islam bertujuan untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia di bawah pimpinan Khalifah Turki di Masa itu.
Gerakan Pan Islam mulai berkembang di Indonesia, di bawah pimpinan kesultanan Turki, terutama di masa Sultan Abdul Hamid yang sangat taat pada agama. Phobia terhadap Islam mencapai puncaknya ketika kemenangan Turki terhadap Yunani. Kemudian gerakan Pan Islam yang berpusat di Turki banyak pemimpinnya dari keturunan Arab di Indonesia terutama di Jakarta.
Konsep politik Dr. C.Snouck Hurgronje merupaka politik yang berdasarkan suatu analisis dan konsep yang cukup matang. Islam adalah musuh Belanda dan oleh karena Islam menurut mereka adalah identik dengan Arab, maka Arab dan keturunan Arab adalah musuh mereka pula. Gagasan Dr. C.Snouck Hrugronje untuk melawan Islam adalah membebaskan orang Indonesia dari pengaruh Islam dan Arab. Untuk mencapai tujuan tersebut Belanda mempersulit keberangkatan ibadah Haji ke Mekkah. Menurut H. Aqib Suminto ( 1985:98) dalam buku Politik Islam Hindia Belanda.
…..dengan berbagai peraturan yang mempersukar orang yang ingin beribadah Haji, ada peraturan ujian Haji. Seorang yang akan naik Haji harus diuji dulu tentang syarat naik Haji. Syarat ini rupanya peraturan untuk memperkecil jumlah orang naik Haji…. Ada pula peraturan yang dinamakan haji-haji sertifikat yang harus dimiliki oleh orang yang sudah menjadi Haji, dan hanya orang inilah yang dibolehkan berpakaian Haji.
Menurut Dr.C.Snouck Hurgronje, tidak mungkin untuk menghentikan arus ibadah haji tersebut di karenakan keinginan pergi didaerah-daerah telah lama merupakan tujuan yang sangat di sukai.Usaha terpenting untuk dampak dampak buruk ibadah haji yang mungkin terjadi Dr.C.Snouck Hurgronce berpendapat untuk memberikan pengawasan yang baik terus menerus terhadap pendidikan ilmu agama islam sehingga rakyat selalu melihat bahwa cara mengajar dan mendidik anak mereka adalah sesuatu yang di awasi oleh pemerintah. Dijelaskan pula oleh H. Aqib Suminto (1985:95):
Keyakinan, bahwa pemerintah ingin mengetahui apa yang diajarkan oleh guru agama itu, bahkan mengakibatkan pengaruh yang sehat dan lambat laun akan menimbulkan keinginan untuk menempatkan unsur-unsur dalam pendidikan mereka yang membuat murid-murid mereka juga menjadi rakyat yang baik.
Akan tetapi yang lebih penting dari usaha tersebut di atas, Dr.C.Snouck Hurgronje berpendapat untuk memberikan pendidikan barat kepada penduduk Indonesia dan menjauhkan mereka dari pesantren dan madrasah. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka akan timbul jurang yang lebar antara produk pesantren dan madrasah dengan produk pendidikan barat. H.Aqib Suminto (1985:50) juga menjelaskan :
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 dinilai hanya merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut didaktis, pesantren tidak banyak berarti. Dikatakan bahwa para santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu moral dan kadang-kadang mengarah ke intoleransi.
Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Dr.C.Snouck Hurgronje telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat. Dijelaskan pula menurut H.Aqib Suminto (1985:146):
Tetapi pada akhirnya semula usaha Snouck dan pemerintah Belanda ternyata tidak banyak berhasil. Menjelang Jepang datang menyerbu Indonesia semua partai politik Islam nasionalis dan non Islam menggabungkan diri dalam Gabungan politik Indonesia (GAPI) termasuk didalamnya Partai Arab Indonesia (PAI) yang mewakili aspirasi politik terpenting di Indonesia. Penggabungan Partai politik dalam satu wadah merupakan sumbangan yang tidak kecil artinya dalam usaha Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dr.C.Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai akan tetapi merekanpun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme Islam.
Tanggal 12 Maret 1906, Snouck Hurgronje kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest. Snouck Hurgronje meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936 diusianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck Hurgronje selalu dikenang karena dianggap sebagai ilmuwan yang dijuluki “dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelepor penelitian tentang Islam, Lembaga-lembaganya, dan hukum-hukumnya. Ia “berjasa” “menunjukkan” kekurangan-kekurangan’ dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di Rapenburg didirikan momen “Snouck Hurgronje” untuk mengenang jasa-jasa kebesarannya.
D.  Berakhirnya Perang Aceh
Seorang Belanda lainnya, Paul Vant Veer (1985:46) menerangkan dalam bukunya De Atjeh Oorlog, bahwa perang Aceh berjalan terus dari tahun 1874 sampai dengan tahun 1942. Jadi menurut pandangan ini perang Aceh tidak berakhir tahun 1913/1914 karena masih memanjang benang merah yang tidak pernah putus sampai tahun 1942. Dari tahun 1942 dan tahun 1945 lalu sesudahnya, Belanda tidak pernah dapat kembali ke Aceh. Dalam masa-masa aksi militer 1946-1947 sewaktu sebagian Pulau Sumatera diduduki kembali namun Aceh tidak pernah ditembus oleh Belanda. Dengan demikian telah terlihat dengan jelas peranan Aceh mengusir penjajah Belanda sejak meletusnya 1873 sampai dengan kemerdekaan Indonesia.



KESIMPULAN

1.    Perang Aceh berlangsung lama dan berlarut-larut disebabkan karena faktor agama (Islam) yang telah lama tertanam dalam hati sanubari rakyat Aceh dengan Al-Qur’an dan Hadist sebagai landasan hukumnya. Snouck Hurgronje berpandangan bahwa salah satu faktor sulitnya menaklukan Aceh dikarenakan kokohnya sendi agama Islam dalam kehidupan masyarakat di “ Tanah Rencong”. sehingga perang melawan penjajah diartikan sebagai “Jigad Sabilillah” atau mati Syahid dijalan Allah SWT.
2.    Para ulama mempunyai peranan yang sangat besar dalam Perang Aceh. Islam menjadi api perlawanan rakyat Aceh. Kemudian datang seorang ahli ketimuran asal Belanda bernama Dr. Christian Snouck Hurgronje alias Abdul Gaffar yang cukup memberi pengaruh dalam perkembangan sejarah masyarakat dan budaya di propinsi ujung paling barat Indonesia tersebut dengan memberikan banyak masukan untuk pemerintah Belanda diantaranya adalah memisahkan antara agama dengan politik telah berhasil melemahkan kekuatan dan semangat rakyat Aceh dalam berjihad.
3.    Dr. Christian Snouck Hurgronje merupakan penasehat Belanda dalam perang Aceh telah menggunakan pengetahuannya tentang Islam untuk mencampur adukan dan membuat samar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Snouck Hurgronje ingin menghilangkan semangat jihad yang telah tertanam pada rakyat. Dalam hal ini Snouck Hurgronje mengakui bahwa satu-satunya harapan mencapai bentuk toleransi dari rakyat Aceh adalah dengan lahirnya suatu generasi baru Aceh yang tidak terpengaruh oleh Perang Aceh


DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Ibrahim. 1987. 1987. Perang Di Jalan Allah. Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta.
Algadri, Hamid, Mr. 1988. Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab
Di Indonesia. Penerbit Haji Masagung, Jakarta.
Effendi, Ahmad, 1974. Teuku Umar. Penerbit Permata. Jakarta
Gayo, M.H, 1983. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Penerbit
Balai Pustaka, jakarta.
Hasymy, A. 1983. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Penerbit Al Ma’arif, Bandung.
Hurgronje, Snouck. 1983. Islam dan Hindia Belanda. Penerbit Bharatara.
Jakarta.
---------. 1985. Aceh Dimata Kolonialis, Penerbit Soko Guru, Jakarta.
Ismail, H, Sofyan, 1977. Perang kolonial Belanda Di Aceh. Pusat Dokumentasi
Dan Informasi Aceh, Banda Aceh.