Minggu, 14 Juli 2013

KAUM WANITA DALAM KANCAH PERJUANGAN BANGSA (tesis)

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Penguasaan wilayah Nusantara oleh bangsa asing memicu perlawanan di mana-mana. Perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing, khususnya Belanda berlangsung begitu panjang. Perlawanan terhadap Belanda secara simultan muncul setelah terbentuknya VOC yang memberlakukan monopoli perdagangan, khususnya rempah-rempah. Kerajaan-kerajaan bangkit melawan kesewenang-wenangan VOC. Perlakuan yang tidak beradap terhadap penduduk, membuat prihatin para pejabat kerajaan, sehingga mereka tergetar untuk membebaskan bangsanya dari perbudakkan bangsa asing. Wilayah Nusantara bergolak, muncul rasa benci terhadap penjajah dan ingin melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Baik pria maupun wanita, baik muda maupun tua, mereka sehati sejiwa bertekad untuk mengusir penjajah. Ini terbukti dengan perlawanan yang dilakukan oleh kaum wanita terhadap penjajahan bangsa asing khususnya Belanda di Nusantara periode 1817-1945, selain kaum pria. Hal ini dimungkinkan karena pria dan wanita sama-sama melakukan perjuangan demi menuju Indonesia merdeka, namun keikutsertaan kaum wanita dalam kancah perjuangan tidak terexpose secara luas dibandingkan dengan kaum pria.
Ada tiga hal yang menyebabkan peran serta kaum wanita dalam kancah perjuangan bangsa tidak terexpose dan tidak banyak tercatat, yaitu : pertama,
wanita didalam lingkup sejarah nasional tidak berada dalam posisi sebagai pembuat keputusan atau pun memebang posisi menentukan. Kedua, didalam perjuangan nasional, perkumpulan wanita tampak mengalah, “untuk tidak menonjolkan diri di lingkup perkumpulan kaum pria”. Ketiga, wanita kemudian mengambil bentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dari kaum pria, sebagi tempat dimana kaum wanita dapat memperjuangkan kepentingan kaumnya sendiri dan masyarakat secara umum dengan bebas, bahkan dengan menonjol sekalipun. Dengan demikian, perlu kaum wanita yang terexpose dan tercatat dalam perjuangan bangsa, gamblang dan mendalam. Maka jika membicarakan kaum hawa, kita akan lepas dari peran mereka pada masa lampau dan masa kini.
B.  Pembatasan Masalah
            Mengingat banyaknya permasalahan yang timbul dari hasil identifikasi terhadap topik yang sedang diteliti, dan mengingat pula keterbatasan waktu dan lemampuan perlu dibatasipada : “Kaum Wanita dalam Kancah Perjuangan Bangsa 1817-1945”
C.  Perumusan Masalah
1.     Apakah yang melatarbelakangi munculnya perlawanan bersenjata yang dilakukan kaum perempuan terhadap penjajah, khususnya Belanda sebelum tahun 1817-1870.
2.    Fakto-faktor apakah yang melatarbelakangi munculnya perjuangan gerakan feminis gelombang pertama yang ditunjukan kepada pemerintah kolonial periode 1872-1928
3.    Fakto-faktor apakah yang melatarbelakangi munculnya perjuangan gerakan feminis gelombang ke dua yang ditunjukan kepada pemerintah kolonial periode 1928-1945.
D.  Tujuan Penelitian
1.    Mengetahui lebih lanjut latar belakang munculnya perlawanan bersenjata yang dilakukan kaum perempuan terhadap penjajah, khususnya Belanda sebelum tahun 1817-1870.
2.    Mengetahui lebih mendalam faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya perjuangan gerakan feminis gelombang pertama yang ditunjukan kepada pemerintah kolonial periode 1872-1928.
3.    Mengetahui lebih mendalam faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya perjuangan gerakan feminis gelombang ke dua yang ditunjukan kepada pemerintah kolonial periode 1928-1945.
E.  Metode Penelitian
            Ilmu pengetahuan sejarah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, dimana tatanan ilmu bersifat partikularitik atau hanya mengutamakan kepentingan khusus daripada kepentingan umum. Maka dirasa perlu menggunakan metode khusus yang disebut metode sejarah atau metode penelitian sejarah sebagai satu-satunya metode yang relevan untuk penelitian sejarah.
Metode penelitian sejarah untuk menguji dan manganalisa secara kritis rekaman dari masa lampau (Gootschalk, 1986:32). Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto (1978: 17) metode prosedur kerja sejarawan dapat dikelompokkan menjadi empat tahapan yaitu : heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Secara terperinci tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.        Heuristik
Pada tahap ini penelitian yang dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah penulisan yang dilakukan di berbagai tempat, antara lain perpustakaan dan informasi yang diakses dari internat. Di perpustakaan dilakukan pengumpulan data skunder yang berasal dari buku-buku, dan tulisan lain yang berhubungan penulisan ini.
2.        Kritik atau Verifikatif
Dari sumber-sumber tersebut dilakukan pemilihan dan pemilihan, atau penyeleksian terhadap pendapat-pendapat yang ada sehingga mendapatkan sumber yang relevan dengan permasalahan pada penulisan ini. Dalam langkah ini digunakan kritik intern yang dipakai untuk menilai kredibilitas sumber dengan sisi penyusun sebagai tanggung jawab moral, sedangkan kritik eksteren untk menilai orientasi sumber sejarah. Kesemuanya itu demi menetukan generasi yang berguna dalam memahami kenyataan-kenyataan sejarah. (Nugroho Notosusanto, 1978: 17-23).
3.        Interpretasi atau Penafsiran
Dalam kegiatan ini dilakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah terkumpul serta dikritik yang selanjutnya dirinci, dibandingkan, dan dihubungkan menjadi suatu fakta yang berurutan, sistematis sebagai satu kesatuan yang harmonis dan logis.
4.        Historiografi atau Penulisan Sejarah
Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses dan prosedur penelitian sejarah. Dari fakta baru yang merupakan hasil interpretasi atau eksplanasi yang dilakukan sebelumnya, selanjutnya disusunlah konstruksi sejarah baru dengan senantiasa memperhatikan aspek-aspek historis berdasarkan tema-tema penting sehingga akan menghasilkan hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan senantiasa memihak kepada bukti-bukti yang didapatkan.
F.   Teknik Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian, dilakukan tindakan-tindakan terstruktur agar penulisan tugas akhir ini dapat terlaksana dengan baik, dimana tindakan-tindakan tersebut meliputi :
1.    Mencari dan mengumpulkan buku-buku yang bermuatan sejarah.
2.    Mencari topik yang sesuai dengan judul penelitian.
3.    Menetukan pokok masalah yang sesuai dan berkaitan denga judul.
4.    Mengklasifikasi pokok masalah yang sesuai dengan judul.
G. Teknik Pencatatan Data
Data atau kumpulan fakta atau angka atau segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan.
Tahap-tahap analisa ditentukan dengan beberapa langkah seperti berikut ini :
1.    Tahapan Pendekatan Penelitian Kepustakaan Sejarah.
2.    Menganalisa sebab kepentingan yang diperlukan agar infomasi penting dapat diperoleh.
3.    Tahap pelaksanaan atau pengumpulan data.
4.    Tahap analisa.
5.    Dari jumlah catatan dan kesimpulan dengan melakukan analisa terhadap data-data tersebut.
6.    Tahap penarikan kesimpulan.
H.  Teknik Analisa Data
Teknik analisa data digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif, yakni menguraikan dengan cermat fenomena tertentu dengan menghimpun fakta-fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotetis, dengan demikian maka teknik analisis deskriptif dalam penelitian ini di arahkan pada penggambaran profil antar konsep yang dalam hal ini adalah “Kaum Wanita dalam Kancah Perjuangan Bangsa 1817-1945”.










BAB II
HASIL PENELITIAN
A.      Perlawanan Bersenjata kaum Feminis
Jika kita mundur jauh ke belakang, peran kaum-kaum wanita dalam kancah perjuangan bangsa telah dirintis oleh Cut Malahayati dan Cut Limpah dalam upaya menerangi pengaruh Portugis di wilayah Kerajaan Aceh pada saat itu. Dua laksamana ini merupakan figur pejuang yang menginspirasi para pejuang wanita selanjutnya. (Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas). Dan lain pihak pada masa pemerintahan Mangkunegara I ketika Kerajaan Mataram Islam berjaya, pasukan prajurit perempuan telah mewarnai hidup kenegaraan Mangkunegara. Mereka adalah sosok “Wonder Woman” and “The Great Soldiers”. (Ann Kumar, 2008:5).
Berkuasanya Belanda atas Nusantara menimbulkan pederitaan dan kesengsaraan bagi penduduk bumi putera. Penderitaan demi penderitaan dan kesengsaraan demi kesengsaraan membangkitkan kebencian dan perlawanan di mana-mana. Para pemuda kerajaan-kerajaan mulai mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Memang mula-mula perjuangan mereka adalah untuk melindungi tanah pustaka nenek moyangnya, tetapi seiring dengan perkembangan waktu mereka berjuang demi tanah air yang satu tanah air Indonesia. Supaya kita mengetahu latar belakang perlawanan-perlawanan terhadap hegemoni Belanda, maka akan dipaparkan beberapa faktor pemicu perlawanan kaum feminis tersebut, sebagai berikut :
1.        Pemberlakuan Monopoli Dagang
Walaupun monopoli dagang dimulai sejak tahun 1602 seiring dengan berdirinya VOC, namun pelaksanaannya berlanjut terus hingga sekitar tahun 1900-san. Monopoli dagang sangat merugikan para petani dan para pedagang. Hal ini terjadi karena Belanda menentukan harga secara sepihak dan serendah mungkin. Monopoli diberlakukan pada barang-barang dagangan yang laku di pasar internasional seperti : pala, lada, cengkeh, dan kopi. Tanaman-tanaman tadi di pasaran Eropa dikenal dengan sebutan rempah-rempah.
2.        Pemberlakuan Sistem Tanam Paksa
Setelah Indonesia lepas dari penjajahan Inggris, kehidupan rakyat semakin menderita. Pemerintah mengalami kesulitan keuangan yang sangat parah. Maka Gubernur Jendral yang baru harus berusaha keras bagaimana caranya agar kas keuangan Belanda pulih kembali. Ternyata Van Den Bosch memiliki rencana brilian yaitu dengan cara memberlakukan politik Tanam Paksa di tanah jajahannya. Tanam Paksa mula-mula membawa angin segar bagi para petani pribumi, karena memiliki aturan yang runtut dan jelas. Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan, para petani bagaikan tikus mati di lubung padi. Hal ini terjadi karena terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap peraturan Tanam Paksa. Penyelewengan dimaksud diantaranya :
a.       Tanah petani yang diperuntukkan bagi Tanam Paksa seharusnya satu per lima bagian, tetapi pada kenyataannya hampir seluruh bagian digunakan untuk Tanam Paksa sehingga tidak memiliki tanah cukup luas untuk tanaman pokok, yang akhirnya menyebabkan kekurangan pangan.
b.      Segala kerusakan tanaman akibat serangan hama menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda, namun pada kenyataannya menjadi tanggung jawab petani.
c.       Bagi yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja di kebun Tanam Paksa milik pemerintah selama 66 hari dalam satu tahun, kenyataaannya mereka harus bekerja sepanjang tahun dan malah seterusnya dengan upah yang sangat minim, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi nafkah keluarga mereka masing-masing.
Masih banyak lagi penyelewengan Tanam Paksa yang membuat rakyat Indonesia menderita lahir dan batin. Rakyat menjadi termarjinalkan selain ulah Belanda tetapi juga karena ulah para bupati yang diberi tugas untuk mengumpulkan hasil Tanam Paksa yang menginginkan pemasukan banyak sehingga mendapat persen banyak juga. Jadi penderitaan rakyat tidak hanya dari penjajah tetapi juga dari sesama bangsa sendiri yang merupakan oknum yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. (Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas).
3.        Pemberlakuan Pajak
Pada masa pendudukan Inggris rakyat Indonesia diberatkan dengan pajak tanah dan sistem sewa tanah, tetapi ketika Belanda kembali berkuasa, sistem pajak menjadi semakin meraja rela yaitu dengan diberlakukannya pajak-pajak baru seperti pajak pendapatan, pajak pemotongan hewan, pajak pribadi, pajak perorangan, dan pajak perusahaan.
4.        Campur Tangan Belanda dalam Urusan Kerajaan.
Belanda memanfaatkan kelemahan bangsa Indonesia dalam pengaturan kerajaan, terutama dalam penetuan raja berikutnya di kerajaan tersebut. Biasanya Belanda berpura-pura membantu pihak yang lemah, kemudian meminta imbalan yang tidak setimpal dengan pertolongan yang diberikan. Pada akhirnya kerajaan jatuh ke tangan Belanda, sehingga yang menjadi raja pada kerajaan tersebut  sebagai raja boneka Belanda yang dapat diatur dan diperlakukan sekehendak Belanda. Contohnya ketika Sultan Haji berselisih dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa dari Kerajaan Banten dan penunjukkan Sultan Tamjidilah di Kesultanan Banjar di Kalimantan Tengah.(Marwati Juned dan Nugroho Notosusanto, 1980: 161).
B.        Perjuangan Gerakan Kaum Feminis Gelombang Pertama 1817-1870
a.        Perlawanan Nyi Ageng Serang
Darah pejuang mengalir dari ayahandanya, yaitu Pangeran Natapraja yang menjabat sebagai Panglima Perang pada pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengku Bowono I). sejak muda tertarik untuk mempelajari ilmu perang dan ilmu kanuragan karena terinspirasi oleh perjuangan ayahandanyadalam berperang melawan Belanda. Keikutsertaan Nyi Ageng Serangdalam melawan Belanda, memang masih terbatas karena bersifat membantu ayahandanya. Namun dalam setiap pertempuran Beliau selalu tampil dengan gagah berani, tangkas, serta memiliki daya kepemimpinan yang besar. Pertempuran melawan belanda sempat terhenti dengan diberlakukannya perjanjian Gianti tahun 1755, setelah perang berlangsung 8 tahun. Perjanjian Gianti sebenarya siasat Belanda untuk mempersempit wilayah Kerajaan Mataram dengan membagi dua wilayah kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta Hadiningrat dengan raja Paku Bowono III dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja Sultan Hamengku Buwono I. tujuan utama Belanda tentu saja supaya mudah menguasai Kerajaan Mataram secara keseluruhan.
Setelah kerajaan dibagi dua, Natapraja  pulang ke Serang dengan tetap mempertahankan pasukannya. Tindakan Natapraja sungguh tepat karena tidak berapa lama, kemudian daerahya diserbu Belanda secara mendadak. Natapraja dan putrinya bersama para penduduk bahu-membahu bertempur melawan Belanda dengan senjata seadanya, walau demikian mereka sangat gigih mempertahankan daerahnya. Karena persenjataan pasukan Natapraja kalah canggih dengan persenjataan Belanda, akhirnya Serang dikuasai Belanda dan Nyi Ageng Serang ditawan dan dibawa ke Yogyakarta. Atas campurtangan Sultan Hamengku Buwono, Nyi Ageng Serang dibebaskan dan dikembalikan ke Serang. Pada masa Perang Diponegoro Nyi Ageng Serang diangkat menjadi seorang penasihat, padahal usianya sudah mencapai 73 tahun. Karena sudah lanjut usia maka beliau mengundurkan diri, dan menghabiskan masa tuanya di rumah keluarga Natapraja di Yogyakarta hingga wafatnya tahun 1838. (Tim Sirnabaya : 2009:100)
b.        Perlawanan Martha Christina Tiahahu
Pejuang muda belia ini sungguh luar biasa, bersama ayahnya yang bernama Paulus Tiahahu beliau berjuang dengan gagah berani. Martha Christina Tiahahu tatkala menyaksikan ayahnya akan dihukum mati, Martha tidak goyah sdikit pun malah semangat juangnya semakin berkobar dengan berani ia memajukan diri untuk menggantikan ayahnya dihukum mati, walaupun pada akhirnya ditolak oleh Belanda.
Sepeninggalan ayahnya beliau mengadakan perlawanan secara bergerilnya di hutan-hutan. Tetapi sayang penduduk dapat dihasut, bahwa Martha Christina Tiahahu dianggap sudah gila oleh Belanda sehingga persembunyiannya diketahui dan beliaupun ditangkap. Bersama dengan 38 orang rekannya beliau dibuang ke Pulau jawa. Selama dalam perjalanan beliau mogok makan dan tidak mau bicara sepatah katapun. Dalam perjalanan pembuangan ke Pulau Jawa, beliau sakit dan menolak pengobatan oleh Belanda. Akhirnya beliau wafat pada tahun 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga (Nusa Ela, Hatola, dan Nusalaut). (Arya Ajisaka, 2008:13)
c.         Perlawanan Cut Nyak Din
“The Great Woman From Aceh”, itulah ungkapan yang tepat untuk pahlawan wanita yang satu ini. Cut Nyak Dien mundur setapak pun dalam perjuangan melawan Belanda. Walaupun harus kehilangan suami untuk kedua kalinya baliau tetap gigih memperjuangkan kebebasan bangsanya dari penduduk bangsa asing. Suami Cut Nyak Dien yang pertama gugur dalam pertempuran pada tanggal 29 Juni 1878 ketika sedang bertempur melawan Belanda bersama Nanta Setia sang mertua. Cut Nyak Dien sebagai anak Ulu Balang VI Mukim memiliki tanggung jawab besar terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya yang ingin bebas dari perpindahan bangsa asing.
Pada suatu peristiwa, Cut Nyak Dien sangat kecewa dengan tindakan Teuku Umar suami ke-duanya yang tiba-tiba memihak Belanda. Pada tahun 1893 Teuku Umar dilantik sebagai panglima perang dengan gelar Johan pahlawan. Dalam suasana galau beliau menyingkir ke hutan sambil menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan secara gerilnya. Ternyata tindakan Teuku Umar hanyalah siasat belaka yakni berikhtiar mendapatkan senjata untuk melawan musuh dengan senjata mesuh itu sendiri. Setelah tiga tahu bekerja pada Belanda, Teuku Umar menyatakan dirinya tidak terikat lagi dengan Belanda dan ia membawa lari 800 pucuk senapan, peralatan perang dan sejumlah uang yang membuat gembar pemerintah Belanda di Batavia. Atas peristiwa ini Belanda tentu tidak tinggal diam, Belanda pun mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Van Heutz. Setelah Teuku Umar bergabung kembali dengan Cut Nyak Dien, pasukan mereka terus dikejar-kejar Belanda. Akhirnya pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien bertahan di Meulaboh, sehingga terjadilah pertempuran sengit yang mengakibatkan Teuku Umar gugur dalam pertempuran tersebut. Lengkap sudah penderitaan Cut Nyak Dien, tetapi ia puas karena pada akhirnya Teuku Umar berbalik dan berjuang untuk Aceh. Dalam usianya yang merayap lanjut beliau tetap gigih barjuang melawan Belanda secara bergerilnya dari hutan ke hutan.
Adapun Pang Laot seorang pengawal setia Cut Nyak Dien, ia tidak sampai hati melihat pemimpinnya yang sudah uzur dan sakit-sakitan itu tetap memimpin gerilnya di hutan. Maka ia berdialog dengan Van Vuuren pemimpin pasukan Belanda agar melawan Cut Nyak Dien, tetapi harus diberlakukan dengan baik. Van Vuuren menyanggupi, dan atas petunjuk Pang Laot, Cut Nyak Dien disergap di tempat persembunyiannya. Tentu saja beliau sangat marah kepada Pang Laot, tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan itu beliau berusaha melawan, menyadari lawan yang dihadapinya sangat kuat beliau serta merta mencabut rencongnya untuk bunuh diri, namun dapat dicegah oleh seorang serdadu Belanda. Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Beliau ditempatkan di sebuah rumah, dan dihormati sebagai orang merdeka serta diberi pengobatan bagi penyakitnya sesuai dengan janji Van Vuuren.
Pada masa resesnya baliau banyak menerima tamu untuk mendapat nasihat dari beliau. Belanda sangat cemas dengan keadaan ini. Belanda kuatir keadaan ini akan membangkitkan kembali perlawanan terhadap Belanda, maka dengan tuduhan membuat permufakatan untuk melawan Belanda, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang Jawa Barat. Beliau harus menjalani masa pembuangan sampai meninggal disana dengan status sebagai tawanan. Cut Nyak Dien boleh mati, tetapi semangatnya tetap menggelora di setiap lubuk hati para pemuda sebagai pewaris perjuangan selanjutnya. (Tim Sirnabaya, 2009:5)
d.        Perlawanan Cut Meutia
“Satria Wanita di Rimba Pasai”, itulah julukan paling tepat untuk wanita pejuang yang gagah berani dari Tanah Rencong ini. Beliau adalah putri dari Teuku Ben Daud seorang pejuang Aceh yang telah malang melintang dalam pertempuran melawan Kompeni Belanda yang mereka sebut Kafe. Keinginan Cut Meutia untuk terjun kemedan perang diungkapkannya ketika masih muda belia, namun ayahnya mencegah selain karena alasan keadaan juga alasan adat dan agama. Ayahnya menghendaki agar Cut Meutia menikah dahulu supaya ada yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya. Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, setelah menikah dengan seorang yang bernama Teuku Muhammad yang juga dikenal dengan Teuku Cik Tunong, Cut Meutia terjun ke medan laga bersama suaminya.

Cut Meutia bersama sang suami bahu-membahu berjuang mengusir penjajah dengan berbagi cara, mulai dengan penyergapan terhadap patroli-patroli Belanda, sabotase-sabotase, dan terutama dengan bergerilnya dari hutan ke hutan, seperti yang dilakukan oleh para pendaluhunya. Pada tanggal 25 Januari 1905 Peutua Dullah dan anak buahnya menyerang serdadu Belanda, tetapi sebelum penyerangan dilakukan Peutua Tunong melapor dan memohon petunjuk dahulu dari Teuku Cik Tunong. Pasca penyerangan Belanda mengadakan pembersihan, dari hasil penyelidikan ternyata Teuku Cik Tunong terlibat didalamnya. Teuku Cik Tunong pun ditangkap dan kemudian dihukum mati. Cut Meutia mengambil alih peran suaminya. Dengan keberanian luar biasa wanita itu bergerilnya untuk mencegat dan menghadang patroli pasukan Belanda di Aceh pedalaman. Hal ini tentu menimbulkan kerugian dipihak Belanda. Sedangkan Cut Meutia dapat melepaskan diri dengan berpindah-pindah tempat.
Setelah beberapa saat menjanda, beliau menikah dengan Pang Nangru sahabat dekat dan orang kepercayaan suaminya terdahulu. Pasangan suami istri baru ini bahu-membahu dalam berjuang mangusir panjajah. Pasukan Cut Meutia dan Pang Nangru sering mengacaukan patroli Belanda sehingga mereka lari kocar-kacir. Dalam suatu pertempuran melawan tentara Belanda pada taggal 26 September 1910 Pang Nangru tewas tertembak. Cut Metuia memimpin sisa pasukannya yang tinggal sedikit dengan 13 pucuk senjata, terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Wanita gagah berani itu tetap setia dengan perjuangan sucinya guna mengeyahkan pasukan penjajah dari tanah tumpah darahnya, sekalipun pihak keluarganya terus membujuk untuk turun gungu dan menyerah. Satu tekad tampaknya telah memenuhi rongga dada Cut Meutia, yaitu tak ada kata menyerah.
Untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar, Beliau memindahkan pasukannya ke Gayo dan bergabung dengan pasukan Teuku Seupot Mata. Pada saat pasukannya sedang beristirahat, tiba-tiba pasukan Marsose dibawah pimpinan Christoffel menyerang. Pertempuran berlangsung seru di Alue Kurieng pada tanggal 24 Oktober 1910, seolah tiak ada kata mundur lagi Cut Meutia, dengan pedang terhunus Beliau menyerang musuh dan membawa banyak korban. Tetapi akhirnya beberapa butir peluru menewaskannya. Beliau sebagai kusuma bangsa.(Teuku H. Ismail Yakub, 1979: 168)
C.      Perjuangan gerakan Kaum Feminis Gelombang Kedua 1872-1928
Tahap perjuangn gelombang kedua ini tidak lagi dengan kekuatan bersenjata, tetapi melalui jalur pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan budaya yaitu dengan memajukan pendidikan bagi penduduk bumi putera, khususnya bagi kaum wanita. Perjuangan kaum feminis ini sejalan dengan polotik balas budi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Berikut ini beberapa pejuang feminis yang berjuang untuk membebaskan kaumnya dari penindasan dan kebodohan. Para pejuang gerakan feminis periode ini, menghendaki bahwa kaum perempuan jika ingin maju maka harus memperoleh pendidikan,layaknya pendidikan yang diterima oleh kaum laki-laki.
a.         Perjuangan Raden Ajeng Kartini
Pendidikan adalah kunci utama kemajuan. Setiap orang sesungguhnya berhak mendapatkan pendidikan karena setiap orang juga berhak untuk maju. Pendidikan tidak mengenal jenis kelamin. Selaku manusia, pria maupun wanita tidak ada bedanya dalam menuntut dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Namun jika ada salah satu yang dianaktirikan , jelas ada sesuatu yang salah di sana. Sepertinya begitulah gambaran yang dialami Raden Ajeng Kartini, dan bagi Kartini, ‘sesuatu’ itu amat beratuntuk ia lawan. ‘Sesuatu’ itu bernama adat-istiadat yang sangat kukuh dipegang masyarakat. Apalagi ia adalah seorang putri bangsawan Jawa diharapkan bisa menjadi contoh serta teladan kelanjutan adat-istiadat yang sesungguhnya membelengu dirinya sendiri.
Raden Ajeng Kartini lahir di Rembang, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879, putri dari Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat. Walaupun ayahnya seorang Bupati yang moderat, dan memungkinkan Kartini dapat sekolah lebih tinggi, tetapi adat-istiadat yang berlaku di masyarakat pada saat itu harus ditaati baik oleh seluruh rakyat maupun pemimpinnya, membuat Kartini harus berhenti sekolah pada usianya ke-12 tahun. Sejak usia 12 tahun itu gadis-gadis Jawa harus menjalani masa pingitan sampai usia menjelang pernikahan. Ia akan membentuk kaluarga baru, dan kelak jika mempunyai anak perempuan, ia pun akan menerapkan ‘sistem’ itu guna melestarikan adat-istiadat leluhur. Padahal Kartini memiliki cita-cita luhur yaitu ingin menjadi seorang guru. Selama masa pingitan itu R.A Kartini hanya boleh ‘berteman’ dengan buku. Namun justru karena ‘teman’-nya itu wawasan dan pengetahuannya malah semakin luas terbuka. Malahan ia menjadi mengerti bahwa adat-istiadat yang harus dipatuhi itu berlawanan dengan kodratnya sebagai manusia. Ia sangat yakin, Tuhan tidak pernah sekali-kali salah menciptakan dirinya sebagi manusia berjenis kelamin wanita, yang jelas salah adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bernama manusia yang menciptakan adat-istiadat itu. Adat-istiadat yang membuat cita-citanya menjadi guru taksana menyentuh langit, Bak  Pungguk Merindukan Bulan. Kartini gelisah berkepanjangan, ia tidak mau mempermalukan orang tuanya karena mendobrak adat-istiadat yang membeengunya.
Segala hal yang meresahkan hatinya, segala yang memenuhi benak dan pikirannya serta segala yang dirasakannya dengan kodratnya sebagai wanita Jawa ia ungkap melalui surat-surat yang lantas dkirimkannya kepada teman-tenan Belandanya. Abendanon, Van Kol, Stella, Beecher Stowe, Zeehandelaar dan yang lainnya merupakan teman-teman Kartini yang begitu baik, memberi semangat untuk selalu menggelorakan cita-citanya. Dalam masa pingitan Kartini memang sempat ‘melawan’ papar kuat itu. Perlawanannya ditunjukkannya dengan membuka sekolah bagi anak-anak perempuan yang tinggal disekitar kediamannya. Ia mengerti amat banyak perempuan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan. Diajarinya anak-anak perempuan itu membaca, berhitung, bernyanyi, menulis, memasak, menjahit, dan aneka keterampilan layaknya yang bisa didapatkan di sekolah. Ia sangat senang dapat berbuat demikian. Kepuasannya menjadi ‘guru’ sejenak mengobati kerinduannya untuk menjadi guru yang sesungguhnya.
Pada waktu persiapan pernikahannya, Kartini mendapat jawaban dari Belanda, bahwa permohonan untuk belajar di negeri Belanda dikabulkan dengan mendapat beasiswa sebesar F. 40800 (empat ribu delapan ratus gulden). Kartini terpaksa membatalkan niatnya, tetapi kesempatan tidak disia-siakan begitu saja, ia menunjuk pemuda Agus Salim sebagai penggantinya. Namun sayang Agus Salim tidak tahu-menahu soal surat penunjukkan itu sehingga dia tidak pergi belajar ke negeri Belanda. Raden Ajeng Kartini adalah seorang yang berjiwa besar, walaupun ia menyadari akan darah kebangsawanannya, tetapi ia memiliki jiwa kerakyatan dan dapat menyelami kehidupan rakyat kecil. Ia berusaha menolong para pengukir kayu dengan jalan memberi pekerjaan bagi mereka dan memikirkan pemasarannya ke kota-kota besar. Dengan usaha Kartini ini, ukiran kayu jati dari Jepara terkenal kemana-mana.
Setelah pernikahannya dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, Kartini mulai dengan masa barunya bagi dunia pendidikan wanita, dengan mendiikan sekolah-sekolah. Ia tidak rela kaumnya tetap terbelakang. Dalam sebuah kesempatan Kartini mengungkapkan, :Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita itu memang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat, Wanitalah orang yang sangat tepat pada tempatnya”.
Sayang usia Kartini tidak sepanjang angan-angan dan harapannya, tiga hari setelah melahirkan puteranya yang sulung, Kartini kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta dalam usianya yang terbilang sangat muda, 25 tahun, ia meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904. Raden Ajeng Kartini telah tiada, keinginannya untuk melompati pagar kuat yang bernama adat-istiadat itu kini telah diwakili perempuan-perempuan Indonesia, yang sudah berpikiran maju dan dinamis. Habis Gelap Terbitlah Terang benar-benar menjadi kenyataan. Kondisi ‘gelap’ yang dialami Kartini telah berubah terang-benderang bagi perempuan-perempuan Indonesia kini. Itulah jasa besar Kartini yang tidak mungkin dilupakan oleh wanita-wanita Indonesia yang menjadi bebas sebebas-bebasnya untuk meraih apapun yang menjadi cita-citanya. (Tim Sirnabaya, 2009: 106), (Armijn Pane, 1990: 11).

b.        Perjuangan Maria Walanda Marawis
Nama lengkapnya adalah Maria Yosephine Chatarine Maramis, lahir di Kema, Sulawesi Utara, pada tanggal 1 Desember 1872. Ia telah yatim piatu pad usia 6 tahun, sehingga harus tinggal bersama pamannnya. Walaupun hanya bersekolah sampai Sekolah Dasar (HIS), namun Maria memiliki cita-cita amat tinggi nan mulia yaitu ingin memajukan kaumnya. Ia akrab dengan salah satu keluarga pendeta Belanda, Ten Hoeven di Maumbi. Pendeta tersebut berwawasan luas di bidang pendidikan, sehingga mempengaruhi jiwa Maria.
Pada tahun 1890 Maria menikah dengan Yoseph Frederick Calusung Walanda, seorang guru di Manado. Selain atas bantuan sang suami dan berkat pergaulannya dengan kaum terpelajar, membuat Maria semakin bergairah mewujudkan cita-citanya yaitu memajukan kaumnya melalui pedidikan . pada tahun 1917 Maria bersama beberapa teman membentuk organisasi yang bertujuan untuk memajukan kaum wanita dan diberi nama “Pencintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya” disingkat “PIKAT”. Dalam rapat terbuka Maria memperkenalkan dan menganjurkan kepada ibu-ibu terkemuka di daerah lain agar mendirikan cabang “PIKAT”.
Meria bekerja sekuat tenaga, dengan jalan surat-menyurat ia dapat membuka cabang-cabang PIKAT di  Minahasa, Jawa, dan Kalimantan. Pada tanggal 2 Juli 1918 PIKAT mendirikan sekolah rumah tangga untuk gadis-gadis, yaitu “HUISGOUD SCHOOL PIKAT” di Manado. Gedung dan peralatan sekolah termasuk asrama pelajar PIKAT mendapat bantuan dari mereka yang mebaruh simpati, baik berupa pinjaman maupun berupa sumbangan. Pada tahun 1920, Gubernur Jenderal Belanda Van Limburg Stirum mengadakan kunjungan ke sekolah PIKAT, karena tertarik terhadap usaha itu, ia menyumbang uang sebesar 40.000 gulden.
Pada tahun 1932 PIKAT mendirikan “Opleiding Svhool Var Vak Onderwijs Zeressen (Sekolah Guru Puteri Kejuruan). Maria menuntut supaya kaum wanita mendapat hak yang sama dengan laki-laki. Ia juga menginginkan agar wanita diberi tempat dalam urusan politik, seperti duduk dalam keanggotaan Dewan Kota dan Volksraad (Dewan Rakyat). Dalam rapat-rapat cabang, Maria tidak jemu-jemunya menggerakkan hati kaum wanita untuk lebih giat memajukan kaumnya. Kepercayaan pada diri sendiri dan jiwa kebangsaan ditanamkan kepada kaumnya. Ia menganjurkan kepada teman-temannya agar selalu berpakaian daerah dan kebaya putih dan kalau berpidato sedapat mungkin mempergunakan bahasa Indonesia. “Pertahankan Bangsamu”, kata-kata itu selalu didengung-dengungkan baik kepada putra-putrinya maupun kepada teman-temannya. (KOWANI, 1978:9)
c.         Perjuangan Dewi Sartika
Gaung cita-cita Kartini semakin jauh terdengar hingga ke Jawa Barat. Seperti halnya Kartini Dewi Sartika pun merupakan keturunan bangsawan yang berpikiran maju. Dewi Sartika yang dikenal sebagai “Juragan Dewi” adalah putri dari Raden Somanagara dan Raden Ayu Raja Pernas yang penah menjadi Patih di Bandung pada saat itu. Sejak umur belasan tahun ia sudah bercita-cita untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak gadis dari golongan bangsawan dan rakyat jelata. Hanya dengan bekal pendidikan sekolah rakyat biasa selama 3 (tiga) tahun serta semangat yang menyala-nyala ditambah dengan dorongan Bupati Bandung R. A. A. Martanegara dan seorang warga negara Belanda Tuan Den Hamer (Inspektur Kantor Pengajaran), maka pada tanggal 6 Januari 1904 terlaksanalah sebagian kecil dari cita-citanya yaitu dengan dibukanya sekolah bagi anak-anak gadis yang diberi nama “Sekolah Istri”.
Dalam tahun 1910 perkembangan menuntut perubahan nama dari  “Sekolah Istri” menjadi “Sekolah Keutamaan Istri” yang diharapkan menghasilkan murid-murid yang kelak merupakan orang yang siap menghadapi tantangan rumah tangga setelah menikah. Usaha Dewi Sartika dengan sekolahnya itu menarik perhatian wanita lain di beberapa kabupaten antara lain di Garut, Tasikmalaya, dan Purwakarta. Di kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat serta-merta bermunculan sekolah “Keutamaan Istri”. Pengaruh ini bahkan menjalar sampai Sumatera, sehingga beberapa gadis dari sana berdatangan ke sekolah Dewi Sartika untuk menuntut ilmu, supaya tidak tertinggal oleh teman-teman mereka di Pulau jawa yang jauh selangkah.
Tahun demi tahun “Sekolah Keutamaan Istri” ini bertambah banyak peminatnya. Pada tahun 1929 atas usul Dewi Sartika kepada pemerintah, didirikan sebuah gedung baru yang diberi nama “Sekolah Raden Dewi”. Sampai akhir hayatnya Dewi Sartika masih terus berjuang dalam bidang pendidikan, terutama memajukan sekolah-sekolah yang didirikannya. (KOWANI, 1978: 10)
d.        Perjuangan Nyai Achmad Dahlan
Nyai Achmad Dahlan, nama kecilnya Siti Walidah adalah putri Kyai Muhammad Fadhli, Penghulu Keraton Yogyakarta. Suaminya Kyai Haji Achmad Dahlan, seorang pendiri Muhammadyah. Antara Nyai Achmad bersama suaminya seiring sejalan yakni keduanya aktif dalam kegiatan organisasi. Sang suami mengurusi organisasi pokok Muhammadyah yang berdiri pada tahun 1912, sedangkan sang istri mengurusi bagian wanitanya, yaitu “Sopo Tresno” yang didirikan pada tahun 1914, dua tahun setelah Muhammadyah didirikan. Pada tahun 1917 “Sopo Tresno” berubah nama menjadi Aisyiyah. Nyai Achmad Dahlan dengan setia dan tabah senantiasa menghadapi dan memberi dorongan kepada suaminya dalam membina dan mengembangkan Muhammadyah. Oleh sebab itu beliau disebut ibu Muhammadyah.
Sekalipun pendidikan beliau terbilang rendah, namun beliau menunjukkan kepemimpinan dan kewajiban yang besar. Pada tahun 1926, sidang khusus Aisyiyah dalam Muktamar Muhammadyah ke-15 yang dipimpin oleh Nyai Achmad Dahlan telah mempergunakan bahasa melayu (Indonesia) di samping bahasa daerah. Dua tahun kemudian dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia  diikrarkan menjadi bahasa persatuan. Ketika Kongres Perempuan Indonesia Pertama digelar pada tanggal 22-25 Desember 1928, Aisyiyah merupakan salah satu pemrakarsa peristiwa besar itu.
Dalam Tablig Akbar di Purwokerto, beliau mendorong tumbuhnya Kepanduan Muhammadyah yang bernama Hizbul Waton  di bawah pimpinan Sudirman.(yang kemudian menjadi Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia). Nyai Achmad Dahlan adalah pelapor berdirinya Pondok Pesantren untuk putri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita. Du samping itu beliau mendirikan sekolah-sekolah umum yang sekarang tersebar di seluruh tanah air. (KOWANI, 1978: 11)
e.         Perjuangan Hj. Rangkayo Rasuna Said
Rasuna Said adalah putri dari Haji Muhammad Said, yang lahir pada tanggal 18 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Sejak duduk di sekolah desa, bakat kepemimpinan dan kecerdasannya menonjol, serta keberanian yang mengagumkan. Hal ini tentu didasari oleh ketaatan beragam yang diyakini dan selalu mewarnai kehidupannya semenjak ia masih kecil. Ia berani mengutarakan kebenaran dan berani pula menanggung resikonya. Pendidikanya kemudian dilanjutkan ke Diniyah School, Huishoud School (Sekolah Rumah Tangga), Tawalib dan Islamic College. Di samping itu ia juga berguru kepada ulama-ulama muda di Sumatera Barat. Rasuma Said sebagai penganut Islam yang modern, mempunyai pendangan sesuai dengan kebangkitan dunia Islam, yaitu melaksanakan ajaran agama secara konsekuen, tetapi juga mengikuti kemajuan dunia lahiriah sesuai dengan hakiki murni dari ajaran-ajaran tersebut.
Rasuna Said tidak hanya berpolitik semata-mata, namun juga langsung berkiprah dalam bidang pendidikan bangsanya. Usaha pendidikan yang ia prakarsai antara lain, Kursus pemberantasan buta huruf dengan nama sekolah “Menyesal” dan Sekolah Thawalib Rendah, dimana ia sendiri mengajar di “Sekolah Thawalib Putri”. Pada tahun 1926 Rasuna Said menjadi anggota pengurus Serikat Rakyat yang kemudian berganti nama menjadi PSII. Tahun 1930 Sekolah Thawalib membentuk PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) yang berkembang dengan pesat. Rasuna Said memilih PERMI sebagai wadah perjuangannya, selain bergerak dalam dunia pendidikan, PERMI juga menjadi kendaraan politik untuk mengkritik pemerintahan kolonial Belanda. Belanda cerdas, dan mencari jalan untuk menangkap pemimpin-pemimpin PERMI.
Dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak, pada tahun 1932 ia dijatuhi hukuman penjara satu tahun dua bulan, di penjara Bulu Semarang. Pemimpin-pemimpin lainnya juga mengalami nasib yang sama sehingga akhirnya PERMI membubarkan diri. Setelah menjalani hukuman Hj. R. Rasuna Said tetap mengembangkan pendidikan guru agama Islam dan Kader kepemimpinan PERMI. Selain itu ia juga menjadi pemimpin Redaksi Majalah “Raya” yang terkenal dengan tulisannya yang tajam dan berani sehingga mampu membawa cita-cita dan melanjutkan perjuangannya disana. Di kota Medan inilah ia mendirikan “Perguruan Puteri” dan menerbitkan majalah “Menara Puteri” yang berhasil membawa suara perjuangan kaum wanita dengan tujuan kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Semboyan terkenal yang selalu digelorakannya adalah “Ini dadaku, mana dadamu !”.(Tim Sirnabaya, 2009: 59)
D.      Perjuangan gerakan kaum Feminis Secara Diplomasi 1928-1945
Politik etis adalah pedang bermata dua. Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya rakyat Hindia Belanda, serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari rakyat tanah jajahan. Biaya kapitalisme tanah jajahan terus ditekan, terlalu mahal menggunakan tenaga impor dari Belanda. Ternyata maksud tersebut sedikit meleset, dengan dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elit pribumi dan golongan ningrat kelas dua, menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat. Dimana para pemuda pelajar tersebut nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional. Para pemuda kita pun berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini.

Pencerahan menggugat orang-orang muda terpelajar untuk berkumpul, bicara, berdiskusi dan menentukan arah perjuangan bangsa. Walau masih samar namun melalui organisasi-organisasi kebangsaan yang sudah termasuk dimana kaum wanita ikut aktif di dalamnya, nuansa kebangsaan Indonesia mulai terasa. Terlebih dengan dicetuskannya Kongres Pemuda II dan menghasilkan sebuah ikrar pemuda yang disebut Sumpah Pemuda. Perjuangan yang bernuansa ke-Indonesia-an telah menjadi urat nadi perjuangan. Organisasi-organisasi pergerakan nasional merupakan wadah yang turut memberi kelancaran dalam perjuangan kauam feminis untuk mewujudkan cita-cita luhurnya yaitu Hak Emansipasi yakni keinginan untuk mendapatkan persamaan hak dan kebebasan baik dari kungkungan adat maupun sistem yang berlaku sehingga mereka dapat mengaktualisasikan dirinya. Degup semangat Sumpah Pemuda telah melahirkan organisasi-organisasi perintis pergerakan wanita yang memberi kesadaran nasional. (Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas dengan berbagai perunbahan)
a.        Organisasi Perintis Pergerakan Wanita Indonesia
Kesadaran nasional yang telah bangkit dan meluas pada kaum wanita, tidak saja di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Sulawesi, Ambon, dan lain-lain. Adanya bagian wanita pada organisasi/partai politik yang telah ada pada saat itu, menjadi wujud nyata sumbangsih Kaum Wanita Dalam Kancah perjuangan bangsa ini secara diplomasi. Adapun organisasi-organisasi perintis pergerakan wanita tersebut diantaranya :

No
Nama Organisasi Perintis
Pergerakan Wanita
1
Puteri Mardika
10
Wanito Susilo
2
Kartini Found
11
Puteri Budi Sejati
3
Keutamaan Istri
12
Wanito Melayu
4
Kerajinan Amai Setia
13
Aisyiyah
5
Pawiyatan Wanita
14
PIKAT
6
Wanito Rukun Santoso
15
Gorontaloche Mohammedaace
7
Budi Wanita/Wanitotomo
16
Wanita Katolik
8
Purborini
17
INA TUNI
9
Wanito Hadi
18
PERTI
(KOWANI, 1878)

b.        Perintis Pers Wanita
Bersamaaan dengan munculnya organisasi wanita, maka wanita Indonesia menerbitkan majalah dan surat kabar wanita yang berfungsi sebagai penyebar gagasan kamejuan wanita dan sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran.
Pada tahun 1909 terbit PUTRI HINDIA di bandung, yang diterbitkan dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo dan kawan-kawan. Di Padang pada tanggal 10 Juli 1912 terbit surat kabar SUNTING MELAYU, yang terbit tiga kali seminggu. Pemimpin redaksi surat kabar ini adalah Rohana Kudus. Sunting Melayu merupakan pusat kegiatan pemuda putri maupun wanita yang telah bersuami, bersi politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia, dan cara menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Pada tahun 1913 di Pacitan terbit surat kabar WANITO SWORO pemimpin Siti Sundari, yang mula-mula terbit dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu. Setahun berikutnya 1914 terbit PUTRI MARDIKA di Jakarta, sebagai majalah bulanan. Artikel-artikenya tertulis dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. PUTRI MARDIKA berhaluan maju, dimana masalah berpaduan, pendidikan campuran laki-laki dan perempuan, pemberian kelonggaran bergerak kaum putri, kesempatan pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain merupakan bahan pendekatan. Pada tahun 1918 terbit Edisi Sunda di Bandung dengan nama PENUNTUN ISTRI. Selain itu di Semarang terbit ISTRI UTOMO, sedangkan di Padang terbit SUARA PEREMPUAN, dengan pemimpin redaksi Nona Saadah. Di Medan terbit PEREMPUAN BERGERAK dibawah pimpinan redaksi Ny. Satiaman Parada Harahap, pada tahun 1920, yang kemudian dibantu oleh Rohana Kudus.
Sebagian besar pengarang dan pembantu surat kabar dan majalah wanita itu adalah guru-guru wanita yang telah mendapat pendidikan secara Barat. Dengan demikain usaha pengajaran praktis di sekolah dikembangkan dengan penyebarluaskan usaha-usaha perbaikan kedudukan wanita dalam masyarakat. Pada masa itu guru wanita merupakan kaum elit di bidang kebudayaan. Disamping itu terbit majalah bulanan PIKAT di Manado, SUARA AISYIYAH 1925 di Yogyakarta, dan ISTRI MARDIKA dalam bahasa Sunda di Bandung. Peranan Pers Wanita ini sangat besar dalam upaya mempersiapkan terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia Pertama 22-25 Desember 1928.
c.         Organisasi Pemrakarsa Kongres Perempuan Indonesia Pertama
Berikut ini adalah organisasi-organisasi wanita yang bertindak sebagai pemrakarsa Kongres Perempuan Indonesia Pertama :



No
Nama Organisasi Pemrakarsa

Kongres Perempuan Indonesia I
1
Wanito Utomo
5
Jong Islamieten Bond Dames
Afdeeling (JIBDA)
2
Wanita Taman Siswa
6
Putri Indonesia
3
Aisyiyah
7
Jong Java Afdeeling
4
Wanita Katolik








d.        Kongres Perempuan Indonesia Pertama
Sesudah berlangsung nya Kongres Pemuda ke dua pada tanggal 28 Oktober 1928, atas inisiatif 7 (tujuh) organisasi perintis pergerakan wanita Indonesia, diselenggarakan “Kongres Perempuan Indonesia” yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi pergerakan wanita Indonesia, dimana organisasi wanita mewujudkan untuk kemajuan kaum wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia dalam masa tersebut ialah berazaskan kebangsaan dan menjadi bagian dalam pergerakan kebangsaan Indonesia,
Kesatuan Perempuan Indonesia tidak bersifat feminis dalam arti konfrontatif terhadap kaum pria, tetapi pergerakan wanita mengutamakan kerja sama,karena menyadari untuk menghadapi penjajah dan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, diperlukan persatuan.
Kongres Persatuan Indonesia tidak menjalankan politik aktif sebagai suatu partai,namun setiap kegiatan senantiasa sejalan dengan pergerakan kebangsaan Indonesia. Hal ini tampak antara lain ketika Kongres Perempuan Indonesia mendukung aksi GAPI (Gerakan Politik Indonesia) menuntut “Indonesia Berpalermen” dan menolakan GAPI terhadap “Ordonasi wajib militer terbatas”(militie plitch terbatas).
Kesatuan pergerakan wanita dalam masa penjajahan banyak mengalami rintangan karena berada dalam situasi masyarakat  yang dualistik. Di satu pihak penjajah berusaha menekan rasa kebangsaan dan pihak lain pergerakan Indonesia membangkitkan dan memupuk rasa kebangsaan dengan demikian perjuangan pergerakan wanita Indonesia pada masa itu meliputi 2 (dua) hal:
1.        Berjuang bersama-sama kaum pria menuju cita-cita kemerdekaan.
2.        Meningkatkan kedudukan wanita dalam bidang pendidikan, sosial,dan kebudayaan.
Berikut ini adalah susunan pengurus Kongres Perempuan Indonesia pertama yang berlangsung di kota Yogyakarta mulai tanggal 22-25 Desember 1928:
Ketua              : Ny.R.A. Soekonto (Wanita Utomo)
Wakil Ketua    : Ny. Siti Mundjilah (Aisyiyah)
Penulis 1          : Nn. Siti Sukaptinah (Ny. Suaryo Mangunpuspito) (JIBDA)
Penulis 11        : Nn. Sunarjati (Ny. Sukemi) (Putri Indonesia)
Bendahara 1    : Ny. Haryodiningrat (Wanita Khatolik)
Bendahara 11  : Nn.R.A. Sujaitan (Ny.Kartowijono) (Putri Indonesia)
Anggota          : Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa)
Anggota          : Ny. Driyowongso (Wanita PSII)
Anggota          : Ny. Muridan Noto (Wanita PSII)
Anggota          : Ny. Umi Salamah (Wanita PSII)
Anggota          : Ny. Johanah (Aisyiyah)
Anggota          : Nn. Badiah Mujarti (Jong Java Dames Afdeeling)
Anggota          : Nn. Hajinah (Ny,Mawardi) (Aisyiyah)
Anggota          : Nn.Ismudijati (Ny.A.Saleh) (Wanito Utomo)
Anggota          : Ny.R.A. Mursandi (Wanita Khatolik)
            Tujuan yang ingin dicapai melalui Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini adalah sebagai berikut:
1.        Supaya menjadi pertalian antara perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia.
2.        Supaya dapat bersama-sama membicarakan soal-soal kewajiban, keperluan,dan kemajuan wanita.
Keputusan-keputusan yang di hasilkan dalam kongres Perempuan Indonesia
Pertama adalah sebagai berikut:
1.    Mendirikan badan federasi bersama “Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia” (PPPI).
2.    Menerbitkan surat kabar, yang redaksinya dipercayakan kepada pengurus PPPI : anggota-anggota redaksi terdiri atas : Nyi Hadjar Dewantara, Nn. Hajinah, Ny.Ali Satroamidjojo, Nn. Ismudijati, Nn.Badiah, dan Nn Sunarjati.
3.    Mendirikan studiefounds yang akan menolong gadis-gadis yang tidak mampu.
4.    Memperkuat pendidikan kepanduan putri.
5.    Mencegah perkawinan anak-anak.
6.     Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolenial agar:
a.         Secepatnya diadakan founds bagi janda-janda dan anak-anak.
b.         Tunjangan bersifat pensiun (onderstand) jangan dicabut
c.         Sekolah-sekolah putri di perbanyak
7.    Mengirimkan mosi kepada Raad Agama agar tiap talak dikuatkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama.
Kongres perempuan Indonesia pertama di hadiri oleh kurang lebih 30 organisasi wanita, yang terdiri atas:
No
Organisasi Wanita Peserta KPIP
No
Organisasi Wanita Peserta KPIP
1
Putri Sejati (Surabaya)
16
Sarekat Istri Buruh Indonesia
2
Putri Indonesia (Surabaya)
17
Hoofdbestuur Aisyiyah
3
Wanita Katolik (Solo)
18
Sancoyo Rini (Solo)
4
Rukun Wanodiyo (Jakarta)
19
Aisyiyah (Solo)
5
Wanita Sejati (Bandung)
20
Wannito Utomo (Mataram)
6
Putri Indonesia (Mataram)
21
Wanito Mulyo (Mataram)
7
Darmo Laksmi (Salatiga)
22
Wanita Taman Siswa (Mataram)
8
Budi Rini (Malang)
23
Panti Krodo Wanito ( Mataram)
9
Margining Kautaman, Kayoran
(Jakarta)
24
Wanita Katolik, Mataram
(Yogyakarta)
10
Karti Woro (Solo)
25
Jong Islamieten Bond (Mataram)
11
Budi Wanito (Solo)
26
Jong Java (Jakarta)
12
Jong Java (Mataram)
27
Jong Islamieten Bond (Tegal)
13
Jong Java (Salatiga)
28
Natdatul Faat (Kudus)
14
Jong Islamieten Bond (Jakarta)
29
Istri Sumatera
15
Wanito Kencono (Banjarnegara)
30
Kesumo Rini (Kudus)

PPPI sebagai badan federasi bersama yang dibentuk pada tanggal 25 Desember 1928 memiliki usaha-usaha sebagai berikut :
1.    Mengadakan Kongres pada setiap tahun untuk memperbincangkan kedudukan wanita Indonesia.
2.    Menerbitkan surat kabar yang merupakan sarana untuk memperbincangkan soal-soal wanita.
3.    Menjadi hakim pemisah untuk mendamaikan anggota-anggota yang berselisih.
4.    Tempat kedudukan pengurus PPPIP ditetapkan menurut jumlah banyaknya anggota.
5.    Susunan pengurus PPPIP tahun 1928 sampai dengan Kongres PPPIP tahun 1929 adalah sebagai berikut :
Ketua                   : Ny. R. A. Sukanto
Wakil Ketua         : Nn. R. A. Sujatin (Ny. Kartowijono)
Penulis I               : Nn. Siti Sukaptinah (Ny. Sunaryo Mangunpuspito)
Penulis II              : Nn. Mugarumah
Bendahara            : Ny. R. A. Hardjodiningrat
Komisaris             : Nyi Hadjar Dewantara
Komisaris             : Nn. Siti Mudjijah
            Antara Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada tahun 1928 dan Kongres Perempuan Indonesia Ke Dua 1935, telah berlangsung Kongres-Kongres PPPI/PPII sebanyak (empat) kali Kongres, (Kongres PPPI tahun 1929, Kongres PPII tahun 1930, Kongres PPII tahun 1932 , dan Kongres PPII tahun 1933), yaitu:
1.    Kongres PPPI tahun 1929 di Jakarta
Kongres ini diadakan di Jakarta, mulai tanggal 28-31 Desember 1929, dipimpin oleh Ny. R. A. Sukonto dan dihadiri oleh wakil-wakil organisasi, anggota PPPI.
Maksud dan tujuan diadakannya Kongres “Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia” (PPPI), sebagai berikut :
a.    Supaya menjadi pertalian antara perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia.
b.    Supaya dapat bersama-sama membicarakan soal-soal kewajiban, keperluan, dan kemajuan wanita.

Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam Kongres PPPI tahun 1929, diantaranya :
a.    Perubahan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglement), antara lain :
-          Nama “Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia” diganti menjadi “Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia” (PPPI).
-          Keanggotaan (Pasal 3), yang menjadi anggota PPII adalah Pusat Organisasi bukan cabang-cabang.
b.    Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial agar ada undang-undang yang melarang pergundikan.
c.    Pengurus PPII yang baru tetap berkedudukan di Mataram – Yogyakarta.
d.   Studiesfounds PPII dinamakan “Seri Derma”.
e.    Surat Kabar “Istri” diterbitkan di Jakarta.
f.     Susunan pengurus PPPI tahun 1928 sampai dengan Kongres PPII tahun 1929-1930 adalah sebagai berikut :
Ketua              : Ny. R.A. Sukonto
Wakil Ketua    : Nn. R.A. Sujatin (Ny. Kartowijono)
Penulis I          : Nn. Sunarjati (Ny. Sukemi)
Penulis II         : Nn. Salmiyati
Bendahara       : Ny. R.A. Hardjodiningrat
Pembantu        : Nyi Hadjar Dewantara
Pembantu        : Nn. Siti Mudjijah


2.        Kongres Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) tahun 1930
Kongres PPII diadakan di kota Surabaya mulai tanggal 13-18 Desember 1930 dipimpin oleh pengurus PPII dan dihadiri oleh wakil-wakil organisasi anggota PPII yang berjumlah 20 organisasi.
Maksud dan tujuan diselengarakannya Kongres PPII adalah “PPII bermaksud menjadi gabungan organisasi wanita Indonesia”. Di dalam pergerakan itu kaum wanita memperbaiki kedudukan serta menjunjung tinggi derajat wanita umumnya, berazaskan kebangsaan, sehingga mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kewanitaan dan meneguhkan imannya.
Keputusan-keputusan Kongres Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
a.    Struktur Organisasi :
Untuk mempererat hubungan antara pengurus PPII dan organisasi anggota , dibentuk “Badan Perantaraan” di tempat dimana sedikitnya ada 2 (dua) organisasi anggota. Tugas “Badan Perantaraan” adalah:
-       Menjadi mediator antara Pengurus Pusat PPII dan oangota-anggotanya.
-       Mempelajari hak pilih kaum wanita.
-       Menyelidiki dan memberi laporan tentang Hygiene dalam kampung-kampung dan umlah kematian bayi.
-       Mengadakan “Kantor Penyuluh Perburuhan”.
-       Memajukan P4A (Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak).
b.    Tempat kedudukan pengurus :
Pengurus PPII ditetapkan berkedudukan di Jakarta diketuai Ny. Mustadjab.
c.    Agar PPII berdaya upaya sekuat tenaga untuk mempertahankan watak kebangsaan Indonesia dan mencari hubungan baik di dalam dan di luar negeri.
d.   Memutuskan untuk mengirimkan utusan ke All Asian Woman Conference yang diadakan di Lahore-India pada bulan Januari 1931, yang terdiri atas :
-          Nn. Sunarjati (Ny. Sukemi)
-          Ny. R.A. Rukmini Santoso (Kakak R.A. Kartini)
e.    Susunan Pengurus Kongres PPII tahun 1930-1932 adalah sebagai berikut :
Ketua              : Ny. Mustadjab
Wakil Ketua    : Ny. Suwandi
Penulis I          : Ny. Sri Mangunsarkoro
Penulis II         : Ny. Budingudjaman
Mendahari       : Ny. Hardjono
Pembantu        : Ny. Sh. Suparto
Pembantu        : Ny. Sunaryo Mangunpuspito
3.    Kongres Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) tahun 1932
Kongres PPII diadakan di kota Surabaya mulai tanggal 25-29 Maret 1932 , dipimpin oleh pengurus PPII dengan ketua Ny. Mustadjab dan dihadiri oleh wakil-wakil organisasi anggota PPII.
Keputusan-keputusan yang dicapai dalam Kongres PPII ke tiga ini meliputi hal-hal berikut ini :
a.    Struktur Organisasi :
“Badan Perantaraan” dihapuskan. Sedapat mungkin diusahakan agar tiap 3 bulan organisasi anggota PPII yang berkedudukan di suatu tempat mengadakan pertemuan untuk menyusun aksi bersama.
b.    Perubahan Anggaran Rumah Tangga (Pasal 2) mengenai hal berhenti sebagai anggota:
-          Karena permintaan sendiri.
-          Karena dalam 3 bulan berturut-turut tidak membayar iuran tetap, walaupun sudah diperingatkan oleh pengurus.
-          Karena putusan pengurus dengan alasan tindakan anggota yang mengecewakan atau bertentangan dengan azas PPII atau tidak mengindahkan kewajiban sebagai anggota.
-          Atas putusan pengurus itu, anggota yang dikeluarkan boleh minta keadilan pada persidangan anggota.
c.    Mengenai Pengurus
-          Pengurus berkedudukan di Jakarta dengan ketua Ny. Suwandi, untuk masa jabatan 3 bulan.
-          Tempat kedudukan pengurus dipilih untuk setiap 3 tahun lamanya.
-          Kongres memberi kuasa kepada Ny. Suwandi untuk mengajukan calon-calon anggota pengurus baru.
-          Pengurus diwajibkan memberi sokongan uang untuk menggiatkan pekerjaan Komisi Fusi.
-          Pengurus agar mengusahakan berdirinya “Badan Usaha Kongres” (Konresfounds).
d.   Mengenai Seri Derma:
-          Menetapkan “Seri Derma” menjadi Yayasan, (Stichting).
-          Tempat kedudukan “Seri Derma” pindah ke Solo.
-          Supaya didirikan cabang-cabang “Seri Derma” di tempat-tempat yang ada organisasi anggota PPII.
-          Menetapkan Komisi Redaksi untuk Anggaran Dasar “Seri Derma” yakni : Ny. Sh. Suparto dan Nona Nuraini.
e.    Mengenai  komisi Fusi:
-          Komisi diharapkan menyelesaikan pekerjaannya, dan pada Kongres yang akan datang di harapkan sudah terbentuk fusi di antara anggota-anggota PPII yang sama haluannya.
f.     Mengenai Para Pemimpin dalam kalangan PPII :
-          Agar para pemimpin sebagai Ibu mengamati pergaulan muda-mudi Indonesia dan agar pergaulan sesuai dengan Kesusilaan Timur.
-          Agar membrikan conroh hidup sederhana kepada rakyat.
g.    Megenai PPII pada umumnya:
-          Menyerukan pada semua organisasi kebangsaan baik yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, politik maupun sosial, agar memperhatikan soal-soal perawatan orang miskin.
-          Mendirikan biro informasi untuk kaum wanita dan anak-anak.
-          Menanamkam pengertian kesucian perkawinan kepada pemuda-pemudi.
-          Memajukan pertenunan untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
-          Memberikan penerangan tentang maksud dan tujuan perkawinan di tempat yang tejadi banyak perceraian.
-          Memberikan kuasa kepada Nona Suyatin untuk mempelajari dan membuat risalah perburuhan perempuan.
h.    Susunan pengurus Kongres PPII tahun 1932-1933 adalah sebagai berikut :
Ketua              : Ny. Suwandi
Wakil Ketau    : Ny. Sri Mangunsarkoro
Penulis             : Ny. Bidingundjaman
Bendahara       : Ny. Hardjono
Pembantu        : Ny. Sh. Suparto
Pembantu        : Ny. Sunaryo Mangunpuspito
4.    Kongres Perikatan Perhimpuanan Istri Indonesia (PPII) tahun 1933
Kongres ini diadakan di Jakarta, mulai tanggal 6-8 Mei 1933 dengan pimpinan sidang Ny. Suwandi dan dihadiri oleh wakil-wakil organisasi anggota PPII.
Adapun keputusan-keputusan yang berhasil dirumuskan dalam Kongres ini adalah sebagi berikut :
a.    Keputusan terpenting dalam Kongres ini ialah memilih kepengurusan yang baru :
Ketua              : Ny. Sri Mangunsarkoro
Wakil Ketua    : Ny.Suwandi
Penulis I          : Ny. Badingundjaman
Penulis II         : Malkan
Bendahara       : Hardjono
Pembantu        : ny. Sh. Suparto
Pembantu        : Ny. Sunaryo Mangunpuspito
b.    Memutuskan tidak mengadakan Kongres PPII lagi tetapi akan mengambil inisiatif untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia ke-2.
c.    Persiapan-persiapan Kongres Perempuan Indonesia ke-2.
Pengurus PPII di Jakarta pada bulan Juni 1934 telah mengajak kaum ibu untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia (KPI), sebagai lanjutan KPI tahun 1928 yang lalu. Hal ini mengingat bahwa telah terbentuk banyak organisasi baru yang belum menggabungkan diri dalam PPII. Pada waktu terdapat kurang lebih 160 buah organisasi yang terbesar di seluruh Tanah Air dan menarik perhatian pengurus PPII untuk menyatukan tenaga dan pikiran mereka. Ajakan pengurus PPII tersebut mendapat sambutan hangat dari organisasi-organisasi wanita di seluruh Indonesia.
Demi terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia II dengan baik maka pada bulan Maret 1935 dibentuklah Susunan Pengurus Kongres Perempuan Indonesia ke-2, dengan susunan sebagai berikut :
Ketua              : Ny. Sri Mangunsarkoso
Wakil Ketua    : Ny. Suwarni Pringgodigdo
Penulis I          : Ny. M.D. Mohammad Roem
Penulis II         :Ny. Suhariah
Bendahara       : Ny. Sh. Suparto
Anggota          : Ny. Wiria Atmadja
Anggota          : Ny. Badariah
Anggota          : Ny. Jenawar
Anggota          : Ny. Kasman
Anggota          : Ny. Mahadi Arif
Anggota          : Ny. Winoto
Anggota          : Ny. Suryati
Anggota          : Ny. Suhara
Komite Pusat Kongres terdiri aras:
Ketua I           : Ny. Abdulrachman
Ketua II          : Ny. Sidhito
Wakil Ketua    : Ny. Parma Iskandar
Panitera I         : Ny. Sukamto
Panitera II       : Ny. Mutinah
Bendahara I    : Ny. Kusno
Bendahara II   : Ny. Wiria Atmadja
Anggota          : Ny. Sarjono, Ny. Dachlan Abdullah, NY. Kayadu, Ny. Rachman T, Ny. S. Suwandi, Ny. Alim, Ny. Z. Gunawan, Ny. Sri Mangunsarkoro, Ny. Badingundjaman, Ny. Margogo, Ny. Parman, dan Ny. Suhara.
Badan Pengawas Keuangan yang bertugas dalam Kongres Tersebut terdiri atas :
Ny. R.A.A.Kusumo Utoyo, Ny. Mohammad Husni Tamrin, dan Ny. Muchtar Prabu Mangkunegoro.
Anggota-anggota pengurus tersebut di atas terdiri dari anggota berbagai perkumpulan wanita yang menjadi anggota Kongres. Sehingga KPI ke-2 bersifat umum, karena didukung oleh organisasi-organisasi wanita dari berbagai aliran dan daerah. Dengan demikian lenyaplah kekuatiran bahwa seolah-olah KPI itu hanya menjadi Kongresnya satu golongan/golongan tertentu saja.

e. Kongres Perempuan Indonesia ke Dua
kongres Perempuan Indonesia yang ke dua diadakan di Jakarta mulai tanggal 20-24 Juli 1935, dengan pimpinan Kongres Ny. Sri Mangunsarkoro dan dibantu oleh Ny. Sh. Suparto. Seperti kongres-kongres sebelumnya Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil organisasi wanita dari seluruh Tanah Air.
Maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh Kongres Perempuan Indonesia ke Dua ini ialah merapatkan persaudaraan antara organisasi-organisasi wanita Indonesia untuk memperbaiki nasib kaum wanita Indonesia dan rakyat Indonesia umunya. Sedangkan dasar Kongres Perempuan Indonesia ke-2 adalah kenasionalan, kesosialan, kenetralan, dan keperempuanan.
Kongres Perempuan Indonesia ke-2 manghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:
a.    Mengenai Organisasi:
-          Dibentuk badan perikanan dengan nama “Kongres Perempuan Indonesia”.
-          Tiap tiga tahun sekali diadakan Kongres Perempuan Indonesia
-          Kongres yang akan datang diadakan di kota Bandung. Susunan Badan Persiapan Kongres, diserahkan kepada Ny. Emma Puradiredja.
-          Kongres mendirikan suatu komisi yang diberi hak untuk memberikan keterangan Resmi tentang segala hal yang berhubungan dengan Kongres.
-          Tiap-tiap Kongres dipimpin oleh Pengurus Kongres yang baru
b.    Usaha perbaikan nasib wanita
c.    Melakukan aksi-aksi bagi kepentingan kaum muda.
d.   Usaha Pemberantasan Buta Huruf.
Perlu diketahui pula bahwa Kongres berdasarkan pada perasaan kebangsaan, pekerjaan , sosial,dan kenetralan pada agama. Sehingga perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi muda sadar akan kewajiban kebangsaan, dan Khususnya bagi kaun putri ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.
f.     Kongres Perempuan Indonesia ke Tiga
Kongres diadakan di kota Bandung mulai tanggal 23-27 Juli 1938, dipimpin o;rh Ny. Emma Puradiredja, dan tentu saja dihadiri oleh wakil-wakil organisasi wanita dari seluruh Tanah Air.
Maksud dan tujuan dari Kongres Indonesia ke-3 ini adalah merapatkan hubungan antara perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia,
 Untuk menguatkan usaha memperbaiki nasib kaum perempuan Indonesia khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dengan menjunjung tinggi azas-azas kebangsaan, kesosilaan, sikap harga menghargai, dan keperempuanan.
Keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Kongres Perempuan Indonesia ke -3 ini adalah sebagai berikut :
a.    Menetapkan banyaknya suara anggota
b.    Kongres Perempuan Indonesia tidak menjadi Badan yang baku.
c.    Menetapkan Anggaran Dasar yang baru.
d.   Pemberdayaan Badan Pemberantasan Buta Huruf.
e.    Memperkuat kedudukan wanita dalam perkawinan, dengan merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam.
f.     Partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih.
g.    Kongres memutuskan tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari “Ibu”.
h.    Susunan Pengurus Kongres Perempuan Indonesia ke-3 adalah sebagai berikut :
Ketua              : Ny. Emma Puradiredja
Wakil Ketua 1 : Ny. A. Rahim
Wakil ketua 11: Ny. Ratnawinada
Penulis 1          : Ny.S. Tirtowiryo
Penulis 11        : Ny. Suwarni Miharja
Bendahari 1     : Ny.Martakusuma
Bendahari 11   : Ny. A. Joyo Puspito
Pembantu        : Ny. Rumsari
                        : Ny. Leimena
                        : Ny. Satari
                        : Ny. H. Purwana
                        : Ny. Aisah Purkasih
                        : Ny. Sunodo
                        : Ny. Mariam Abdulrachman
g.    Kongres Perempuan ke Empat
Kongres ini di selenggarakan di kota Seamarang mulai tanggal 25-28 1941 dengan pimpinan Ny. Sunaryo Mangunpuspito dan di hadiri oleh wakil-wakil organisasi wanita.
Maksud dan tujuan sama dengan kongres perempuan Indonesia yang ke-3, yaitu merapatkan hubungan antara perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia, untuk menguatkan usaha memperbaiki nasib kaum perempuan khususnya dan rakyat Indonesia pada umunya. Dengan menjunjung tinggi azas-azas kebangsaan, kesosialan, sikap harga menghargai, dan keperempuanan.
Kongres Perempuan Indonesia ke-4 menghasilkan keputusan-keputusan sebagai berikut:
1.    Pilihan Ketua kongres Indonesia ke-5 jatuh pada Nyonya Sudirman dari Putri Budi Sejati, Surabaya.
2.    Kongres perempuan Indonesia ke-5 direncanakan akan diadakan di Surabaya.
3.    Kongres menganjurkan kepada anggota Dewan Rakyat (Volkraad) supaya mengusulkan agar bahasa Indonesia dimasukan sebagai mata pelajaran tetap pada sekolah menengah (HBS dan AMS).
4.    Kongres setuju dan akan membantu aksi GAPI “Indonesia Berparlermen”, pelaksanaanya di serahkan kepada anggota-anggota kongres.
5.    Kongres setuju dengan penolakan GAPI dan organisasi lainya terhadap ordonasi wajib militer (militieplitcht) terbatas buat bangsa Indonesia.
6.    Mengirim mosi kepada pemerintah: kongres perempuan Indonesia 1V berpendapat bahwa hak untuk memilih anggota Dewan Kota dari golongan Indonesia juga diberikan kepada wanita Indonesia.
7.    Mengirim telegram kepada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional Indonesia (Tn. Suroso) dan Gubernur Jendral di Jakarta, sebagai berikut:
“Mengingat azas dan tujuan maupun keputusan-keputusan kongres Perempuan Indonesia I,II,III,dan IV, semua bermaksud menjunjung tinggi dan mempersamakan derajat dan kedudukan kaum wanita dan setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam Dewan Rakyat, di mana sebagian besar anggotanya telah menyetujui hak untuk memilih bagi wanita, kongres Perempuan Indonesia IV mohon agar hak untuk memilih bagi kaum wanita di kabulkan”.
8.    Susunan Pengurus Kongres perempuan Indonesia Ke-4 adalah sebagai berikut:
Ketua                    : Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Wakil Ketua          : Ny. Darmowinoto
Penulis I                : Ny. Pujotomo
Penulis II               : Ny. Retnomaendro
Bendahari              : Ny. Munandar
Pembantu              : Ny. Ngandani
                              : Ny. Sujono S. Pusponegoro
                              : Ny. Suyatno
                              : Ny. Kridoharsono
Kongres Permpuan Indonesia ke-5 yang telah diputuskan akan di adakan di Surabaya, tidak dapat dilaksanakan karena pada tahun 1942, tentara Jepang telah menduduki Hindia Belanda. (Kowani, 178:29-62)
h.    Peranan wanita dalam menyambut kemerdekaan
Pada masa pendudukan Jepang seluruh organisasi perjuangan yang terbentuk di   bubarkan oleh Jepang dan di ganti oleh organisasi-organisasi bentukan Jepang, Seperti PUTERA, Jawa Hokokai, Heiho, Keibodan, Seinendan, dan Fukinkai. Jepang menginginkan totalitas dukungan bangsa Indonesia dalam meraih mimpi 3A. (Nipon Cahaya Asia, Nipon Pelindung Asia, Nipon Pemimpin Asia).

Bagi wanita Indonesia dimulailah babak baru perjuangan mereka dengan memanfaatkan organisasi bentukan jepang tersebut. Bersama kaum pria merapatkan barisan demi mencapai Indonesia merdeka. Fujinkai merupakan wadah yang paling tepat untuk menuangkan seluruh pergerakan dan meraih cita cita mulia yakni bangsa Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan bangsa asing.
Sejalan dengan pekik kemerdekaan yang tersus dikumandangkan,wanita sebagai totalitas bangsa sepontan memberikan sambutan dan dukungan dengan menyumbangkan tenaga maupun pikiran. Dalam proses menuju dan menyambut proklamasi kemerdekaan itu kaum wanita telah memberikan tenaga dan pikiranya secara maksimal, seperti telah di perankan oleh Ny. Fatmawati Soekarno, Ny. Maria Ulfa santoso, Ny. Suwarni Pringgodigdo, Ny. Suyatin Kartowiyono beserta wanita-wanita pejuang lainya yang memiliki peran tidak kalah penting juga.
Dalam proses menuju ditik detik priklamasi kemerdekaan, Ny. Fatmawati Soekarno telah mempersembahkan sebuah karya yang bernilai sejarah. Ia telah berhasil menjait bendera Merah Putih dengan tanganya sendiri. Meskipun bentuk dan ukuranya tidak standar, tidaklah mengurangi kenikmatan upacara Proklamasi 17 Agustus 1945 di pegangsaan timur No.56. Berkibar nya sang Merah Putih telah membakar semangat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. (G.A. Ohorella, 1992:58)


KESIMPULAN

1.        Perjuangan gerakan kaum feminis gelombang pertama 1817-1870, dimana para srikandi indonesia dengan gagah berani mengangkat senjata pejuang melawan penjajah, Nyi Ageng Serang, Chistina Marta Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, memegang pearanan penting dalam peristiwa sejarah pada periode itu. Dimana kegagahberanian  tokoh-tokoh luar biasa ini patut kita teladani, dan kita warisi dalam mengisi kemerdekaan ini.
2.        Perjuangan pergerakan kaum femenis gelombang kedua 1872-1928, pada periode ini perjuangan tidak lagi memakai senjata melainkan melalui pendekatan budaya yaitu melaui pendidikan, R.A. Kartini, dan para pejuang wanita lainya merupakan tokoh-tokoh istimewa dalam periode ini.
3.        Perjuangan selanjutnya , yaitu perjuangan dengan pendekatan diplomasi, dimana kaum wanita sudah memiliki organisasi formal. Melalui kongres Perempuan Indonesia I,II,III, dan IV, wanita Indonesia berjuang selain demi meraih hak emansipasi, tetapi juga yang paling mulia adalah mencapai kemerdekaan Indonesia lepas dari belenggu penjajahan bangsa asing.

DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku
Ajisaka, Arya, 2008, Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta : Penerbit PT.
Kawan Pustaka

H.P. Harjana. 2003. Seri Pahlawan Nasional, Nyi Ageng Serang. Jakarta :
Penerbit Gramedia Widya Sarana.

Ismail. Tk.H. Yakub. 1979. Cut Meutiam Pahlawan Nasional, dan Puteranya.
Garam Sari-Semarang-Jawa Tengah: Penerbit C.V. Faizan.

Juned. Marwati dan Nugroho Notosusanto, 1980. Sejarah Nasional Indonesia
IV.  Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.

Juned. Marwati dan Nugroho Notosusanto, 1980. Sejarah nasional Indonesia V.
Jakarta. Penerbit Balai Pustaka.

Kumar, Ann, 2008. Prajurit Perempuan Jawa. Jakarta : Penerbit Komonitas
Bambu.

Kartodirjo, Kartono, 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900.
Jakarta: Penerbit Gramedia.

KOWANI, 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia.
Jakarta: Penerbita PN Balai Pustaka.

Legawa, I Wayan, 1997. Pergerakan Nasional Indonesia dan Pendudukan
Jepang. Malang: Depdikbud, Ditjendikdasmen.

Ohorella, G.A. dkk. 1992. Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan
Nasional. Jakarta. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisiona

Pane, Armijn. 1990. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Penerbit Balai
Pustaka.

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai
Proklamasi. Jakarta Pustaka Pelajar.

Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional, Mencapai dan Mempertahankan
Kemerdekaan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-1900. Jakarta: Penerbit
PT. Serambi Ilmu Semesta.

Soroto, Sitisumandari. 1982. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Penerbit Gunung
Agung.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Tugas Akhir.  Jakarta: Penerbit
UNINDRA, PGRI.

Tim Sinarbaya. 2009. Ensiklopedia Sejarah Perlawanan Nasional. Jakarta:
Penerbit PT. Sinarbaya.

Vedree, Cora De Stuers. 2009.  Sejarah Perempuan Indonesia. Depok: Penerbit
     Komunitas Bambu.

B.       Internet
http://w.w.w. Progind. Net.
http://w.w.w. Geocities. Com/Lembaga sastra pembebas.
Warta Feminis Wordpress.com.
Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.
http://w.w.w. Scribd.com/doc/12504515/Gerakan Wanita.