BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak
runtuhnya kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, di Eropa terjadi kemunduran
dan kemerosotan di segala bidang kehidupan. Kemunduran dan kemarosotan
berlangsung selama beberapa abad. Oleh karena itu , zaman kemunduran ini
disebut juga zaman kegelapan atau dark
ages. pada abad ke-8, hubungan perdagangan Eropa-Asia mengalami kemunduran.
Akibatnya masyarakat Eropa terpaksa hidup dari hasil bercocok tanam agraris.
Kerajaan-kerajaan
kecil di Eropa muncul dengan latar belakang suku, klan dan dinasti.
Peraturan-peraturan yang diberlakukan mengatur tata cara kepemilikan dan
penyewaan tanah mulai di kenal. Sistem pengaturan tanah di Eropa itu disebut
feodalisme, yang dalam bahasa latin yaitu feodus artinya perjanjian. Feodalisme
adalah tata aturan yang mengatur oeminjaman tanah dari negara atau raja yang
berkuasa kepada para bangsawan. Tata kehidupan feodalisme ditandai dengan
munculnya ekonomi bercock tanam, hal ini akibat terbendungnya pengaruh luar,
dikarenakan lalu lintas perdagangan di laut tengah dikuasai para pedagang
Islam. Isolasi gegrafi yang terjadi, menyebabkan perubahan dalam tata kehidupan
masyarakat Eropa dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Gereja
menjadi kekuatan yang dominan dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat
pada waktu itu melalui dogma-dogmanya. Akibatnya kehidupan masyarakat menjadi
lebih berkembang. Rakyat tidak berdaya menghadapi tindakan yang sewenang-wenang
dari kaum bangsawan, raja dan gereja. Sejak akhir abad ke-15, terjadi reformasi
yang dipelapori oleh Martin Luther, seorang uskup dari Jerman. Dia mengajarkan
bahwa penebusan dosa melalui perantara pendeta tidak perlu, karena manusia
dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dan dapat langsung berhubungan
dengan Tuhannya. Pandangan Marthin Luther didukung oleh Yohanes Calvin seorang
pendeta dari Swiss, yang mengajarkan bahwa manusia hidup di dunia ini harus
bekerja, dan yang lebih dilakukan oleh pendeta Katolik hal inilah yang menjadi
latar belakang munculnya spirit kapitalisme.
Masa-masa
feodalisme berlaku dan digantikan oleh masa industrialisme, yang ditandai
dengan beralihnya perekonomiann agraris menjadi perekonomian industrialis.
Daerah-daerah pedesaan tumbuh menjadi kota-kota industri, yang dipimpin oleh
para politik modal. Para pemilik modal menginvestasikan modalnya kembali pada
bidang-bidang ekonomi yang lain yang pada akhirnya menciptakan akumulasi modal
yang lebih besar. Perubahan tersebut terasa dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, hukum, kebudayaan, astronomi, kimia dan geografi, sehingga muncullah
penemuan baru. Penemuan-penemuan ini menandai lahirnya revolusi industri, yang
berdampak pada perkembangan kapitalisme melalui imperialisme dan kolonialisme
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah proses tumbuh dan berkembangnya Etika Protestan
2. Bagaimanakah
proses tumbuh dan perkembangan kapitalisme
3. Apakah
hubungan Etika Protestan dan Spirit Kapiltalisme
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk
menganalisa proses berkembangnya Etika Protestan
2. Untuk
menganalisa proses tumbuh dan berkembangnya Etika Protestan
3. Untuk
mendeskripsikan hubungan Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
D.
Metode Penelitian
Metode
penelitian adalah (Wagino, 1994 : 30) “urutan langkah-langkah untuk melaksanakan
penelitian berikut penjelasan tentang alat-alat yang digunakan untuk
melaksanakan langkah-langkah tersebut “.
Langkah-langkah
yang dilaksanakan harus logis dan sistematis, sehingga siapapun melaksanakan
penelitian dengan mengulang metode yang sama akan memperoleh hasil yang sama
dengan tingkat kesalahan yang dapat diperhitungkan.
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang
bersifat Deskriptif, menurut Melly G. Tan (Koentjaraningrat, 1995:42) adalah
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala, kelompok tertentu, atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu
gejala lain dalam masyarakat.
Metoe dan teknik
penelitian yang digunakan meliputi
1. Heuristik
Prosedur dalam penelitian ini meliputi 4 tahap yang
tidak terpisah. Pertama disebut Heuristak, yang kedua kritik, ketiga
interpretasi dan terakhir adalah Historiografi. Dalam hal ini peneliti mencari
sumber-sumber dan menghimpun buku-buku untuk menentukan kridibilitas informasi,
maka memerlukan sumber tertulis, untuk memperoleh itu pengambilan data melalui
berbagai perpustakaan. Selanjutnya mencoba merekonstruksi secara sistematika
dengan cara mengumpulkan sumber-sumber , mengevaluasi, memverivikasi,
mensistansikan kesimpulan yang diperkuat dengan fakta-fakta sejarah.
2. Verivikasi
Verivikasi adalah penilaian terhadap sumber-sumber.
Penilaian meliputi dua aspek (ekstern dan intern) Aspek ekstern mempersoalkan
apakah sumber itu merupakan sumber sejati yang diperlukan. Sedangkan aspek
intern mempersoalkan apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang
diperlukan.
3. Interpretasi
Setelah kritik selesai, langkah berikutnya adalah
melakukan interpretasi/penafsiran. Baik analisis maupun sintesis terhadap data
yang diperoleh dari berbagai sumber. Berdasarkan data yang dikritik, kita mulai
menghimpun banyak informasi mengenai topik yang sedang diteliti.
4. Historiografi
Berdasarkan data itu disusunlah fakta-fakta sejarah
yang telah dibuktikan kebenarannya. Berbagai fakta disusun dan dihubungkan
sehingga menjadi kesatuan yang masuk akal. Peristiwa yang sama dimasukkan
kedalam keseluruhan konteks peristiwa-peristiwa. Selanjutnya kita mulai
menafsirkan fakta-fakta itu dan menyusunnya menjadi kisah sejarah.
E.
Teknik pengumpulan data
Dalam pengumpulan data,
penulis melakukan studi kepustakaan dengan cara mengkaji buku-buku sejarah,
artikel, kamus, eksiklopedi, dan sebagainya yang berkenaan dengan permasalahan
yang diteliti. Dalam kegiatan pengumpulan data ini penulis melakukan
langkah-langkah berikut :
1.
Evaluasi Data
Maksud
dari mengevaluasi data ini, penulis melakukan penilaian terhadap sumber-sumber
sejarah yang diperoleh dari berbagai buku, artikel, ensiklopedi dan lain
sebagainya, sehingga mendapat gambaran umum tentang suatu peristiwa sejarah
yang menjadi kajian dari penulisan ini.
2.
Verifikasi Data
Melalui
kegiatan verifikasi data ini, penulis melakukan pengkajian dan pengujian data
secara lebih rinci untuk memperoleh data yang valid dan akurat, sehingga dalam
pembahasan ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
3.
Penarikan Kesimpulan
Penarikan
kesimpulan dilakukan adalah bertujuan untuk menetapkan hasil temuan data secara
sistematis berdasarkan evaluasi dan verifikasi data.
F.
Teknik pencatatan data
Untuk
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan
beberapa teknik pencatatan data sebagai berikut :
a. Memperoleh
dokumen atau catatan resmi tertentu sebagai aojek penelitian, dengan tujuan
untuk memperoleh data yang akurat dalam melaksanakan penelitian.
b. Membaca
literatur, artikel, atau buku-buku catatan yang berkaitan dengan objek
penelitian yang sedang diamati.
G.
Teknik analisis Data
Dalam penyusunan
penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai pencatatan data yang meliputi
: mempersiapkan, mengupulkan data dari berbagai sumber atau buku yang terkait
dengan masalah yang ada dijadikan data dalam melaksanakan kegiatan penelitian
dilakukan melalui membaca dan mencari informasi dari para penulis yang terkait
dengan masalah, kemudian dilakukan melalui sinkronisasi dan integrasi dari
masing-masing sumber untuk dijadikan bahan acuan dalam penyusunan.
BAB
II
HASIL
PENELITIAN
1.
Tumbuh
dan Berkembangnya Etika Protestan
a. Afiliasi agama dan stratifikasi
Membaca secara
sekilas statistik mengenai jenis-jenis pekerja di negera maupun di dunia dengan
komposisi agama yang beraneka ragam, kita akan menyaksikan frekwensi yang luara
biasa dari kondisi yang telah beberapa kali mendorong diadakannya diskusi
secara luas di media masa. Kenyataan menunjukkan bahwa para pamimpin bisnis dan
pemilik modal maupun para pekerja perusahaan yang berkualitas tingga, staff
ahli yang terdidik, baik secara teknil maupun bisnis, ternyata adalah penganut
protestan. Hal yang sama terlihat pula dalam angka-angka mengenai afaliasi
agama hampir dimana saja kapitalisme – pada saat mencapai puncak ekspansinya –
mempunyai kebebasan mutlak untuk mengubah distribusi sosial penduduk sesuai
dengan kebutuhan mereka dan juga kebebasan untuk menemukan struktur pekerjaan
mereka. Benar adanya bahwa partisipasi relatif yang lebih besar dari para
penganut protestan dalam hal kepemilikan modal, manajemen, dan dalam tingkat
pekerjaan karyawan yang lebih tinggi pada industri-industri modern dan
perubahan-perubahan komersial yang besar mungkin sebagian bisa dijelaskan dalam
aspek kondisi-kondisi historis, yaitu suatu aspek pada saat aliansi agama
bukanlah sebab dari kondisi-kondisi perekonomian, tetapi dengan tendensi yang
cukup populer dalam menilai kedua agama itu. Dari sisi protestan, hal ini
digunakan sebagai dasar kritikan terhadap cita-cita askestis (nyata atau hanya
dibayangkan) dari pandangan hidup orang-orang katolik. Sementara orang-orang
katolik menjawab dengan menuduh bahwa materialisme disebabkan oleh sikularisasi
seluruh cita-cita melalui protestanisme. Seorang penulis, yakni Offenbacher
(1992, hal 10) mencoba untuk memformulasikan perbedaan-perbedaan sikap mereka
terhadap kehidupan ekonomi dengan cara;
Orang-orang katolik biasanya lebih
tenang,mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk memperoleh sesuatu; mereka
lebih menyukai kehidupan dengan kenyamanan yang terjamin walau hanya dengan
mendapat penghasilan yang lebih kecil dari pada memilih kehidupan yang dipenuhi
resiko dan kesenangan walau jenis pekerjaan itu memberi mereka banyak
kesempatan untuk mendapatkan kehormatan an kekayaan. Ada sebuah ungkapan yang
mengatakan, “ memilih makan enak atau tidur enak” dalam kasu ini orang-orang
protestan lebih suka makan enak, sedangkan orang-orang katolik lebih suka tidur
tanpa terusik”.
Dari uraian
diatas kita akan mendapatkan gambaran karakteristik orang-orang katolik di
Jerman Utara, dimana kekatolikan sebagai sesuatu yang vital sebagai agama jika
dibandingkan dengan bangsa lain. Orang-orang katolik di Perancis dilapiskan
kelas-kelas bawah paling tertarik pada kenikmatan hidup. Hal yang hampir sama
terjadi pada orang-orang protestan di Jerman yang terserap dalam kehidupan
ekonomi yang bersifat duniawi, dan kelompok kelas atas dari orang-orang
protestan itu sangat tidak mempedulikan agama. Sehingg dari sini bisa ditarik garis
kesamaan bahwa keduniawian dinyatakan dalam kekatolikan dan nimat hidup
materialis di nyatakan orang-orang protestan.
Pada masa
ekspansi (atau kepercayaan-kepercayaan protestan lainnya) Calvinisme begitu
karakteristik dan dalam pengertian khusus hal itu begitu tipikal yaitu bahwa
para rahib gereja-gereja Huguenot Perancis dan usahawan (pedagang dan
pengrajin) ternyata berjumlah banyak diantara para pengikut baru. Sir William
Petty. Dalam pokok kajiannya mengenai alasan-alasan adanya perkembangan kapitalisme
di Belanda, bahwa diaspora Calvinistis sebagai tempat persemaian ekonomi
kapitalis, seseorang bisa menganggap hal itu sebagai suatu faktor yang
menentukan yang menjadi superioritas dari kalangan kebudayaan ekonomi
orang-orang Perancis dan Belanda.
Contoh-contoh
yang sedikit tadi sudah dapat
membuktikan satu hal, yaitu bahwa semangat untuk bekerja keras, semangat untuk
mencapai kemajuan, kebangkitan ketika seseorang mempunyai kecenderungan untuk
menganggap etika protestan berasal dari protestanisme, tidak harus dipahami
sebagai kenikmatan hidup atau pengertian lain yang serupa yang ada hubungannya
dengan pencerahan, Protestanisme kuno dari Luther, Calvin hanya mempunyai
hubungan sedikit dengan apa yang kita sebut dengan kemajuan. Bagi semua aspek
kehidupan modern dimana para agamanya paling ekstrim tidak berharap untuk
menindas atau menekan saat ini, hal itu secara langsung bersifat bermusuhan.
Apabila ada kemungkinan ditemukan hubungan yang lebih dalam antara
ungkapan-ungkapan khusus dari semangat protestanisme dan budaya kapitalis
modern, maka kita harus berusaha untuk menemukannya, untuk mencapai hal yang
lebih baik maupun sebaliknya yang lebih buruk, bukan pada apa yang dinyatakan
kurang lebih materialistis atau pada nikmatnya hidup anti askestis, melainkan
pada karakteristik agama yang murni.
Montesquieu
dalam bukunya Esprit des Lois (2002:27)
berpendapat bahwa “orang Inggris telah berkembang jauh labih pesat dari pada
bangsa lain dalam tiga hal : spiritualitas, perdagangan dan kebebasan”.
b.
Pemikiran
Liberal Martin Luther (1517-1530)
Perkembangan
peradaban pada abad pertengahan yang ada saat itu hegemoni gereja amatlah
besar, membuat kebijakan-kebijakan yang diambil selalu dikaitkan dengan
pendekatan teologis. Akhirnya potensi kreatif manusia sebagai makhluk rasional
seakan-akan terkebiri oleh institusi Gereja. Sedangkan pada bidang ilmu
pengetahuan ketika itu, yang terjadi titik tolak adalah pendekatan-pendekatan
yang dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles. Menurutnya, kebenaran sejatai
hanya ada dalam alam ide. Dan oleh sebab itu, pengkajian terhadap ilmu
pengetahuan kepada halo-halo yang sifatnya umum lebih berharga dari pada hal
yang sifatnya khusus. Dengan demikian pendekatan kontemplatif, diskusi,
generalistik. Pengaruh dari pemikiran ini adalah bahwa kepentingan bersama
lebih baik dari kepentingan individu, bahwa setiap individu tidak bisa
menonjolkan memampuan pribadinya tanpa memperhatikan lingkungannya. Sehingga
penumpukan kekayaan pada seseorang dianggap hina, dan bunga bank atau riba
sangat dilarang sebab mencerminkan kepentingan individu yang besar.
Setelah manusia
memandang bahwa hakekat yang umum itu merupakan yang terbaik dalam perkembangan
pikiran, maka sekarang setelah munculnya para ilmuwan yang mengkhususkan diri
pada pengetahuan-pengetahuan yang khusus telah membuat perubahan dalam pola pandang.
Perkembangan semua itu muncul akibat aliran humanisme pada abad ke-14 di
kota-kota Italia, seperti Florence dan Venesia. Di sana mulai berkembang
menusia individualistis yang modern, “Manusia menjadi suatu individu dalam
jiwanya dan hal ini diakuainya bagi dirinya sendiri”. Semenjak itulah
bermunculan nilai-nilai prestise yang tinggi diantara masing-masing individu.
Aliran Humanisme mempunyai orientasi nilai manusia kepada hal yang sifatnya individualistis.
Dengan demikian abad ke-14 ini terjadi pola pandang Humanis yang disertai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam yang menyadarkan akal manusia akan materi
alam. Manusia dengan pola pandang individualistis mempunyai keyakinan bahwa
dengan akal mereka dapat melakukan hal-hal yang sifatnya dapat mempermudah
hidup manusia. Kesadaran akan kemampuan akal manusia ini membuat institusi
gereja yang memposisikan diri sebagai otoritas terakhir akan kebenaran sedikit
demi sedikit mulai memudar. Apalagi ketika terjadi reformasi di dalam agama
Kristen itu sendiri. Martin Luther sebagai uskup di Jerman mempunyai pandangan
yang bertolak belakang dari dogma Katolik pada masanya. Martin Luther sebagai
uskup yang taat, memandang bahwa fasilitas penembus dosa yang dilakukan para
pendeta katolik malah membuat kewibawaan Paus menjadi turun. Kemudian padangan
Luther akan kepuasan adalah suatu penafsiran manusia terhadap agama Katolik.
Untuk itu penafsiran otentik akan kitab Bible menurut Luther tidak bisa lagi
dimonopoli oleh Paus. Setiap manusia menjadi pendetanya masing-masing dan mampu
menafsirkan kitab Bible tersebut.
Calling atau panggilan
merupakan suatu konsepsi keagamaan, yang merupakan suatu tugas yang dikehendaki
oleh Tuhan, dan hal ini sudah melekat pada diri semua orang Protestan. Kata
Calling diterjemahkan dari kitab suci pleh Martin Luther, dan pertama kali
digunakan dalam satu ungkapan pada Yesus Sirakh yang kemudian kata itu
digunakan dalam setiap wacana harian dari semua orang-orang Protestan. Yang terkandung
dalam konsepsi mengenai panggilan, telah ada sejak abad pertengahan, bahkan
malahan sudah ada pada masa-masa akhir masa purbakala Hellenistik.
Penilaian atau
penafsiran mengenai pemenuhan tugas dalam masalah-masalah duniawi sebagai
bentuk yang paling tinggi yang dapat diasumsikan oleh aktivitas-aktivitas moral
dari individu. Hal inilah yang secara pasti menyumbangkan signifikansi
keagamaan dalam aktifitas duniawi sehari-hari. Konsepsi mengenai penggilan
menghasilkan suatu dogma sentral dari seluruh kelompok umat Protestan. Di dalam
agama Katolik, bagian-bagian mengenai ajaran-ajaran etika kedalam procepta dan
consilia dihilangkan. Satu-satunya jalan hidup yang dapat diterima Tuhan adalah
dengan tidak melampaui moralitas duniawi dalam askestisme monastis, tetapi
semata-mata melaui pemenuhan kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap
pribadi manusia dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia, inilah
penggilan hidupnya.
Istilah Calling
yang diperkenalkan oleh reformasi pada dasarnya merujuk pada ide bahwa bentuk
tertinggi dari kewajiban moral bagi individu adalah memenuhi tugas-tugasnya
dalam urusan duniawi. Kosep ini memproyeksikan perilaku religius kedalam
aktivitas keduniaan sehari-hari. Hal ini sangat kontras dengan kehidupan
monastik (dalam rumah ibadah) bagi kaum Katolik, tanggung jawab moral Protestan
adalah bersifat kumulatif etika,Siklus Dosa, Perobatan, dan pengampunan yang
terus-menerus diulang dalam kehidupan Katolik, tidak ada dalam Protestanisme.
Marthin Luther
mengembangkan konsepsi ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai
seorang reformator. Awalnya, konsepsi ini agak selaras dengan tradisi-tradisi
yang berlaku pada abad pertengahan. Marthin luther memandang suatu aktivitas di
dunia ini sebagai sesuatu yang bersifat jasmani walaupun hal itu dikehendaki
oleh Tuhan. Hal ini merupakan kondisi alami yang sangat diperlukan dalam
kehidupan iman,akan tetapi didalamnya, seperti makan minum, secara moral
bersifat netral. Dalam hal ini dapat dilihat dari agama katolik pada kehidupan
para biarawan atau rahib. Kehidupan monastis bukanklah sama sekali tanpa nilai
sebagai sarana pembenaran dihadapan Tuhan, akan tetapi kehidupan itu juga bisa
berarti penolakan kewajiban di dunia ini sebagai hasil egoisme diri, dengan
tindakan menyingkir dari kewajiban-kewajiban di dunia.
Pernyataan
Luther terhadap riba atau bunga dalam bentuk apa saja menunjukkan suatu konsepsi dari ciri dasar
semangat kapitalisme, sebaliknya kerja dalam penggilan tampak sebagai ungkapan
yang keluar dari cinta persaudaraan. Dengan demikian dia membuktikan dengan
suatu pengamatan bahwa pembagian kerja bisa memaksa setiap orang untuk bekerja
untuk orang lain. Oleh karena itu, bagi Luther konsep mengenai panggilan
tetaplah bersifat tradisionalitas. Panggilan adalah sesuatu yang harus diterima
sebagai suatu peraturan keilahian, peraturan yang harus dipatuhi oleh manusia.
Kerja dalam aspek penggilan merupakan suatu tugas yang digariskan Tuhan.
Reformasi tidak mungkin terjadi tanpa peran dari perkembangan keagamaan pribadi
Mathin Luther, dan secara spiritual dipengaruhi oleh kepribadiannya, namun
tanpa Calvinisme karya-karya Marthin Luther tidak akan mencapai kesuksesan
kongret yang tetap, oleh karena itu, kita akan menggunakannya sebagai titik
awal mengenai hubungan antara etika Protestan kuno dengan semangat kapitalisme.
c. Antara
Etika Dan Yohanes Calvin
Perkembangan
kerohanian gereja pada zaman pertengahan seperti telah disebut diatas, dimana
gereja pada awal abad pertengahan memposisikan diri sebagai otoritas paling
akhir mengenai kebenaran dunia dan akhirat. Pola seperti ini membuat daya
kreativitas manusia sebagai makhluk rasional terkooptasi oleh gereja. Dengan
demikian runtuhnya pemegang otoritas terakhir mengenai keberanan, yakni
institusi gereja. Hal ini telah menjadikan kebebasan yang luar biasa dirasakan
pada manusia pada saat itu. Keyakinan para penganut agama waktu itu yang
mempunyai anggapan bahwa Tuhan sebagai pribadi yang mengawasi kehidupan manusia
dikehidupan sehari mereka menjadi berubah kepada Tuhan yang abstrak dan semakin
jauh dari kehidupan manusia.
Reformasi
gereja yang dipelapori oleh Marthin Luther diteruskan oleh pemuda Swiss, yakni
Yohanes Calvin. Sebagai seorang pemuda Calvin sangat tertarik akan pemikiran
reforkatifnya Marthin Luther. Menurut Calvin sebagai seorang Kristen dia tidak
perlu perantara pendeta atau Paus. Mengenai peleburan dosa bagi penganut aliran
Calvinisme, sebagai kristen dia berdiri sebagai individu, dengan demikian dia
dapat melakukan hal tersebut dengan dirinya sendiri. Kemudian Calvin mempunyai
pandangan bahwa manusia hidup di dunia ini untuk mengapdi kepada Tuhan mereka.
Sedangkan mengenai takdir baik buruk paa manusia di akhirat nanti menurut
Calvin dapat dilihat dari ciri-cirinya pada waktu manusia masih di dunia antara
lain dengan malihat apakah orang tersebut berhasil dalam bekerja di dunia.
Apabila seorang Kristen akan masuk nerakan bagi Calvin pada orang-orang Kristen
yang tidak giat dalam bekerja tanpa memperhitungkan pandapatan masing-masing
(namun dengan kerasnya bekerja pendapatan yang tinggi dengan sendirinya
didapatkan).
Bagi
manusia pada zaman reformasi, apa yang merupakan hal terpenting dalam
kehidupan, dalam keselamatan kekalnya, manusia diharuskan untuk mengikuti jalan
hidupnya untuk memenuhi takdirnya yang telah ditentukan baginya dari keabadian.
Tak seorangpun dapat mambantunya. Tidak juga imam, karena orang yang terpilih
bisa memahami sabda Allah hanya didalam hatinya sendiri. Tidak pula sakramen,
karena meskipun sakramen telah ditetapkan oleh Allah agar kemuliannya semakin
besar, dan oleh karena itu harus dilaksanakan secara seksama.
Dunia
ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan ada hanya untuk tujuan itu semata.
Orang-orang kristen terpilih di dunia hanya dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan
dengan mematuhi firman-firmannya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi
manusia. Akan tetapi Tuhan menghendaki adanya pencapaian sosial dari
orang-orang kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa kehidupan sosial dari
orang-orang kristen semacam itu harus dikelola menurut firman-firmannya, sesuai
dengan tujuan-tujuan kehidupan tadi. Aktivitas sosial dari orang-orang kristen
di dunia ini terutama adalah in majorem
gloriam dei (semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri ini kemudian delakukan dalam
suatu panggilan hidup yang dapat melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.
Bagi kaum Calvinis menjadi suatu bagian yang menjadi corak dalam sistem etika
mereka. Karena cinta kasih persaudaraan hanya bisa dilakukan demi kemuliaan
Tuhan.
Doktrin
Calvin tentang takdir yang berbunyi : hanya beberapa orang yang terpilih yang
bisa terselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu sudah ditetapkan jauh
sebelumnya oleh Tuhan. Calvin sendiri mungkin bisa merasa yakin atas
keselamatannya sendiri atas dasar instrumen kenabiannya: namun tak seorangpun
dari pengikutnya yang bisa dipastikan mendapat penyelamatan. Di level Pastoral,
terjadi dua perkembangan. Pertama :seseorang menjadi diwajibkan menyakini diri
sendiri sebagai “orang yang terpilih” sehingga kurangnya bisa dipandang sebagai indikasi kurangnya imam. Kedua :
performa “kerja yang baik” dalam aktivitas duniawi menjadi diterima sebagai
media dimana keyakinan itu bisa ditunjukkan. Akumulasi kekayaan dibolehkan
sejauh itu dikombinasikan dengan karir besar dan upaya yang sungguh-sungguh.
Akumulasi kekayaan dikecam jika dilakukan hanya untuk menopang mewah
bermalas-malasan atau manja.
Calvinisme
menyuplai energi dan dorongan moral bagi para wirausahawan kapitalis.
Doktrin-doktrin Calvinisme memiliki “konsistensi besi” dalam disiplin
habis-habisan yang dituntut dari para pengikutnya.
Organisasi
yang bertujuan baik dan tatanan dari kosmos ini terbukti diciptakan oleh Tuhan
untuk melayani keperluan umat manusia, sesuai dengan manisfestasi dari kitab
suci maupun sesuai dengan intuisi alam. Hal inilah yang menjadikan kerja alam
pelayaran faedah sosial impersonal dapat meningkatkan kemuliaan Tuhan. Dalam
ajaran Calvin hidup hemat sangat ditekankan bagi penganutnya. Dan yang penting
bagi penganutnya aliran Calvin dalan hubungannya dengan perkembangan ekonomi
kapitalisme adalah tidak dipertahankannya larangan akan bunga bank seperti yang
dilakukan para pendeta katolik.
d.
Lahirnya Konsep Etika Protestan
Etika reformasi Protestan pada abad ke-16 dan ke- 17
juga disertai perubahan-perubahan ekonomis yang mengakibatkan berkembangnya
kapitalisme di Eropa Utara, khususnya di Belanda dan Inggris. Korelasi
kronologis dan geografis antara agama baru ini dengan perkembangan di bidang
ekonomi sampai menimbulkan kesan bahwa Protestanisme memiliki makna kausal bagi
timbulnya kapitalisme modern. Meski dalam arti apapun tidak menjadi sebab bagi
kapitalisme, yang sudah ada lebih dahulu dalam lingkup yang luas dan terus
berkembang, namun etika Protestan memang menjadi perangsang kuat bagi tata
ekonomi baru itu. Revisi atau interpretasi ajaran agama tidak hanya membebaskan
praktek kapitalis dari dosa orang tamak, tetapi bahkan memberi dukungan ilahiah
bagi cara hidup itu. Dalam perilaku hidup sehari-hari, muncullah satu tipe
askestisme duniawi baru, yang berarti kerja keras, kesederhanaan, kelugasan dan
efisiensi dalam bekerja di bidang ekonomi, seperti halnya dalam kehidupan
membiara. Diterapkan dalam suasana perniagaan dan industri yang terus
berkembang, kredo Protestan mengajarkan bahwa bertambahnya kekayaan wajib
digunakan untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak lagi.
Berkembanganya perdagangan pada akhir abad
pertengahan menimbulkan kontroversi dan mendorong kearah berbagai usaha
penyesuaian antara doktrin-doktrin teologis dengan realitas ekonomi. Di
Venesia, Florence, Augsburg, dan Antwerpen semua kota katolik kaum kapitalis
melanggar semangat dan memanipulasi surat larangan terhadap pembungaam uang.
Dikatakan bahwa setiap jenis pekerjaan sama martabatnya dimata Tuhan. Bagi
mereka yang bakatnya terbatas, kesadaran kristen menuntut kerja yang tekun
biarpun upahnya rendah, karena semua itu mengabdi Tuhan secara kebetulan untuk
para majikan juga. Kesadaran kristen memperingan pula langkah untuk membenerkan
ketidaksamaan ekonomis karena ia akan mempercepat akumulasi kekayaan dibawah
perwakilan orang-orang paling berbakat (yang kebetulan juga merupakan
orang-orang terkaya) sekaligus menjauhkan godaan dari mereka yang lemah, yang
tidak dapat menahan diri dari daya tarik yang timbul dari kekayaan. Tambahan
lagi, tidak merupakan persoalan benar tentang siapakah yang menjadi pemegang
hak hukum atas kekayaan, karena kekayaan itu tidak dipakai untuk
bersenang-senang. Seperti orang miskin, orang kayapun harus hidup sederhana
sepanjang hidupnya. Maka sistem kapitalis memperolah pembenaran yang bertujuan agar
ketidaksamaan bisa ditenggang oleh kelas pekerja.
Semangat kapitalisme sebenarnya sudah ada sebelum
tatanan kapitalisme, hal ini terlihat di Amerika sejak tahun 1632.
Koloni-koloni yang ada kebanyakan didirikan oleh kapitalis-kapitalis besar
dengan motif-motif bisnis, sementara koloni-koloni New England didirikan oleh
para pendeta dan lulusan seminari dengan bantuan sebagian para borjuis kecil,
pengrajin dan tentara-tentara dengan alasan agama. Kehidupan sosial yang mereka
jalankan masih bersifat strukturalis dan dogmatis. Strutur paling atas adalah
Paus sebagai pemegang otoritas tertinggi kebenaran baik material maupun
spiritual. Kehidupan para uskup, biarawan sebagai struktur kedua, struktur
ketiga adalahpara bangsawan, dan struktur keempat adalah rakyat biasa,
pengrajin dan para petani sebagai struktur paling bawah. Dengan demikian terjadi
pengkotak-kotakan yang sangat tidak manusiawi. Tipe masyarakat yang menempati
kelas tertentu secara sosial harus tetap setia pada posisi tersebut tanpa
reserve. Model masyarakat seperti ini dizaman pertengahan dapat diterima oleh
masyarakat karena agama sebagai institusi sosial yang sangat dipercaya.
Perkembangan borjuis sejajar dengan perkembangan
kapitalisme, yaitu dengan mengecualikan peranan kaum Yahudi. Yang lebih penting
disini adalah memberikan karakteristik atas situasi ekonomi pada berakhirnya
zaman pertengahan dan mulainya zaman modern. Abad ke-16 dan ke-17 oleh Tewney
disebut sebagai Critical Period. Dengan
dimulainya sekulirasasi dalam teori politik dan reformasi, dominasi teologi
atas masalah sosial runtuh, digantikan ilmu pengetahuan. Agama berhenti menjadi
petunjuk bagi manusia. Dalam masalah ekonomi semboyan “trade is one thing ,
religion is another” menjelaskan sikularisasi dalam ekonomi, yaitu pisahnya pertimbangan
agama atas kehidupan ekonomi, mencari kekayaan bukan saja suatu advantage
tetapi kewajiban agama,dan kapitalisme adalah realisasi dari kecenderungan itu.
Rasionalisasi alam pikiran Eropa menganggap bahwa
penghancuran otoritas gereja atas kepentingan ekonomi menjadi sumbangan penting
dari abad ke-16 mengakibatkan masalah kekayaan bebas dari ikatan teologis.
Sekularisasi dalam kehidupan politik mempunyai peranan penting, karena sangsi
atas perdamaian dan tata tertib kehidupan masyarakat tidak lagi pada gereja
tetapi pada negara.
Tradisionalis dalam ekonomi ditinggalkan digantikan
oleh kaptalisme. Ekonomi tradisional sebagai warisan zaman pertengahan
berprinsibkan pemuasan kebutuhan, masyarakat bukan merupakan mesin ekonomi,
tetapi suatu organisasi spiritual dengan subordinasi tingkah laku pada
pertimbangan moral. Meskipun pada zaman itus udah ada gilda dengan kerja bebas
dan tindakan rasional, tetapi tidak dapat dilahirkan susila kapitals sebab ia
terikat pada susunan masyarakat yang lebih luas. Individualisme dalam pikiran
sejajar dengan perkembangan individualisme dalam ekonomi, yaitu dengan
dipakainya prinsip acquisition. Menurut
Warner Sombart (1992:60).
“Sistem kapitalis tidak lagi ditentukan oleh
kebutuhan yang secara kuantitatif dan kualitatif terbatas bagi seseorang atau
sekelompok orang, tetapi keuntungan bagaimanapun besarnya tidak pernah dapat
memuaskan tuntutan-tuntutan ekonomis”
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengusaha
swasta dengan menggunakan kapital (uang atau barang dengan nilai uang) untuk
mendapat profit, membeli alat-alat produksi dan menjual produk-produk, bisa
saja mempunyai karakter tradisionalistis. Hal ini dibenarkan oleh kenyataan
sejarah bahwa sikap pemikiran pada satu sisi telah menemukan bentuk ungkapan
yang paling sesuai pada usaha-usaha kapitalistis sementara dalam sisi yang lain
ikap itu telah memperoleh kekuatan motif yang paling cocok yakni dari semangat
kapitalisme. Untuk lebih yakinnya, bentuk kepitalistis dari suatu usaha dan
semangat yang dijalankan pada umumnya berada pada beberapa jenis hubungan yang
saling melengkapi, tetapi bukan berada pada salah stu dari saling
ketergantungan.
Kita ambil contoh paa pertengahan abad yang lalu,
kehidupan seorang pemasar cabang-cabang industri di Barat, adalah sangat nyaman
menurut ukuran sekarang. Kita bisa membayangkan kegiatan rutinnya : para petani
datang dengan membawa pakaian mereka (dibuat dari bahan mentah yang dihasilan
sendiri) ke kota tempat tinggal para pemasar, dan setelah penilaian kualitas
yang cermat, dia menerima harga yang biasa berlaku pada kain itu. Para
pelanggan pemasar itu biasanya adalah para tengkulak, mereka mendatanginya dan
mencari kualitas-kualitas tradisional, dan membeli dari persediaan atau
melakukan pemesanan. Perolehan penghasilan juga tidak terlalu banyak, cukup
untuk menghadapi kehidupan yang layak dan menyisihkan sedikit untuk ditabung.
Secara keseluruhan, hubungan dengan para pesaing berlangsung relatif baik,
dengan mendasar pada perjanjian-perjanjian bisnis.
Pada waktu tertentu terjadi perubahan esensial dalam
bentuk organisasinya, seperti; peralihan dari pabrik terpadu menuju penemuan
mekanis, para pemasar pergi ke pedesaan untuk memilih para penenun untuk
dipekerjakan, dan mengubah merka dari petani menjadi buruh. Dipihak lain,
pemasar akan mengubah metode pemasarannya dengan secara langsung pergi menemui
para pelanggannya, mengambil alih rincian usaha ketangannya sendiri, mencari
penggan secara pribadi, mengunjungi mereka setiap tahun, dan menyesuaikan
kualitas produk secara langsung dengan kebutuhan dan harapan mereka. Pada waktu
yang sama, dia akan memberlakukan prinsip-prinsip harga rendah dari produksi
besar. Hal ini selalu berulang dimana-mana dan selalu merupakan hasil dari
proses rasionalisasi; mereka yang tidak berbuat demikian harus keluar dari
arena bisnis. Maka keadaan yang nyaman itu runtuh dibawah tekanan dari suatu
perjuangan kompetitif yang sengit, kekayaan yang cukup baik bisa diperoleh, dan
tidsk meminjamkan dengan bunga, tetapi malahan dapat selalu menginvestasikan
kembali dalam bisnis. Sikap lama yang santai dalam menjalani kehidupan berganti
menjadi sikap yang cermat sebab mereka tidak berharab untuk mengkonsumsi tetapi
berharab untuk mendapat penghasilan.
Proses revulisioner secara keseluruhan digerakkan
dengan beberapa ribu modal yang dipinjam dari beberapa relasi, tetapi semangat
baru, semangat kapitalisme bisa berjalan. Perubahan leberal menjadi dasar dalam
kesuksesan bisnis seseorang. Hubungan antara kepercayaan keagamaan dengan
perilaku hidup cenderung untuk bersifat negatif. Orang-orang yang dipenuhi
semangat kapitalisme cenderung untuk tidak peduli dengan gereja, bagi mereka
agama hanya sebagai alat untuk menarik mereka keluar dari kerja di dunia ini.
Bisnis dengan irama kerja yang tiada henti telah menjadi bagian penting dalam
kehidupan mereka.
Bentuk-bentuk bisnis kapitalistis terutama commerce
(perdagangan) dan industria berkambang di dalamnya, hal ini mereka anggap
sebagai suatu sumber provit yang legitimate dan oleh marenanya secara etika
menjadi tak tercela. Hal ini terutama merupakan sikap kalangan kapitalis itu
sendiri. Kehidupan kerja mereka , sejauh mereka berpegang pada tradisi gereja.
Uang dengan jumlah besar disumbangkan kepada institusi-institusi keagaman paa
saat terjadinya kematian orang-orang kaya. Pemberian uang diberikan sebagai
uang tebusan nurani, kadang-kadang uang itu dikembalikan pada para pengutang
sebelumnya sebagai asura yang dulu telah dirampas dari mereka secara tidak
adil.
2.
Perkembangan
Paham Kapitalisme
a. Latar
Belakang Munculnya Kapitalisme
Masyarakat Eropa garda terdepan dalam mengusung
wacana kapitalisme leberal pada masa pertengahan masih menjadi masyarakat yang
bermata pencaharian dari sektor agraris. Pada masa itu,sistem sosialnya sangat
feodalisik. Kehidupan sosial yang mereka jalankanmasih bersifat stukturalis dan
dogmatis.stuktur palingatas adalah paus sebagai pemegang otoritas tertinggi
kebenaran baik material maupun spiritual. Kemudian para uskup, biarawan sebagai
struktur kedua, struktur ketiga mereka adalah para Raja yang membawahi para
vasal dan bangsawan sebagai struktur keempat. Dan yang kelima adalah rakyat
biasa, pengrajin dan petani sebagai tingkat struktur paling bawah. Struktur
kemasyarakatan tadi termanifestasikan dalam alam masyarakat ibarat organisme
tubuh. Dengan demikian terjadi pengkotak-pengkotan yang sangat tidak manusiawi.
Tipe masyarakat yang menempati kelas tertentu secara sosial harus tetap setia
pada posisi tersebut tanpa reserve.
Model masyarakat seperti ini di Zaman pertengahan dapat diterima oleh
masyarakat karena agama sebagai institusi sosial yang sangat dipercaya pada
waktu itu memperkuat pola pandang seperti itu dengan pendekatan yang sangat
dogmatis.
Demikianlah gambaran masyarakat yang melandaskan
mata pencaharian mereka pada agrikultural. Kemudian pada abad 11 yaitu tatkala
perdagangan mulai muncul kembali. Hal ini dimungkinkan setelah rezim Romawi
runtuh kota-kota seperti Venesia, Geneo perdagangan dengan Timur Tengah dan
Afrika berjalan lagi dan ketika para pengusaha Islam mengizinkan kembali perdagangan
dengan daerah-daerah yang mereka kuasai. Perdagangan dan perniagaan itu muncul
dikalangan warga kota. Mereka mulai bermunculak metika proses perdagangan
berjalan dengan mulus. Dengan melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan warga
ketika itu mereka menciptakan kerajinan-kerajinan yang terdiri dari usaha-usaha
rumah tangga. Komunitas ini melakukan kegiatan usaha mereka dalam bentuk
gilda-gilda yang membatasi persaingan
antar mereka. Dalam organisasi itu terdapat aturan-aturan mengenai izin untuk
melakukan usaha sendiri, penetapan harga-harga, metode berproduksi dan lain
sebagainya. Kegiatan tersebut hanya memenuhi pada kebutuhan masyarakat yang
terbatas. Perkembangan ekonomi sangat lambat dimana produksi yang dihasilkan
hanya untuk lingkungan yang terbatas. Selain itu, peperangan demi peperangan
yang dilakukan raja-raja mereka dalam mempertahankan dan memperluas kuasa
mereka, membuat penekanan-penekanan tersebdiri terhadap kaum perajin dan
petani. Raja memerlukan uang yang sangat besar demi peperangan tersebut. Namun
warga kota disini menempatkan diri berbeda dengan kelas-kelas lainnya. Warga
kota adalah orang bebas tanpa keterikatan satu sama lain seperti yang terjadi
dalam kelas-kelas sosial lainnya, mereka mengembangkan kebudayaan sosial
masyrakat. Dengan demikian pengemban kebudayaan bukan lagi jatuh hanya pada
rahaniawan. Dan dalam melakukan aktivitas perdagangan mereka memerllukan
kemampuan baca tulis, hitung yang memadai. Untuk itu dibangunlah
sekolah-sekolah, teknik produksi, dan hukum-hukum perdagangan. Fenomena ini
diartikan sebagai cikal bakal terwujudnya zaman Renaissance.
Ketika masyarakat memasuki abad ke-14, perkambangan
perdagangan semakin marak. Hal ini mencapai puncaknya ketika orang-orang di
negara kota tersebut muncul orang-orang yang ingin mencari keuntungan. Mereka
memanfaatkan momentum perubahan yang sedang terjadi di masyarakat. Mereka
bukanlah yang termasuk warga kota yang bertahan dalam usaha kerajinan dan
berasosiasi pasa gilda-gilda. Orang-orang pengusaha baru ini merasa di kota kesempatan
untuk berusaha sudah sangat terbatas karena monopoli gilsa-gilda tadi. Untuk
itu para pengusaha berusaha untuk merubah aturan gilda-gilda yang mengikat itu.
Dan ini mendapat dukungan dari Raja karena kepentingan raja atas daya keuangan
mereka.
Dengan mendirikan mode produksi kapitalis yakni
industri yang masih dalam taraf kecil-kecilan. Dalam arti mereka mendirikan
usaha tadi di luar kota karena di dalam kota tidak ada gunanya. Pada paraf ini
para pekerja bekerja dengan aturan-aturan yang tidak ada batasnya. Perkembangan
ini mendapat tanggapan dari masyarakat dengan sangat baik. Akibat dari
perluasan lahan untuk membangun pabrik baru sebagai hasil keuntungan yang
didapat dari para pengusaha, mereka menginvestasikannya kembali pada sektor
ekonomi lainnya. Ini memerlukan lahan yang luas dan mengambil di daerah
pedesaan. Dengan demikian para petani yang tadinya melakkukan usaha pertanian
akibat dai perluasan lahan tersebut membuat para petani yang tidak memiliki
lahan kehilangan pekerjaan mereka. Terlebih setelah ditemukannya teknologi
navigasi yang canggih , sehingga banyak ditemukan wilayah-eilayah baru, hal ini
memacu perdagangan luar negeri dengan kesempatan pasar lebih luas. Sampai
munculnya politik negara-bangsa yang mempunyai lingkup negara yang luas.
Sehingga persaingan diantara pemilik modal semakin ketat.
Perkembangan diatas menambah hilangnya petani akan
pekerjaan mereka dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt, hal ini
menyebabkan para kapitalis mengkorvensikan modal mereka dari memberikan upah
tenaga kerja kepada pembelian mesin-mesin produksi. Dibidang tekstil telah
ditemukan flying shuttle pada tahun
1733 yang jenny sehingga lebih banyak
mata pintal dapat digunakan sekaligus. Dengan perluasan usaha kapitalis
industri ini mengakibatkan psoses pemiskinan pada kaum tani. Mereka dipaksa
untuk menjadi buruh pabrik buruh pabrik karena lahan mereka diubah menjadi
pabrik-pabrik pamilik modal.
1. Adam
mith dan Kapitalisme
Dalam sistem Kapitalisme lembaga-lembaga “hak milik
swasta merupakan elemen yang pokok”. Ia menjamin bahwa setiap orang mempunyai
hak untuk mencapai barang-barang ekonomi dari sumber daya melalui cara yang
legal, mengadakan perjanjian-perjanjian sehubungan dengan penggunaannya dan
apabila perlu menjualnya. Konsep ini timbul dari tulisan John Kocke yang berpendapat bahwa kekayaan merupakan hak
alamiah terlepas dari kekuasaan negara.
Konsep ‘Economic
man’ (homo economics) menyatakan bahwa setiap individu dalam sebuah
masyarakat kapitalistik dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi sehingga ia
akan bertindak demikian rupa untuk mencapai kepuasan terbesar dengan
pengorbanan atau biaya yang sekecil-kecilnya. Konsep ini timbul dari bukunya
Adam Smith yang berjudul The Wealth of
natians (1776) yang menerangkan prinsip “The Invesible Hand” (tangan tak terlihat). Prinsip ini menyatakan
bahwa apabila setiap individu diperolehkan mengejar kepentingan dirinya sendiri
tanpa campur tangan pemerintah maka ia seakan-akan dibina tangan yang tak
terlihat untuk mencapai hal yang baik untuk masyarakat.
Pada sistem kapitalisme asa asumsi dasar yang
menyatakan bahwa manusia itu serakah dan meterialistis seperti yang diungkapkan
oleh Adam Smith. Keserakahan dan kepentingan pribadi dari tiap-tiap oranglah
yang dikelola dalam sistem kapitalisme. Adam Smith tidak merasa khawatir karena
sistem persaingan pasar bebas akan menertibkannya. Orang yang terlalu serakah yang
mau menjual barangnya terlalu mahal akan terpaksa membatasi keinginannya ini
dengan munculnya orang lain yang mau menerima keuntungan yang lebih sedikit
dengan menjual barangnya secara lebih murah. Inilah menurut Smith keindahan
pasar bebas.
Adam Smith sangat mendukung motto laissez faire-laissez passer, yang
menghendaki campur tangan pemerintah seminimal mungkin dalam perekonomian.
Smith menghendaki agar pemerintah sedapat mungkin tidak terlalu banyak campur
tangan mengatur perekonomian. Biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar
tanpa campur tangan pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak kentara
(invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut kearah keseimbangan.
Jika banyak campur tangan pemerintah, menurut Smith justru pasar akan mengalami
distorsi, yang akan membawa perekonomian pada ketidak efesianan (ineffeciency) dan ketidak seimbangan.
Pandangan-pandangan Smith ternyata telah menandai
suatu perubahan yang sangat revolusioner dalam pemikiran ekonomi. Dimasa
sebelumnya, yaitu masa markantilis, negara ditempatkan diatas
individu-individu, sebaliknya menurut ajaran klasik dan fisiokrat kepentingan
individulah yang harus diutamakan. Bahkan adalah tugas negara untuk menjamin
terciptanya kondisi dimana setiap orang bebas bertindak melakukan yang terbaik
bagi diri mereka masing-masing. Bagi pendukung pasar bebas, tidak ada jasa yang
bisa diperbuat manusia, kecuali yang dapat membuat dirinya lebih maju.
Dalam tulisan-tulisannya, Smith banyak memberikan
perhatian pada produktifitas tenaga kerja. Smith mengambil mesimpulan bahwa
produktifitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui apa yang disebutnya
pembagian kerja (division of labour). Pembagian kerja akan mendorong
spesialisasi, dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan
bakat dan kemampuannya, peningkatan kesejahteraan bisa diperoleh dengan
meningkatkan laba. Menurut Smith cara terbaik untuk itu ialah dengan melakukan
investasi, yaitu membeli mesin-mesin dan peralatan. Dengan mesin-mesin dan
peralatan yang lebih canggih maka produktifitas labour ini berarti peningkatan
produksi perusahaan. Jika semua perusahaan melakukan hal yang sama, maka output
nasioal, yang juga berarti kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula.
Adam Smith melalui pemikiran-pemikirannya
menciptakan sebuah sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi pasar yang kadang-kadang
disebut sistem ekonomi leberal (karena sistem ini memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya bagi individu-individu atau unit-unit perekonomian untuk
melakukan yang terbaik bagi kepentingan mereka masing-masing) atau sistem
kapitalis, sehingga Adam Smith dikatakan sebagai peletak dasar kapitalisme
liberal.
2. Perkembangan
Kapitalisme
Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan
bagian dari gerakan individualisme. Gerakan itu juga menimbulkan dampak dalam
bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi;
dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam; dalam hubungan masyarakat
memunculkan ilmu-ilmu sosial; dalam ekonomi melahirkan sistem kapitalisme.
Karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung
pengertian bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yamg menyeluruh, lebih dari
sekedar suatu tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di
Inggris pada abad 18 dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat-Laut dan
Amerika Utara. Ada beberapa sifat dasar yang mencirikan kapitalisme sejak awal
perkembangannya antara lain :
a. Pemilikan
perorangan (individual qwnership)
Dalam sistem kapitalis pemilikan alat-alat produksi
(tanah, pabrik, mesin, sumber alam) dikuasai secara perorangan, bukan oleh
negara. Prinsip ini tetap mengakui adanya pemilikan negara yang berwujud monopoli
yang bersifat alamiah atau menyangkut pelayanan jasa kepada masyarakat umum.
Penyimpangan peradaban kapitalis dalam pemilikan
alat-alat produksi secara perorangan didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama,
pemilikan atas harta yang bersifat produktif berarti penguasaan atas kehidupan
orang lain.kalau negara memiliki semua harta yang bersifat produktif, maka
kekuasaan ekonomi dan politik akan mengalami tumpang tindih karena berada dalam
satu tangan. Akibatnya perhatian terhadap kebebasan ekonomi perorangan menjadi
tidak menentu. Kedua, ada anggapan bahwa kemajuan teknologi lebih mudah dicapai
kalau orang menangani urusan atau kepentingannya sendiri dan memiliki dorongan
pribadi untuk melakukan hal itu.
b. Perekonomian
Pasar (Market Economy)
Prinsip yang lain dari sistem kapitalis adalah
perekonomian pasar. Dalam rasa pra-kapitalis pada umumnya perekonomian bersifat
lokal dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pembagian kerja hampir
tidak dikenal dan setiap warga harus menangani banyak pekerjaan yang terbesar
dikalangan ratusan jenis kerajinan dan spesialisasi. Jenis pekerjaan yang
dilakukan seseorang dan harga yang ditetapkan untuk suatu jenis barang dan jasa
sebagoan besar ditentukan oleh kebiasaan nilai kegunaannya. Sebaliknya,
perekonomian pasar dalam sistem kapitalis didasarkan pada spesialisasi
kerja.setiap orang hanya memasok sebagian kecil kebutuhannya melalui
keterampilan dan pekerjaan pribadi. Barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah tangga produsen sendiri tetapi untuk pasar. Salah
satu sifat yang penting dalam perekonomian pasar ialah adanya kedaulatan
konsumen. Konsumen tidak hanya bebas dalam memilih barang yang disukainya
diantara barang-barang lain yang ditawarkan, tetapi akhirnya melalui pilihan
yang dilakukannya, menentukan jenis dan jumlah barang yang akan di produksi.
c. Persaingan
(competition)
Ciri pokok lain dari ekonomi pasar adalah
persaingan. Dalam perekonomian pra-kapitalis faktor adat atau kebiasaan dan
kegunaan menentukan suatu barang atau jasa berharga atau tidak, dan ada banyak
orang yang sama sekali tidak dapat bersaing karena mereka berada diluar
beberapa jenis pekerjaan atau perdagangan. Dalam perekonomian modern,
alternatif untuk persaingan bisa saja monopoli swasta atau negara. Interaksi
yang bebas antara pembeli dan penjual dimuwujudkan dalam menentukan harga
barang dan jasa ileh otoritas kenyataan (de facto authority) seperti dalam
kasus monopoli swasta, dan penentuan harga barang dan jasa oleh otoritas resmi
(legal authority) seperti dalam kasus monopoli negara.
d. Keuntungan
(profit)
Perokonomian kapitalis memberikan lebih banyak
kesempatan untuk meraih keuntungan dari pada perekonomian yang lain kerena
dalam perekonomian kapitalis dijamin adanya tiga kebebasan yang biasanya tidak
ditemukan dalam sistem yang lain. Ketiga kebebasan itu adalah kebebasan dan
menentukan pekerjaan. Kebebasan hak pemilikan, dan kebebasan mengadakan
kontrak. Sistem kapitalis digambarkan sebagai sistem keuntungan (profit sistem)
dan juga sistem rugi (loss sistem). Sekalipun diakui bahwa dibawah sistem
kapitalisme banyak orang dapat meraih keuntungan yang tinggi, tetapi juga
diakui bahwa dalam sistem itu begitu banyak orang menderita kerugian yang
besar.
Bentuk baru perekonomian pasca industri disebut
perekonomian jasa (service economy) perkembangan perekonomian jasa telah
membawa pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian kapitalis
maju. Marx menegaskan bahwa sebab utama disintegrasi atau perpecahan kapitalis
adalah keberhasilan dan kemerosotan ekonomi yang terjadi silih berganti yang
menyebabkan inflasi dan pengangguran dalam masa-masa tertentu. Perubahan
substansial secara periodik lebih banyak terjadi pada sektor yang memproduksi
jasa, karena produksi barang bisa berlebihan dan karena itu harus disimpan,sedangkan
produk jasa tidak bisa disimpan. Karena itu dalam produksi jasa biasanya
terjadi keseimbangan yang lebih aman dari pada dalam produksi barang, dan hal
itu akan menyebabkan kestabilan pekerjaan yang lebih terjamin pada bidang yang
memproduksi jasa (sekolah, rumah sakit dan bank) karena banyak pelayanan jasa
disediakan oleh badan pemerintah atau swasta yang tidak mencari keuntungan,
biasanya terdapat keamanan pekerjaan yang lebih terjamin dalam badan tersebut
daripada dalam perusahaan yang memproduksi barang yang sebagian besar
dijalankan oleh swasta.
Kapitalisme telah melaksanakan transformasi yang
luas untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi yang didampakkan
oleh perluasan sektor ekonomi yang tidak mengejar keuntungan, serta berbagai
perubahan sosial yang diakibatkan oleh kebijaksanaan negara kemakmuran. Kalau
kapitalisme kita artikan sebagai Laissez Faire dan sosialisme sebagai pemikiran
alat-alat produksi oleh negara, maka sistem ekonomi yang baru dan terus
berkembang ini tidak dapat kita sebut kapitalis atau sosialis. Biasanya sistem
itu disebut “Perekonomian Campuran” (mixed economy) yang mengombinasikan
inisiatif dan milik swasta dengan tanggung jawab negara untuk kemakmuran
sosial.
3. Revolusi
Industri dan Kapitalisme
a. Eropa
sebelum Revolusi Industri
Sejak runtuhnya Romawi Barat pada tahun 476 M, di
Eropa terjadi kemerosotan dan kemunduran di segala bidang kehidupan. Kemunduran
dan kemerosotan itu terjadi selama beberapa abad. Oleh karena itu, zaman
disebut kegelapan (dark ages). Sejak abad ke-8 hubungan perdagangan Eropa-Asia
mengalami kemunduran. Muncul kerajaan-kerajaan baru di Eropa, bangsa Vandal
mendirikan kerajaan di Spanyol dan Afrika Utara, bangsa Ostrogoths dan Lombard
menguasai Italia Utara, suku Franks di Prancis, suku-suku Anglo Saxon membentuk
kerajaan Inggris, serta suku Hun membangun kekuasaan di Hongaria.
Tata kehidupan feodalisme ditandai munculnya ekonomi
bercorak pertanian, hal ini akibat terbendungnya pengaruh dari luar,
dikarenakan lalu lintas perdagangan di Laut Tengah telah dikuasai para pedagang
Islam. Isolasi geografi yang terjadi, menyebabkan perubahan dalam tata
kehidupan masyarakat Eropa dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Gereja mempunyai pengaruh yang kuat dalam seluruh tata kehidupan masyarakat
Eropa. Pengaruh itu terdapat dalam keyakinan masyarakat umum, bahwa ajaran
gereja adalah kebenaran tertinggi. Ajaran gereja adalah peraturan yang tidak
bisa dibantah. Dengan demikian, ajaran gereja dijadikan pegangan gidup.
Sementara itu, ruang gerak kebebasan berpikir dipersempit.
Ilmu agama (theologia) dan filsafat berperan penting
dalam kehiduan masyarakat, sedangkan ilmu-ilmu lain hanya sebagai pelengkap.
Bahkan filsafat yang merupakan dasar segala ilmu dijadikan hamba yang harus
mengabdi kepada thelogi. Kehidupan seperti ini berlangsung sangat lama, rakyat
tidak berdaya menghadapi tindakan yang sewenang-wenang dari kaum bangsawan,
raja dan gereja namun demikian, sejak akhir abad ke-15 muncullah para pemimpin
masyarakat yang tidak puas dengan kekuasaan kaum bangsawan, rajadan gereja.
Oleh karena itu, mereka berusaha melepaskan diri dari lingkaran kekuasaan
istana dan gereja.
Renaissance adalah suatu aliran yang timbul pada
abad pertengahan di Eropa. Renaissance berarti kebangkitan kembali sebuah kebudayaan
dalam segala bidang kehidupan pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Kebangkitan
itu bertujuan untuk melepaskan diri dari feodalisme yang didominasi oleh istana
dan gereja. Renaissance yang menjunjung tinggi kemampuan manusia. Oleh karena
itu, sifatnya individualistis dan mementingkan keduniawian (kebendaan). Pada
zaman renaissance, manusia dididik untuk memehami arti kahidupan tanpa
meninggalkan nilai luhur yang diwariskan nenek moyangnya. Diantaranya kehidupan
untuk memilih hidupsendiri dan kebabasan untuk berusaha tanpa terikat oleh
apapun. Pusat-pusat perkembangan gerakan renaissance pada awalnya berpusat
dikota-kota pelabuhan di Italia, seperti Florence, Genoa dan Venesia. Kota-kota
dagang itu nerupakan tempat tinggal para cendekiawan dari Bizantium, hal ini
terjadi setelah Bizantium dikuasai Kesultanan Turki Usman.
Dengan munculnya renaissance membuat masyarakat
Eropa mempunyai pola pandang yang baru akan dunia dan alam semesta. Mereka
mempunyai pemahaman yang sangat rasional sebagai akibat perubahan filosofi atas
pemaknaan dunia. Manusia abad renaissance mempunyai motivansi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan alam dengan mempelajari hukum-hukum alam. Dengan
ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450 menegakibatkan terpecahkannya masalah
mengenai kelas yang mengemban misi budaya yang jika pada zaman pertengahan
hanya dipegang oleh para rohaniawan dan warga kota yang berdagang. Setelah
ditemukannya mesin cetak seluruh manusia di muka bumi ini mendapatkan
kesempatan sebagai pengemban misi budaya.
Humanisme berusaha untuk menempatkan manusia sebagai
pribadi yang otonom (berdiri sendiri, bebas dan bertanggung jawab) disamping
itu, gerakan tersebut juga ingin mengabdikn diri kepada ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Golongan humanis berhasil menemukan
norma-norma kehidupan, ilmu pengetahuan dan filsafat dari zaman Yunani dan
Romawi dari tokoh Socrates, Aristoteles, Plato an sebagainya. Ajaran itu
menjunjung tinggi norma-norma tentang hak persamaan dan hak kebebasan dalam
kehidupan manusia. Jiwa renaissance dan humanisme bertujuan untuk melebihi
kejayaan yang dicapai pada Zaman kuno. Kedua paham tersebut menjiwai kehidupan
bangsa Eropa sejak tahun 1350 dan mencapai puncaknya tahun 1500-an. Ada
beberapa faktor yang mendorong lahirnya renaissance, faktor-faktor tersebut
antara lain :
1. Munculnya
kembali perdagangan antara Eropa dengan dunia Timur setelah perang salib
(1096-1291).
2. Munculnya
kaum borjuis, yaitu warga kota dipusat-pusat perdagangan. Sebagai pengusaha
kaya mereka menjadi pendukung utama lahirnya renaissance dan humanisme.
3. Peristiwa
jatuhnya kota Konstantinopel tahun 1453
ke tangan penguasa Islam Turki Usman. Peristiwa itu menyebabkan banyak
pujangga lari ke Italia dan menetap di Florence maupun Venesia.
Masa setelah humanisme adalah masa Aufklarung, yang
berarti berkembangnya alam pemikiran manusia kearah yang realistis. Akibatnya
zaman itu disebut abad pemikiran, atau dinamakan revolusi agung yang memberikan
sifat dan jiwa kepada pemikiran modern. Manusia modern menolak ideologi abad
pertengahan. Manusia modern berusaha menafsirkan alam semesta serta dirinya
sendiri berdasatkan analisis yang masuk akal. Sehingga kemajuan ilmu
pengetahuan manambah semangat keingintahuan serta mempertebal keyakinan
golongan rasionalis terhadap hal-hal baru. Perkembangan ilmu pengetahuan pada
saat itu ditandai oleh beberapa
penemuan, antara lain Nicholas Copernicus menemukan teori heliosentris, yakni
bahwa matahari bentuknya bulat, dan matahari adalah pusat dari seluruh benda
antariksa.
b. Kapitalisme
dan Revolusi Industri
Di Inggris, mulai abad ke-18, fokus pembangunan
kapitalis bergeser dari perdagangan ke industri. Revolusi industri dapat
didefinisikan sebagai periode peralihan dari dominasi modal perdagangan atas
modal industri ke dominasi modal industri atas modal perdagangan. Persiapan
bagi pergeseran ini mulai lama sebelum ditemukannya sekoci terbang, water frame
dan mesin uap, namun perubahan-perubahan teknologis abad ke-18 membuat
peralihan itu tampak dramatis.
Industri tekstil Inggris hanya berlangsung sebagai
industri pedesaan dan industri rumah tangga selama jumlah kapital tetap yang
dibutuhkan oleh produksi yang efesien relatif masih kecil. Perubahan dalam
teknologi dan organisasi kembali memindahkan industri ke pusat-pusat perkotaan
selama revolusi industri, meski tidak kepusat-pusat perdagangan lama
diperkotaan. Akumulasi modal yang terus menerus selama dua atau tiga abad mulai
menunjukkan hasil baik pada abad ke-18. Kapitalisme menjadi bergerak kuat bagi
perubahan teknologi karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan
penemuan-penemuan baru yang tak mungkin dilakukan oleh masyarakat miskin. Para
penemu yang membaharui seperti James Watt mendapatkan rekan bisnis yang mampu
membiayai penemuan-penemuan baru melalui tahun-tahun percobaan hingga akhirnya
berhasil secara komersial. Richard Arkwright mendapatkan modal untuk organisasi
pabrik yang diperlukan dalam pemanfaatan mesin-mesin baru. Sebelum munculnya
kapitalisme memang sudah ada masyarakat kaya, namun tak satupun mengelola
kekayaannya dengan cara yang memungkinka mereka menarikmanfaat dari
metode-metode produksi yang lebih efesien yang secara fisik bisa meningkatkan
penguasaan atas alam.
Sesudah revolusi Perancis dan perang-perang Napoleon
menyapu bersih sisa-sisa feodalisme dan melonggarkan kekangan-kekangan
markantilis, kebijakkan Smith yang menganjurkan untuk membongkar birokrasi
negara dan menyerahkan keputusan-keputusan ekonomi paad kekuatan pasar mulai
dijalankan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan Laissez Faire dari leberalisme politis
abad ke-19 mencangkup pula perdagangan bebas, keuangan yang kuat (dengan
standar emas) anggaran belanja berimbang, prinsip yang memulangkan
individu-individu kepada diri mereka sendiri dan percaya bahwa
interaksi-interaksi yang tidak diatur, akan menghasilkan akibat-akibat sosial
yang diinginkan.
Warisan-warisan masa lampau dan berbagai hambatan
lainnya merintangi realisasi penuh prinsip-prinsip ini kecuali dalam gerakan
perdagangan bebas di Inggris, yang tercermin dalam pencabutan Undang-Undang
Jagung pada 1864, merupakan yang terpenting. Kepentingan dan cara berpikir kaum
bisnis tidak hanya tercermin dalam kebijakan, melainkan juga dalam filsafat
hidup pribadi maupun filsafat hidup negara. Utilitarisme, meterialisme,
kepercayaan naif kepada tipe kemajuan tertentu, tempramen karya kreasi seni,
semua dapat ditelusuri ke semangat rasionalisme yang memancar dari kantor kaum
bisnis. Di banyal negara, para pengusaha bukan kapitalis menunjang kepentingan
kaum bisnis dan mengadopsi pandangan-pandangan mereka. Para penguasa bukan
kapitalis menjadi apa yang sebelumnya tidak pernah terjadi, yakni kaki tangan
kaum bisnis. Ini merupakan sukses dari kaum kapitalis mengangkat kaum borjuis
keposisi yang untuk sementara amat berpengaruh. Sokses ekonomi menghasilkan
kekuatan politis, yang pada gilirannya melahirkan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan proses kapitalis. Jadi para industrialis Inggris memperoleh
perdagangan bebas dan pada gilirannya perdagangan bebas merupakan faktor utama
dalam suatu periode ekspansi ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
c. Hubungan
Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Etika ekonomi yang diajarkan oleh Katolisisme abad
pertengahan menciptakan banyak hambatan bagi perkembangan kapitalis dan bagi
ideologi kapitalis. Kebencian terhadap kemakmuran material merupakan kelanjutan
ajaran para padri Katolik yang melawan Mamoisme. Santo Agustinus menganggap
bahwa berdagang itu buruk karena menjauhkan manusia dari usaha mencari Tuhan.
Sepanjang abad pertengahan, perdagangan dan perbankan dianggap sebagai
kejahatan yang diperlukan. Meminjam uang dengan memungut bunga dianggap tidak
layak dilakukan oleh seorang Kristen. Sehingga pada saat dimana kegiatan itu
diserahkan kepada orang-orang non Kristen. Membungakan uang merupakan
pelanggaran hukum karena ada Undang-Undang antiriba dari penguasa gereja maupun
penguasa seluler, spekulasi dan praktek riba melanggar doktrin pokok ekonomi
abad pertengahan, yaitu harga yang adil.
Berkembangnya perdagangan pada akhir abad
pertengahan menimbulkan konstroversi dan mendorong ke arah berbagai usaha
penyesuaian antara doktri-doktrin teologis dengan realitas ekonomis. Di
Venesia, Florence, Augburg, semua kota Katolik, kaum kapitalis melanggar
semangat dan memanipulasi surat larangan terhadap pembungaan uang. Menjelang
revormasi Protestan, kaum kapitalis yang masih dibayang-bayangi dosa orang
tamak oleh karena kedudukannya, telah menjadi tidak teladan bagi pemerintah
sekuler dan sejumlah besar orang yang tergantung kepada mereka untuk memperoleh
pekerjaan.
KESIMPULAN
1. Etika
Protestan lahir karena adanya reformasi gereja yang dipelapori oleh Marthin dan
diteruskan oleh Calvin. Karena adanya etika protestan mengakibatkan kurangnya
pamor gereja dan bangkitnya kreatifitas manusia, sehingga lahirlah berbagai penemuan
baru , diantara etika protestan itu menekankan bahwa penebusan dosa bisa
dilakukan oleh masing-masing individu tanpa perantara pendeta. Kerja keras dan
hidup hemat dianjurkan dan tidak dipertahankannya larangan akan bunga bank
seperti yang dilakukan oleh para pendeta Katolik. Keduniaan lebih dinyatakan
dalam kekatolikan dan nikmat hidup materialisme dinyatakan oleh orang-orang pro
protestan yang terlihat dalam kehidupan orang Katolik Perancis dan Jerman
2. Semangat
kapitalisme sudah ada sebenarnya sebalum tatanan kapitalis hal ini terlihat di
Amerika sejak tahun 1632. Koloni-koloni yang ada kebanyakan di dirikan oleh kapitalis-kapitalis besar
dengan motif-motif bisnis sementara koloni-koloni New England didirikan oleh
para pendeta dan lulusan seminari dengan
bantuan sebagian para borjuis kecil, pengrajin dan tentara-tentara dengan
alasan agama. Kapitalis merupakan bagian dari gerak dan individualisme yang
minimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang agama menimbulkan
gerakan ini menimbulkan reformasi dalam hal penalaran melahirkan ilmu
pengetahuan alam, dan hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu dan dalam ilmu
sosial, dan dalam ekonomi melahirkan sistem kapitalisme, karena itu peradaban
kapitalis sah (legitimate) adanya didalam terkandung pengertian bahwa
kapitalisme adalah sistem sosial, yang menyeluruh, lebih dari sekedar suatu
tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad
ke-18 dan kemudian menyebar luas kekawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara
dan setelah revolusiindustri di Inggris kapitalisme dengan cepat mendunia.
3. Hubungan
etika protestan dan spirit kapitalis dimulai timbulnya etika protestan dan pada
abad ke 16 dan 17 juga disertai perubahan-perubahan ekonomis yang mengakibatkan
berkembangnya kapitalisme di Eropa Utara, khususnya di Belanda dan Inggris.
Korelasi kronologis dan geografis antara agama baru itu (protestan) dengan
perkembangan di bidang ekonomi sampai menimbulkan kesan bahwa protestalisme
memiliki makna kausal bagi timbulnya kapitalis modern. Meski dalam arti apapun
tidak menjadi sebab bagi kapitalisme yang sudah ada lebih dahulu dalam lingkup
yang luas dan terus berkembang, namun etika protestan memang menjadi perangsang
kuat bagi tata ekonomi baru itu.
Dalam
prilaku hidup sehari-hari muncullah satu tipe ashetisme dunia baru, yang
berarti kerja keras, kesederhanaan, kelugasan dan efesiensi dalam bekerja
dibidang ekonomi, seperti halnya dalam kehidupan biara. Diterapkan dalam
suasana perniagaan dan industri yang harus berkembang, kredo protestan
mengajarkan bahwa bertambahnya kekayaan wajib digunakan untuk menghasilkan kekayaan
lebih banyak lagi, calumisme sebagai orang kedua dari tokoh reformasi setelah
Martin Rather. Memulai energi dan dorongan moral bagi para wirausahawan
“kapitalis”
DAFTAR
PUSTAKA
Max Weber. 1992. Etika Protestan dan Spirit Kapitalis. Cetakan I. Penerbit
PUSTAKA
PELAJAR, Yogyakarta.
Dawam Raharjo. 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. LP3S.
Jakarta.
William Ebenstein dan Edwin Fogelman.
1987. Isme-Isme Dewasa Ini. Edisi
Kesembilan.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Edisi Revisi. Penerbit PT
Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Kuntowidjojo. 2005. Peran Borjuis Dalam Transformasi Eropa. Penerbit
Ombak,
Yogyakarta.
Winardi. 1986. Kapitalisme dan Sosialisme Suatu Analisis Ekonomi Teoritis.
Penerbit
Remadja Karya. Bandung.
Frans Magnis Suseno. 2000. Pemikiran Karl marx dari Sosialisme Utopis
ke
Perselisihan Revisioner.
Penerbit Gramedia, Jakarta.
Wagner. 1989. Pertumbuhan Gereja dan Peranan Roh Kodus. Penerbit
Gandum Mas, Malang.
Berger, Peter L. 1990. Revolusi Kapitalis. Penerbit LP3S.
jakarta.
Hasan, Johan. 1999. Hakekat kapitalisme dan Keterbatasannya Ekonomi.
Penerbit,
Ombak, Yogyakarta.
Taufik Abdullah. 1986. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
Penerbit,
LP3S, Jakarta.
Layvendecker. 1991. Tata, Ketimpangan dan Perubahan. Penerbit Gramedia,
Jakarta.
Tawnwy R.H. 1990. Religion And The Rise of Capitalism. Penerbit Gandum
Mas,
Malang.
Winardi. 1986. Kapitalisme Versus Sosialisme. Penerbit Remj karya,
Bandung.
Fahrizal A. Halim. 2002. Beragama dalam Kapitalisme. Penerbit
Indonesia
Tera,
Magelang.
www.
Yahoo. Com. 2006
Yohanes Calvin dan Kapitalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar